•••
Identitas buku:
Judul: Cantik itu Luka
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: GPU
Tahun: 2021
Jumlah: 489 halaman
ISBN: 9786020312583
Kategori: Fiksi, novel, kekerasan, tragedi-roman, realisme magis
•••
Blurbnya:
Di satu sore, seorang perempuan bangkit dari kuburnya setelah dua puluh satu tahun kematian. Kebangkitannya menguak kutukan dan tragedi keluarga, yang terentang sejak akhir masa kolonial. Perpaduan antara epik keluarga yang dibalut roman, kisah hantu, kekejaman politik, mitologi, dan petualangan. Dari kekasih yang lenyap ditelan kabut hingga seorang ibu yang menginginkan bayi buruk rupa.
•••
Garis besarnya:
Kisah dibuka dengan kebangkitan Dewi Ayu, perempuan teramat cantik keturunan Indonesia-Belanda, setelah dua puluh satu kematiannya dan teringat dengan anak keempatnya, anak bungsunya, yang waktu itu belum sempat dilihatnya tatkala dirinya mati dua belas hari usai melahirkan sang anak.
Cerita kemudian berlanjut pada saat-saat kematian Dewi Ayu, lantas mundur lagi jauh ke belakang ketika Dewi Ayu masih remaja kala akhir pendudukan Belanda, berjalan maju mengikuti kehidupan Dewi Ayu pada zaman penjajahan Jepang, sewaktu menjadi tawanan perang hingga awal mula menjadi pelacur, lalu masa-masa gerilya, kemerdekaan, sampai setelah kemerdekaan.
Dewi Ayu beranak pinak, menjadi pelacur termahal, dan kisah bergeser pada perjalanan masing-masing anaknya (Alamanda, Adinda, dan Maya Dewi) bersama lelaki-lelaki yang nanti menjadi menantunya, serta cucu-cucunya yang hidupnya tidak lebih lama dari masa remaja mereka.
Kisah kembali ke kebangkitan Dewi Ayu dari kuburnya, untuk mengakhiri kemalangan yang menimpa keturunannya, membuatnya tidak bahagia, yang datang dari masa lalu.
•••
Resensinya:
Buku kedua Eka yang saya baca pada tahun ini. Sebelumnya Lelaki Harimau dan kali ini Cantik itu Luka. Saya memiliki novel ini lama, 2021, tetapi baru saya baca pada akhir bulan lalu. Alasannya? Ya … karena saya belum tertarik membacanya, meski lini masa IG saya pada tahun 2024 cukup banyak yang mengulas buku ini.
Dan, saya sampaikan di awal dulu, jika saya tidak bisa melepaskan Seratus Tahun Kesunyian dalam pikiran tatkala membaca novel ini. Terdengar tidak objektif, memang. Saya mendapati persamaan tidak sedikit di antara keduanya. Meski demikian, tetap ada bedanya, kok.
Barangkali pernah mendengar atau percaya bahwa di dunia yang kita tempati, ada entitas yang terlara-lara, penuh kebencian, dan ingin melakukan pembalasan kepada siapa dendam itu tertuju. Saya rasa perfilman kita cukup banyak menyajikan tema semacam itu dengan berbagai variasi cerita.
Cantik itu Luka (selanjutnya saya tulis CIL), novel yang mengikuti perjalanan romansa lagi malapetaka keturunan satu keluarga dalam lintasan perpolitikan sejarah Indonesia sekaligus menyentil tema-tema sosial serta menghadirkan nilai-nilai budaya dalam ide cerita sederhana: balas dendam.
Eka menjadikan pembalasan dendam sebab kegagalan cinta akibat praktik-praktik kasar para penguasa Belanda menjadi sebuah novel tragedi yang apik mengisahkan manusia-manusia yang terlibat dan terdampak pergolakan zaman, kekuasaan, dan kutukan.
Melalui CIL, Eka tidak sekadar mengungkapkan kisah cinta tragis tersebut melalui legenda di balik dua gunung yang mengelilingi Halimunda yang menjadi sebab musabab kutukan dan pembalasan, melainkan juga diikuti serangkaian hubungan asmara yang tidak membahagiakan, cinta bertepuk sebelah tangan, dan perbedaan usia, serta kejadian simbolik sejarah Indonesia yang berbuntut kemalangan, kekerasan, dan kematian.
Pembaca bakal menelusuri keterkaitan antara nasib keluarga Dewi Ayu dengan kepercayaan mistis lagi legendaris dengan sejarah Indonesia yang penuh gejolak. Berawal dari kisah pendirian kota oleh Dewi Rengganis bergerak menuju ke masa-masa terakhir Belanda berkuasa, penjajahan Jepang dan kamp konsentrasinya, deklarasi kemerdekaan tahun 1945, pembantaian komunis tahun 1965, hingga pergolakan politik tahun 1990-an yang melibatkan preman.
