Kronik Sebuah Kematian


Mengurai nubuat takdir kematian

•••

Identitas buku:

Judul: Kronik Sebuah Kematian (Chronicle of a Death Foretold)

Penulis: Gabriel García Márquez

Penerbit: GPU

Tahun: 2024

Jumlah: 128 halaman

ISBN: 9786020678108

Kategori: Fiksi, novel


•••

Blurbnya:

Seorang pria pulang ke kota asalnya untuk mengulik pembunuhan yang terjadi lama berselang. Dua puluh tujuh tahun silam, Bayardo San Roman mengembalikan istrinya yang cantik, Angela Vicario, kepada mertuanya, hanya beberapa jam setelah menikah, dengan alasan si istri tidak perawan. Pedro dan Pablo Vicario, kakak kembar Angela, lantas pergi mencari Santiago Nasar, kekasih Angela yang dituding sebagai biang keladi permasalahan ini.

Sebelum membunuh Santiago, si kembar Vicario mengumumkan niat mereka itu kepada seisi kota. Semua orang tahu persis akan ada pembunuhan, tapi kenapa tidak seorang pun bertindak dan berusaha mencegahnya? Makin lama urusannya makin pelik dan berujung pada akhir yang sungguh tak bisa dijelaskan.

•••

Garis besarnya:

Saya tidak perlu menguraikan, ya, sebab blurb sudah sangat jelas menggambarkan garis besar ceritanya.

•••

Resensinya:

Membaca buku ini benar-benar membuat saya geregetan. Meskipun saya memahami akhirnya yang tidak memuaskan, sebab Gabo memang sengaja membuatnya demikian, tetapi perilaku orang-orang yang ada dalam novel tipis ini bikin geregetan plus ironi tragisnya itu, lho, yang enggak ketulungan.

Jika mencari bacaan yang mengombinasikan antara realisme, misteri, dan jurnalisme investigasi untuk merekonstruksi pembunuhan, maka Kronik Sebuah Kematian (saya singkat KSK, ya) jawabannya. 

Menggunakan gaya catatan jurnalistik, KSK memuat kisah bertahun-tahun usai kejadian pembunuhan Santiago Nasar. Melalui ingatan penduduk—berupa potongan-potongan informasi yang harus disatukan pembaca—sebagai dasar penyelidikan, Gabo melibatkan pembaca untuk menggali kebenaran bagaimana pembunuhan yang dilakukan di siang bolong itu bisa terjadi lewat sejumlah karakter yang ditemui dan mengapa semua orang bisa mengetahui hal tersebut kecuali sang korban dan mengapa tidak seorang pun mampu (atau mau?) mencegahnya dari kematian dan menyelamatkannya.

Meskipun sejak bab pertama pembaca sudah tahu kapan peristiwanya, di mana, para tersangka, dan korbannya, tetapi dengan ketidaktahuan Santiago Nasar menjadi target sementara seluruh orang mengetahuinya, Gabo seolah meminta pembaca untuk kembali mempertanyakan dan memutuskan siapa pelaku pembunuhan yang sesungguhnya.

Benarkah si kembar Vicario? 

Benar, kok, kan mereka koar-koar kalau ingin membunuh Santiago Nasar dan mereka benar-benar menikamnya berkali-kali.

Namun, bukankah semua orang tahu? Mereka bahkan tidak mencegahnya. Jika demikian, warga juga sama bersalahnya, dong? Hmm, benar juga, ya … kalau begitu, apakah ada tanggung jawab dari pihak penduduk kota? 

Absurditas kejahatan inilah yang membawa pembaca mengetahui tanggung jawab moral dan sosial. 

Dengan tidak berupaya campur tangan, entah para warga mengira sebagai gertakan, bukan ancaman, sekadar guyonan maka mengabaikan; atau masyarakat menilai korban memang telah melakukan sesuatu yang salah dan berkeyakinan kejahatan itu sebagai hukuman yang dapat dibenarkan, yang dapat diterima secara sosial dan moral; pembaca dapat menilai apakah kota—dan penduduknya—sama bersalahnya dan memikul tanggung jawab atas kejahatan tersebut. 

Bisa jadi, tindakan acuh tak acuh inilah yang memungkinkan si kembar untuk melancarkan aksi. Barangkali pula, mereka tergerak membunuh oleh kekuatan sosial di luar kendali. Ada parameter moral masyarakat tempat mereka tinggal yang harus dipenuhi. Ada nilai agama dan budaya yang harus dipatuhi. Menjadikan tugas menjaga kehormatan keluarga sebagai alasan melakukan pembunuhan. Padahal, sejumlah narasi menyebutkan jika si kembar mencoba agar siapa pun mencegah mereka, tetapi, sayangnya, tidak berhasil.

Dan ironisnya, pada bab-bab akhir, tidak ada bukti yang mengarah kepada Santiago sebagaimana klaim Angela yang menjadi motif pembunuhan. 

Selain membongkar misteri, menjelaskan tanggung jawab kolektif, dan pemulihan kehormatan, novel ini turut mengeksplorasi gagasan peran gender pada masyarakat yang taat adat istiadat yang tertanam pada budaya Amerika Latin abad ke-20.

Dalam novel ini, masyarakat hidup berdasarkan atas kepatuhan kepada agama, tradisi, dan moral yang ketat dalam sistem patriarki. Bahkan pernikahan menjadi sesuatu yang sakral, lebih-lebih keperawanan seorang perempuan sebelum pernikahan.

Laki-laki pada kota ini boleh berpendidikan, bekerja, bahkan mengekspresikan seksualitas mereka dengan cara apa pun yang mereka inginkan. Boleh ke tempat pelacuran tanpa perlu mempertanyakan keperjakaannya saat menikah. Di lain pihak, terlahir perempuan maka keperawanan adalah hal yang penting, lebih banyak belajar menjadi istri yang baik, tertutup, banyak menderita, yang tabah, pasif, mampu memberi tanpa meminta imbalan apa pun, bahkan melakukan aktivitas seksualitas sebelum menikah adalah hal yang memalukan, yang salah.

Menggemaskan, bukan? Hahaha …. Lebih menggemaskan lagi, banyak ironi yang melingkupi novel ini, salah satunya perempuan diminta untuk menjaga keperawanan, sementara laki-laki sah-sah saja bertandang ke pelacuran (dan mengharapkan istri mereka adalah perawan nantinya), bahkan bangga saat memiliki penyakit kelamin. Duh ….

Seperti biasa, Gabo berhasil menggambarkan rutinitas kehidupan sehari-hari masyarakat dengan apik dan detail. Gabo juga piawai menuliskan kompleksitas dan ironi para tokohnya melalui plot cerita yang bergerak tidak linier, melompat-lompat, membiarkan pembaca merangkai puzzle yang terpisah-pisah untuk bisa menjelaskan kronologi kejadian.

Buku ini sayang untuk dilewatkan bagi penggemar Gabo maupun penyuka karya Amerika Latin serta cocok bagi mereka yang ingin mulai mengenal Gabo.

Tertarik baca?

•••

Kutipannya

Cinta bisa dipelajari. (Hal. 37)

Bagi wanita tidak ada rasa malu yang begitu besar selain ditinggal pengantin pria saat dia sudah memakai gaun pengantin. (Hal. 44)

Kita tidak bisa menahan orang hanya berdasarkan kecurigaan. (Hal. 59)

Kebencian dan cinta adalah gairah timbal balik. (Hal. 93)

Beri aku sebuah prasangka, dan akan kugerakkan dunia. (Hal 101)

Posting Komentar

0 Komentar