Identitas buku:
Judul: Dora Bruder
Penulis: Patrick Modiano
Penerbit: GPU
Tahun: 2021
Jumlah: 132 halaman
ISBN: 9786020384849
Kategori: Fiksi, novel, fiksi sejarah, autofiksi
•••
Blurbnya:
Aku tidak pernah tahu bagaimana dia menghabiskan hari-harinya, di mana tempat bersembunyinya, siapa yang menemaninya selama musim dingin pelariannya yang pertama, atau beberapa minggu selama musim semi saat dia melarikan diri untuk kedua kalinya. Itu rahasia pribadi Dora. Rahasia pedih sekaligus berharga, bahkan algojo, undang-undang, maupun tentara Pendudukan, rumah tahanan, barak, kamp, sejarah, waktu—segala sesuatu yang menajiskan dan menghancurkan dirinya—tidak berhasil merampas semua itu darinya.
•••
Garis besarnya:
Pada tahun 1988, Patrick Modiano (43) membaca rubrik iklan pada surat kabar tua Paris Soir yang terbit tanggal 31 Desember 1941 perihal laporan orang hilang bernama Dora Bruder, seorang gadis Yahudi berumur 15 tahun, beserta lokasi alamat orang tua bagi siapa pun yang mengetahui keberadaannya.
Merasa memiliki kedekatan dengan lingkungan tempat tinggal mereka serta sama-sama berayahkan Yahudi, Patrick pun memulai penyelidikan sang remaja berdasarkan catatan/arsip publik serta orang-orang yang mengetahui Dora untuk mendapatkan informasi dan mencari tahu alasan gadis itu memutuskan melarikan diri dari persembunyiannya.
Novel yang ditulis tahun 1996 ini tidak sekadar mengisahkan usaha penulis untuk merekonstruksi kehidupan Dora, beserta orang-orang Yahudi lainnya, pada masa pemerintahan Nazi di Paris sekitar tahun 1940-an, melainkan juga ingatan hidupnya sendiri, terutama semasa remaja pada tahun 1960-an.
•••
Resensinya:
Selama membaca novel ini, saya terus mencoba mencari tahu siapa Dora Bruder itu; mengapa saya harus tahu perihalnya; apa hubungan antara aku (penulis) dengan Dora; dan ini, kan, novel, berarti buku ini fiksi, apakah artinya Dora sekadar tokoh ciptaan atau sesungguhnya pernah ada?
Dan pada akhirnya, usai menamatkan novel ini, saya menemukan banyak jejak masa lalu Paris yang layak untuk dijelajahi. Kisah yang sebelumnya tidak pernah saya ketahui selain Revolusi Prancis dan kemegahan Kekaisaran Prancis. Masa suram penduduk Yahudi di Paris yang direnggut kehidupannya hanya karena dia seorang Yahudi.
Dora Bruder, sebuah novel yang memadukan upaya penyelidikan keberadaan seseorang pada masa ketika Paris berada di bawah pendudukan Nazi dengan upaya mengkatalisasi ingatan diri kala itu.
Tanpa berbekal pengetahuan apa pun tentang Dora Bruder, Patrick—yang terlahir tahun 1945, beberapa bulan usai Perang Dunia II berkecamuk, beberapa tahun setelah iklan itu tayang—mengajak pembaca untuk menyelidiki dan menggali fragmen-fragmen kehidupan Dora (dan keluarga) beserta nasibnya pada masa pemerintahan Jerman di Paris melalui potongan-potongan bukti dari arsip-arsip resmi, keluarga yang tersisa, hingga sepucuk surat, yang dikumpulkan sekian puluh tahun lamanya dari waktu terakhir dirinya membaca berita kehilangan pada surat kabar (sekitar tahun 1980-an).
Sejak awal hingga akhir, pembaca bakal mengikuti keterampilan investigasi Patrick yang menolak menyerah dalam pencariannya memperoleh informasi, sekalipun sempat mengalami kekurangan petunjuk, seperti untuk mengetahui tanggal pasti kelahiran Dora saja perlu waktu empat tahun. Empat tahun!
