Anwar Tohari Mencari Mati

Novel biografis si pembual Rumbuk Randu

•••

Identitas buku:

Judul: Anwar Tohari Mencari Mati

Penulis: Mahfud Ikhwan

Penerbit: Marjin Kiri

Tahun: 2021

Jumlah: 205 halaman

ISBN: 9786020788128

Kategori: Novel, fiksi, penggalan hidup

•••


Blurbnya:

“Aku suka cerbung yang Sau­dara tulis. Tapi kupikir ada yang kurang. Atau kalau boleh kubilang, kuharap Saudara tidak tersinggung, itu sebuah kesalahan. Saudara seharusnya menjadikan Warto Kemplung itu sebagai tokoh utamanya, bukan justru si bekas pembunuh buruk rupa yang diceritakannya. Dengan demikian, menurutku, sedikit meleset apabila Saudara kemudian memilih ‘Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu’ sebagai judul. Tapi aku me­ngerti kesulitan Saudara. Saudara tak tahu sama sekali soal War­to ini.”


Inilah sekuel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu, yang diawali dari serangkaian surat pembaca misterius yang mengklaim mengetahui asal-usul pembual kesayangan kita, Warto Kemplung, dan menjelaskan dari mana kelihaian mendongengnya berasal. Namun sekali lagi, apa yang tersampaikan dalam cerita ternyata belum tentu adalah apa yang sesungguhnya terjadi. Ini juga tribut bagi segala bacaan, tontonan, dan musik yang pernah dan terus memikat hati banyak orang, kendati kritikus adiluhung suka melabelinya sebagai hiburan rendahan belaka.


•••


Garis besarnya:

Sekuel dari Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu ini berpusat pada sang tokoh utama, Warto Kemplung (Anwar Tohari) yang rupa-rupanya tidak sekadar tukang kibul yang gemar meminta rokok dan kopi gratisan, ternyata juga seorang pendekar sakti dengan julukan: si Pengaduk Kopi dari Utara


Mustofa Abdul Wahab, Mas Wartawan yang menuliskan cerita bersambung (cerbung) tentang kehidupan Mat Dawuk–pada novel sebelumnya–menerima kiriman surat-surat dari pembaca misterius bernama Imam Widjaja, seseorang yang mengaku sebagai sahabat lama Warto Kemplung. Dia melayangkan gugatan bahwa cerbung yang ditulis Mustofa terdapat banyak kejanggalan dan mengatakan jika sosok Warto alias Anwar Tohari seharusnya tidak ditulis sereceh itu.


Imam Widjaja lantas menjelaskan siapa Warto sesungguhnya, dari mana kepiawaian mendongengnya berasal, dan mengisahkan masa lalu persahabatan mereka: mulai dari Anwar Tohari yang berniat mati gara-gara patah hati sebab sang pujaan hati (Rukaniyati) dijodohkan gurunya (Dulawi, kakek Mat Dawuk) dengan orang lain (Mahfud, putra Dulawi), digambarkan memiliki kesaktian saat menumpang truk tatkala bajing loncat menyergap maupun bertarung dengan musuh bebuyutannya, bersama-sama menyinggung peristiwa-peristiwa sejarah macam konflik ’65, menyindir penulis-penulis sastra Indonesia, gagalnya romansa dengan perempuan terdidik, hingga selera bacaan-tontonan-musik, dan banyak lagi.


Namun, siapa sangka, jika surat-surat tersebut justru mengantarkan Mustofa pada kisruh dendam tiga generasi yang tidak kunjung redam, antara Mbah Dulawi dengan keluarga Sinder Harjo, konflik blandongan dengan sinder.


•••


Resensinya:

Kelanjutan novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu yang langsung saya baca usai menamatkannya. Berbeda dengan saudaranya, saya perlu waktu untuk menyelesaikan Anwar Tohari Mencari Mati (selanjutnya saya tulis ATMM). Saya teringat membaca Dawuk hanya kelar satu hari, dalam perjalanan pulang-pergi Kota Semarang–Purwokerto. Namun, untuk ATMM, saya sepertinya membutuhkan waktu tiga hari. 