Laki-laki yang menikahi putri-putri Dewi Ayu (tentara shodan, kamerad komunis, preman bengis) pun mewakili periode perebutan kekuasaan di Indonesia, yang masing-masing dari mereka memiliki pandangan politik yang berbenturan, saling memengaruhi situasi, dan tengah berjuang mempertahankan apa yang menjadi keyakinannya. Sesungguhnya ketiganya itu tidak saling menyukai satu dengan lainnya, cenderung pendendam, dan kesamaan mereka hanyalah menikahi putri-putri Dewi Ayu.
Selain menjabarkan konflik sejarah, melalui Dewi Ayu dan keempat putrinya (juga perempuan lain dalam novel) inilah, pembaca turut mendapati isu-isu perempuan yang menguar kuat.
Saya barangkali tidak akan menyampaikan perihal posisi perempuan yang terjajah, menjadi liyan, mendapat perlakuan tidak adil, sebagai warga kelas dua, objektivitas atas tubuh yang memang sejak zaman dulu hingga sekarang pun nada-nadanya masih sama.
Memang benar bahwa tubuh perempuan menjadi objek seksualitas di sepanjang cerita: sebagai pekerja seks bagi tentara Jepang hingga gerilyawan. Perang menempatkan derajat dan citra perempuan sebagai pihak yang lemah tanpa dapat melakukan perlawanan, bahkan setelah masa kemerdekaan hingga masuk ke ranah kehidupan rumah tangga.
Selain cara laki-laki berusaha mengontrol tubuh perempuan melalui konstruksi seksualitas untuk melayani keinginan mereka, novel ini menghadirkan pula problematika perempuan, yakni kekerasan seksual. Wanita yang telah menikah atau yang tinggal di rumah (yang biasanya identik sebagai tempat paling aman) pun tetap bisa menjadi korban kekerasan. Kekerasan seksual itu memang ada, nyata, dan terus relevan hingga sekarang, bukan?
Kecantikan menanggung beratnya posisi dan nasib pemiliknya untuk dunia yang menganut patriarki. Kecantikan perempuan merupakan konstruksi yang dibuat oleh para lelaki dan dilanggengkan oleh afirmasi budaya. Laki-laki, dan juga masyarakat, lebih banyak memberikan penilaian sosial, memberikan penghargaan kepada perempuan melalui kecantikannya (secara fisikal atau penampilan luar), membedakannya pun dari kecantikannya. Ada standar kecantikan yang diciptakan laki-laki yang seolah harus dipenuhi perempuan, entah untuk memuaskan pandangan maupun selangkangan. Ada pengasingan dan diskriminasi yang muncul sebagai luka atau represi bagi diri perempuan karena kecantikan.
Namun, saya ingin melihat dari sisi lain.
Bagaimana dengan gagasan bahwa perempuan pun bisa memanfaatkan kecantikannya untuk kepentingannya? Menegaskan privilesenya. Menjadikan kecantikan sebagai komoditas menguntungkan bagi dirinya.
Alih-alih tersiksa terlahir cantik, Dewi Ayu secara sadar memperoleh kuasa untuk dirinya, atas laki-laki dan lingkungannya. Karakter Dewi Ayu menjadi manifestasi yang menempatkan perempuan sesungguhnya bisa terbebas dari dominasi laki-laki, sanggup menentukan pilihan-pilihan hidup secara mandiri, lebih dihargai, sekalipun profesinya sebagai pekerja seks, pekerjaan yang masih memiliki stigma negatif di masyarakat.
Di sini, kecantikan tidak menorehkan luka atau represi bagi dirinya sendiri, melainkan pihak lain. Dewi Ayu bisa membalikkan posisi perempuan, lewat kecantikan, sehingga laki-laki mengalami siksaan psikologis kala memandang dirinya, laki-laki perlu pengorbanan lebih sebelum bisa tidur dengannya.
Superioritas ini pun mengalir kepada anak-anaknya.
Saya tidak akan mengulik perihal pernikahan mereka yang tidak didasarkan cinta maupun upaya penaklukan perempuan secara seksual dalam rumah tangga, serta satu karakternya yang merepresentasi sebagian perempuan Indonesia yang menganggap keperawanan itu segala-galanya untuk kekasih, maka ketika terenggut paksa, merasa tidak pantas bersama orang yang dicintai; melainkan bagaimana Alamanda memegang kendali atas seksualitasnya melalui penggunaan celana dalam dari besi yang telah diberi mantra dan dia akan memenuhi kebutuhan seksualnya hanya ketika menginginkannya.
Pun dengan Maya Dewi, si anak ketiga yang tidak sekadar cantik, melainkan juga memiliki kemampuan berdikari yang luar biasa. Barangkali tokoh ini merupakan idaman banyak laki-laki yang kerap menginginkan pasangan yang penurut dan bisa menghasilkan uang.