Penelusuran akan keberadaan Dora juga membawa serta pembaca untuk menerka nasib orang-orang Yahudi lainnya yang, sayangnya, saya rasa tidak sulit untuk menebak apa yang terjadi dengan mereka pada tahun 1941. Ada begitu banyak ingatan, kenangan, ketidaktahuan, keputusasaan yang diceritakan. Orang-orang Yahudi di Paris menghilang selama periode itu, tanpa ada catatan yang menunjukkan apa yang terjadi, terhapus dari arsip, bahkan Patrick tidak memberikan jawaban apa pun hingga lembar terakhir.
Boleh jadi, novel ini menambah daftar panjang buku perihal holocaust yang telah beredar sebab cerita-cerita seputar kehidupan orang Yahudi pada masa pendudukan Nazi selalu memilukan sekaligus menjadi pengingat adanya sejarah kelam agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa depan, dan juga pengingat untuk menghormati penyintas serta anak-cucu korban yang telah dilupakan atau terpinggirkan.
Selain itu, dalam upaya penggalian informasi masa lalu, Patrick pun turut menghubungkan Paris tahun 1940-an dengan Paris 1960-an dan 1990-an; mencampurkan pengalaman satu musim pada tahun 1960-an dengan membayangkan kondisi serupa pada tahun 1940-an saat Dora menghilang; menghidupkan kembali masa remajanya; menambahkan keterikatan emosional pribadi yang mendalam dengan ayahnya melalui perwujudan interaksi Dora dengan keluarganya, dan menemukan irisan persamaan keseharian keluarga mereka yang membuatnya merenungkan pengalaman masa remajanya yang suram dan ingatan masa lalunya yang tidak menyenangkan.
Novel ini penuh data sejarah sosial pada masa itu yang tersebar merata sepanjang halaman. Narasi deskripsi tempat, waktu, tokoh, dan kejadian dibuat begitu nyata, lengkap, dan faktual sehingga seolah begitu benar adanya. Alur yang digunakan pun nonlinier atau melompat-lompat, menunjukkan ingatan manusia yang kerap muncul sekelebat, tiba-tiba, seolah tanpa relevansi, tetapi masih berkelindan. Bagi sebagian pembaca, hal ini bisa sangat membingungkan sebab informasi yang diberikan terlalu banyak dan lini masa yang disusun seenaknya dan terkesan tidak berkaitan dengan kisah Dora.
Di samping itu, kisahnya pun cenderung tanpa konflik dan datar. Tidak ada kejutan apa pun bahkan tanpa menawarkan akhir cerita tertentu. Benar-benar lempeng-lempeng saja. Ini bisa menantang sekaligus membosankan, terutama bagi penggemar cerita yang mendebarkan, penuh ketegangan, maupun akhir mengesankan.
Terjemahan bukunya asyik untuk dibaca, meski saya sendiri perlu waktu lama untuk menamatkannya. Buku autofiksi/biofiksi (entah yang mana, hahaha) ini jelas tidak cocok untuk semua orang, bahkan untuk mereka yang menggemari cerita fiksi sejarah sekalipun. Ingat, ini tetap fiksi, ya.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Butuh waktu lama untuk mengumpulkan hal-hal yang sudah lama terlupakan. (Hal. 7)
Orang bilang, setidaknya nama-nama tempat menorehkan kesan samar-samar bagi mantan penghuninya. (Hal. 21)
Sesungguhnya, kesan apakah yang tersirat jika mereka mendengar kata “Yahudi”? (Hal. 39)
Melarikan diri—sepertinya—adalah jeritan minta tolong yang sering kali berlanjut pada tindakan bunuh diri. Meski sekejap, muncul semacam perasaan keabadian. Kita tidak hanya putus hubungan dengan dunia, tetapi juga dengan waktu. (Hal. 66)



0 Komentar