Jika dalam Dawuk pembaca mengenal Warto sebagai narator yang mengisahkan kehidupan Mat Dawuk dari lahir hingga kematiannya, pada ATMM giliran Warto Kemplung, atau bernama asli Anwar Tohari, yang menjadi tokoh utamanya.


Mahfud Ikhwan membuat sekuel kisah hidup Warto Kemplung yang rupa-rupanya bikin geleng-geleng kepala, tidak disangka-sangka pengalaman manis pahit kehidupannya, bahkan tidak kalah mematikan ketimbang Mat Dawuk, sehingga pembaca bisa mengerti dari mana asal muasal olah cerita novel sebelumnya.


Novel ini masih menghadirkan humor-humor khas Jawa Timur, meski tidak sekocak Dawuk. Akan tetapi, jangan salah, adegan silatnya jauh lebih terasa ketimbang saudaranya. Benar-benar seperti tengah menyaksikan aksi laga pada sinetron-sinetron kita. Pembaca berkali-kali diajak mengikuti pengalaman Anwar Tohari menghadapi kematian, sekaligus berkali-kali pula berhasil lolos dari cengkeraman maut sebab kesaktiannya yang tidak kaleng-kaleng.


Sama halnya dengan novel pertama dwilogi ini, dalam ATMM, banyak hal yang Mahfud Ikhwan sampaikan. Sebut saja budaya pop tahun ‘70-an: buku-buku stensilan, cerita-cerita silat, film India, musik dangdut, hingga ludruk. Mahfud ikhwan tidak sekadar berhasil menuangkan percakapan-percakapan remaja yang menghidupi tahun-tahun tersebut begitu dekat dan mendalam, melainkan juga memberikan penghargaan kepada segala hiburan yang kerap dipandang sebelah mata. Mahfud Ikhwan memberikan garis tebal atas ketimpangan selera, yang memandang produk hiburan sendiri lebih waahh ketimbang hiburan populer. Dia ingin menyampaikan pesan kesetaraan dalam hal selera tontonan maupun musik.


Melalui surat-surat Imam Widjaja, Mahfud Ikhwan turut menyisipkan perjalanan ekosistem sastra kita dan memberikan kritik keras terhadap sastrawan tenar Indonesia. Dia menggugat sang sastrawan yang seakan-akan menjadi pusat sastra Indonesia (atau malah dia sendirilah sastra itu sendiri), memilah dan memilih karya-karya hanya dari lingkar pertemanan tertentu, membuat banyak karya lainnya “hilang/tertelan” dari radar khazanah sastra Indonesia (yang sejatinya mungkin lebih oke ketimbang pilihannya)


Selain itu, akibat kurangnya aksesibilitas penulis memengaruhi posisinya dalam kancah sastra kita. Tidak sedikit, yang dikisahkan Imam Widjaja, penulis yang meredup akibat karyanya tidak banyak dibaca atau tidak tergabung dalam lingkaran-lingkaran pengarang terkenal atau tidak memiliki label tertentu.


Dalam pandangan saya, banyaknya informasi terkait persoalan sastra Indonesia memberikan referensi baru. Sebenarnya banyak kode-kode nama, merujuk pada penulis-penulis Indonesia kala itu, yang bertebaran dalam novel. Akan tetapi, alih-alih ngeh siapa yang dimaksud, saya justru tidak memahami dan kurang bisa menikmati. Sebab tidak semua saya tahu, hahaha. 


Mahfud Ikhwan pun turut memberikan refleksi atas jurnalisme secara tersirat. Melalui karakter Mustofa yang berprofesi sebagai wartawan, dia hendak menghadirkan adanya potensi ancaman, pembungkaman, dan kekerasan yang memengaruhi nasib hidup dan keamanan kerja seorang wartawan. Terdengar familiar, bukan?


Sama halnya dengan Dawuk, novel ini mengangkat pergulatan dan pergaulan hidup di pedesaan dan perkotaan sekaligus cukup mampu menjadi pengingat agar kita, saat bersosialisasi, untuk tidak mudah memberikan penilaian terhadap orang lain, sebab kita tidak pernah tahu sekeras apa kehidupan yang telah dilakoni orang tersebut, sekelam apa masa lalunya. Tidak lupa, Mahfud Ikhwan mengingatkan pembaca untuk tidak berlarut-larut dalam dendam dan kebencian kepada orang lain sebab lebih banyak merugikan diri sendiri.