Tidak cukup berhenti pada konsep kecantikan, CIL juga memuat nilai-nilai kebudayaan. Misalkan mitos-mitos atau legenda, kehidupan masyarakat sebagai nelayan, perdukunan, hingga unsur mistis berupa jelangkung sebagai media berkomunikasi dengan mereka yang telah meninggal dunia.
Meski diksinya sederhana, buku ini penuh dengan dialog sarkasme, narasi dan dialog erotik sepanjang halamannya, tetapi mari kita pahami bahwa seksualitas tidak akan pernah lepas dari kehidupan dan memang menjadi bagian dari keseharian; penuh dengan adegan ruda paksa, hubungan seksual dengan binatang, pembunuhan, kekerasan, dan lainnya. Perlu kebijaksanaan untuk membacanya. Bagi yang tidak terbiasa membaca buku-buku yang menyajikan persoalan seksual maupun selangkangan, bisa urung membacanya.
Tertarik baca? Atau malah sudah membacanya? Yuk, pingin tahu kesan membacamu gimana.
•••
Kutipannya:
Tak ada kutukan yang lebih mengerikan daripada mengeluarkan bayi-bayi perempuan cantik di dunia laki-laki yang mesum seperti anjing di musim kawin. (Hal. 4-5)
Kematian itu urusan Tuhan. (Hal. 12)
Selalu ada cara untuk segala sesuatu. (Hal. 20)
Kawin atau ke tempat pelacuran, itu sama-sama pengkhianat. (Hal. 33)
Ngentot pelacur bukanlah pengkhianatan, sebab mereka dibayar dengan uang dan tidak dengan cinta. (Hal. 33)
Kecemasan datang dari ketidaktahuan. (Hal. 84)
Di dalam tubuh yang sehat, terdapat kenikmatan tertinggi. (Hal. 88)
Menolak sesuatu yang tak bisa ditolak adalah hal yang lebih menyakitkan dari apa pun. (Hal. 92)
Pelacur itu penjaja seks komersial, sementara seorang istri menjajakan seks secara sukarela. (Hal. 127)
Semua perempuan itu pelacur, sebab seorang istri baik-baik pun menjual kemaluannya demi mas kawin dan uang belanja, atau cinta jika itu ada. (Hal. 134)
Meditasi menyelamatkanku dari dunia yang busuk. (Hal. 140)
Tak ada Bhisma yang tak bisa mati dan tak ada Yudistira yang tak bisa berbohong. (Hal. 143)
Jangan pernah berniat mati untuk dilupakan. (Hal. 148)
Jabatan itu hanya cocok bagi orang yang menginginkannya. (Hal. 154)
Tak ada bedanya perang dan bisnis. (Hal. 158)
Adakah strategi gerilya untuk mengalahkan cinta? (Hal. 166)
Bukan urusan manusia memikirkan Tuhan itu ada atau tidak, terutama jika kau tahu di depanmu manusia satu menginjak manusia yang lain. (Hal. 184)
Cinta itu seperti iblis, lebih sering menakutkan daripada membahagiakan. (Hal. 221)
Tak ada kekuatan setan macam apa pun yang bisa meluluhkan kekuatan hati seorang perempuan yang teraniaya. (Hal. 234)
Tak ada penyakit serius jika tahu bagaimana mengobatinya. (Hal. 245)
Jangan biarkan orang-orang miskin ini menjadi marah, orang lapar yang marah tak akan ada yang sanggup menghadapinya. (Hal. 250)
Kawin dengan orang yang tak pernah dicintai jauh lebih buruk dari hidup sebagai pelacur. (Hal. 264)
Orang-orang malang yang tak tahu bahwa dunia telah ditakdirkan menjadi tempat sebusuk-busuknya. Itulah satu-satunya alasan kenapa Tuhan menjanjikan sorga sebagai penghibur manusia-manusia yang malang. (Hal. 280)
Karena bagaimanapun istirahat adalah satu-satunya cara terbaik untuk mengembalikan kesadaran orang yang semaput disebabkan ketakutan. (Hal. 287)
Bahwa pelacur yang baik adalah perempuan-perempuan tanpa kekasih. Pelacur paling tidak tak membuat orang harus punya gundik, sebab setiap kau mengambil gundik, kau mungkin menyakiti hati seorang yang adalah kekasih gundik. Sebuah cinta dihancurkan dan sebuah kehidupan diporakporandakan setiap kali seorang lelaki menyimpan seorang gundik. Tapi seorang pelacur paling banter menyakiti seorang istri yang jelas-jelas sudah kawin, dan adalah kesalahannya membuat suami harus pergi ke tempat pelacuran. (Hal. 372)
Ada dua jenis perempuan yang bisa dicintai seorang laki-laki: pertama perempuan yang dicintai untuk disayangi, kedua perempuan yang dicintai untuk disetubuhi. (Hal. 441-442)
Sebab apa bedanya wajah cantik dan buruk rupa di balik semak yang gelap? (Hal. 454)

0 Komentar