Cerita klise perihal perjuangan meraih cita-cita
•••
Identitas buku:
Judul: Kemarau di Sedanau
Penulis: Asroruddin Zoechni
Penerbit: Bhuana Sastra
Tahun: 2025
Jumlah: 307 halaman
ISBN: 9786230420306
Kategori: Novel, fiksi, penggalan hidup, perjuangan, pengembangan diri, kesehatan mental, coming of age, religi
•••
Blurbnya:
Salman, seorang remaja penuh harapan dari Sedanau, Natuna, bermimpi untuk menjadi dokter dan mengubah nasibnya. Namun, untuk mencapai impiannya, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan beasiswa dan menjalani pendidikan kedokteran yang panjang dan penuh tantangan. Perjalanan ini membawanya merantau jauh dari rumah, meninggalkan keluarga dan cinta pertamanya, Hamidah.
Di tengah kesibukan sebagai mahasiswa kedokteran, Salman menghadapi berbagai rintangan yang menguji ketahanan jiwanya. Tekanan akademis dan peristiwa besar dalam hidup membuatnya terpuruk dalam jurang depresi. Akankah ia mampu bangkit dari keterpurukan dan mewujudkan cita-citanya? Dapatkah ia membawa harapan baru bagi Sedanau dan menghapus kemarau yang melanda?
•••
Garis besarnya:
Salman, remaja asal Sedanau Kabupaten Natuna Kepulauan Riau, berkeinginan menjadi dokter agar bisa memberikan pelayanan kesehatan bagi yang membutuhkan serta mengangkat derajat keluarganya menjadi lebih baik. Karena keterbatasan ekonomi, dia harus berusaha keras mendapatkan beasiswa dari pemerintah daerah untuk bisa kuliah di fakultas kedokteran.
Setelah dinyatakan lolos, Salman menempuh pendidikan kedokteran yang panjang dan berat: merantau ke luar pulau, meninggalkan keluarga, keuangan yang pas-pas sampai harus mencari sampingan ini-itu dan menahan rindu pulang ke kampung halaman, tekanan akademis, hingga menerima kenyataan pahit kehilangan orang-orang terdekatnya (kekasih dan menjadi yatim piatu). Segala kehilangan, keraguan, dan kegagalan, membuatnya depresi dan berkeinginan untuk menyerah.
•••
Resensinya:
Perkenalan pertama saya dengan si penulis. Saya sudah lama naksir dengan bukunya, karena–tentu saja–kovernya yang oranye itu, hahaha. Terima kasih, akhirnya saya bisa berkesempatan membaca novel ini. Nah, seperti apa kesan saya? Yuk, kita mulai.
Kemarau di Sedanau bukanlah novel perihal bencana kekeringan. Buku ini–dalam pandangan saya–bertema klise, perihal menyelami perjalanan Salman, si tokoh utama, menjadi seorang dokter, profesi impiannya demi alasan klasik: mengubah hidup keluarga lebih baik serta berjiwa sosial tinggi penuh pengabdian agar bisa menolong lebih banyak orang, lengkap beserta getir-manis kisahnya, tantangan/kesulitan yang harus dihadapi baik secara geografi, ekonomi, akademi, sampai orang terkasih (yang tidak melulu kekasih hati, ya).
Membaca Kemarau di Sedanau menyadarkan pembaca bahwa akses pendidikan berkualitas di Indonesia belum merata sepenuhnya. Ada faktor geografi, infrastruktur transportasi, ekonomi, dan sosial yang menyebabkan masyarakat kesulitan untuk mendapatkannya, sekalipun program beasiswa dan bantuan pendidikan bagi keluarga miskin dari pemerintah setempat terus diupayakan untuk memastikan semua anak mendapat kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan.
Demikian pula terhadap akses dan fasilitas pelayanan kesehatan yang belum merata membuat banyak masyarakat terpaksa menempuh jarak jauh untuk mendapatkan perawatan medis. Dua hal yang masih menjadi sorotan dan tantangan di negara kita.
Membicarakan kesehatan, novel ini turut mengangkat isu tentang kesehatan mental. Asro mengajak agar pembaca memahami jika mereka yang bekerja sebagai tenaga kesehatan pun rentan mengalami gangguan psikologis, meski pada cerita si tokoh utama mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, serta kendali emosi akibat tekanan akademis dan kehilangan beruntun (belum di lingkungan pekerjaan sebagai dokter yang sesungguhnya).
Di samping itu, Asro juga menyoroti pentingnya sistem pendukung (support system) sebagai pilar penting dalam menjaga kesehatan mental dan emosional. Mereka tidak sekadar hadir sebagai pendengar, melainkan juga sebagai kekuatan yang membantu melalui masa-masa sulit, memberikan perspektif baru, serta memotivasi untuk tetap bertahan dan berkembang.
Nilai-nilai moral dan religiusitas tergambarkan dengan baik dalam bentuk doa, ritual keagamaan, hingga cara seseorang menghadapi tantangan hidup maupun membangun ketahanan mental. Ada kesabaran, pengabdian, perjuangan, penerimaan, dan perjalanan sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan. Usaha dan doa, ikhtiar dan tawakal berjalan seiringan dalam mencapai tujuan.