Political forest pun masih mewarnai ATMM. Perseteruan blandong–sinder makin mengerucut, memanas, dan menjadi cerminan salah satu sejarah pemiskinan masyarakat pedesaan yang berada di sekitar hutan milik Perhutani. Tidak sekadar ketimpangan relasi kuasa dan status sosial serta perbedaan aksesibilitas yang dimiliki keduanya, Mahfud Ikhwan menampilkan perbedaan sudut pandang blandong (dalam Dawuk) dengan sinder (dalam ATMM) yang sesungguhnya.


Saya baru mengetahui bahwa hutan Indonesia pernah mengalami sejarah penjarahan besar-besaran pasca-reformasi. Dalam kisah ATMM, saya menyadari jika antara blandong dan sinder sebenarnya sama-sama korban negara. Mau diapa-apakan juga, pada akhirnya, tetap saja hutan milik pemerintah. Mau blandong atau sinder adu jotos sampai mati pun, hutan masih dikuasai Perhutani.


Secara keseluruhan, novel ini menarik. Meskipun menutup lubang-lubang pertanyaan pada akhir Dawuk, tetapi kisahnya tidak terlalu berkaitan dengannya. Cukup memuaskan sebab pembaca bisa lebih dekat mengenal sosok Warto Kemplung, sang pembual, dengan segala lika-liku kesaktiannya, percintaannya yang kandas, kehidupannya yang luntang-lantung, serta perubahan wataknya yang dinamis. 


Seperti novel pertamanya, ATMM menggunakan POV 1 dan POV 3 dengan medium tulisan/surat-surat (sebagai narator/aku) untuk menceritakan Warto Kemplung. Gaya berceritanya masih serupa, yakni storytelling dengan pilihan kata yang lugas dan mudah dipahami.


Sudah baca Dawuk, maka jangan lupakan ATMM. Novel ini bisa dibaca mulai remaja akhir maupun mereka yang mencari kisah bergaya storytelling.


Tertarik baca? 

•••


Kutipannya:

Aku kenal dia, tapi bukan berarti aku tahu semua hal tentangnya, kan? (Hal. 6)


Sejak kapan kalau seseorang kenal saya dengan serta-merta apa yang diceritakannya tentang saya jadi benar? (Hal. 13)


Wartawan atau penulis berhak merasa takut, sebagaimana semua orang dengan profesi apa pun. Karena itulah kami harus dilindungi. (Hal. 18)


Rumah yang ramai adalah seburuk-buruknya tempat bagi seorang pengarsip. Buku dan arsip-arsip tak bisa berdamping dengan keriuhan. Di antara kunjungan, diskusi, atau sekadar kumpul-kumpul tanpa tujuan, seorang atau dua, atau sebagian besar dari mereka yang datang, entah sengaja atau tidak, entah aku tahu atau tidak, akan membawa keluar selembar-dua lembat kliping atau satu-dua judul buku. Aku memang mencatat sebagiannya, tapi aku sejak awal tahu buku-buku dan kliping itu mungkin tak akan kembali. Jangan tanya berapa yang tak tercatat dan pasti tak kembali. (Hal. 73)


Semua orang dengan urusan pribadi masing-masing. (Hal. 110)


Kau tak bisa membiarkan cerita itu tidak rampung, setidaknya di kepalamu. Tak elok rasanya kau membiarkan lobang-lobang di cerita itu tak diperbaiki. Itu tak bertanggung jawab namanya. Pengarang harus bertanggung jawab, Bung! (Hal. 168)


Melihat orang yang sangat menyebalkan di depanmu dan kau tak bisa berbuat apa-apa ternyata juga sangat menyakitkan. (Hal. 168)


Kau tahu, amarah itu tak lebih hanya gayung kosong di depan sebuah gentong besar penuh air. (Hal. 186)


Posting Komentar

0 Komentar