Menariknya, Asro mengajak pembaca jalan-jalan untuk menjelajahi sekaligus menikmati beberapa tempat yang menjadi latar cerita. Penggambaran Sedanau, Selat Lampa Ranai, dan sejumlah kawasan di Kota Pontianak begitu detail dan memukau. Bentangan alam (laut), buah tangan, kuliner, kehidupan masyarakatnya tergambarkan dengan apik. Pembaca pun bakal sering menemui percakapan-percakapan berdialek Melayu. Makin lengkap, kan?
Sayangnya, meski berhasil membangun latar tempat dengan baik, tidak diimbangi dengan perkembangan plot-plot cerita. Banyak sekali adegan yang selesai dalam satu-dua halaman, tetapi ada adegan yang berlembar-lembar halaman. Asro menempatkan sejumlah plot penting yang seharusnya bisa lebih banyak diceritakan, malah tidak dilakukan, dan memilih plot biasa saja justru mendapat banyak perhatian, membuat buku ini memiliki alur lambat dan cenderung membosankan.
Banyaknya penjelasan medis yang disebutkan dalam narasi sebenarnya oke, hanya saja terlalu kaku dan masih menggunakan istilah yang–saya sebagai orang awam–ruwet.
Saya juga menemukan sejumlah ketidakcocokan latar waktu maupun adegan pada novel ini. Seperti bulan puasa, tetapi makan siang; tertulis liburan semester enam lantas semester tujuh skripsi, tetapi di bawahnya menyebutkan sedang liburan semester enam; Salman mengaku menyukai sejarah dunia sejak SMP, tetapi tidak tahu Helen Keller; tidak membalas SMS Hamidah saat kerja kelompok, tetapi sempat membalas saat minta maaf usai kena tegur profesor; saya bahkan tidak paham sewaktu mereka tertinggal dalam perahu akibat kehabisan bensin, itu perahu pertama membantu mereka atau enggak, sebab kalimat-kalimat dalam paragraf tersebut membingungkan; luka di kaki Salman yang tidak diceritakan, tetapi tahu-tahu muncul; Raisa yang mendadak menyatakan suka, saya anggap sebagai keputusan yang tiba-tiba digunakan sebagai solusi, terburu-buru; tidak ada informasi mengenai kruk atau sakit punggung Gilang di awal, tetapi–lagi-lagi–ada; dan masih banyak lainnya.
Onomatope yang saya rasa tidak perlu. Alih-alih menambah kesan nyata atau kesan dramatis, justru saya terganggu dengannya. Onomatope bisa diubah dalam bentuk narasi sehingga pembaca tidak melulu diberikan suara-suara tertentu. Biarkan kami membayangkannya sendiri.
Terus terang, saya kurang suka dengan karakter Salaman yang terkesan lebay saat menyikapi konflik pada dirinya. Menendang-nendang pohon kelapa? Pintu? Meja? Kamu umur berapa, Salman? Padahal perubahan emosi menjadi labil sudah cukup bagus, menjadi lebih sensitif itu sudah oke, tetapi mengapa menjadi berlebihan dengan perlunya menambah aksi seperti teriak-teriak dan memukul pohon kelapa? Malam-malam pula.
Penulis pun datar dalam mengekspresikan ragam emosi manusia. Setiap kemarahan selalu disebut emosi/emosional. Tidak ada variasi lain untuk penyebutan kemarahan. Padahal emosi itu kaya, dan marah hanyalah satu dari sekian emosi.
Dalam pandangan saya, novel ini bisa kurang dari 300-an halaman. Banyak kalimat berputar-putar dan tidak efektif yang bisa lebih disederhanakan. Repetisi kata juga jamak terjadi.
Secara keseluruhan, novel ini tidak sekadar mengisahkan perjuangan Salman mengejar cita-cita, atau membeberkan proses perjalanan pendidikan beserta tahapan-tahapan meraih gelar dokter serta adab dan etika pelayanan kepada pasien, maupun mengatasi kesehatan mentalnya, ada romansa yang menyertai di dalamnya bahkan menjadi salah satu pemantik gangguan psikologis si tokoh utama.
Buku ini cukup memotivasi bagi pembaca untuk teguh pendirian meski dalam keterbatasan.
Kemarau di Sedanau menggunakan POV 3 dengan alur maju dan diksi yang sederhana lagi biasa saja. Buku ini cocok bagi penggemar cerita-cerita lambat, kisah-kisah bertema pendidikan/perjuangan maupun pengembangan diri (coming of age).
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Sejarah itu penting bagi kehidupan kita. Dengan membaca sejarah, kita bisa mengerahui asal-usul sesuatu, serta melacak kebenaran peristiwa di masa lalu. Sejarah juga menjadi bahan pelajaran berharga untuk masa depan. Dari sejarah kita bisa merasakan kepedihan, kekalahan, dan luka, yang membuat kita belajar. Dan sejarah juga bisa membuat kita tersenyum menyambut kejayaan dan kegemilangan. (Hal. 61)
Semua jalan hidup tergantung takdir yang sudah digariskan Allah. (Hal. 75)
Kalau kau hanya memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentangmu, kau tak akan berkembang menjadi seseorang yang kaya. Dirimu juga harus punya sikap. Tak boleh berpatah arang. (Hal. 76)
Kalau sudah rezeki tak akan ke mana. Sekuat apa pun ia dihalangi, ia akan terus mengalir bagai air yang mengikuti turunan. (Hal. 79)
Sesulit ape pun sepertinya di hadapan, selalu ada jalan. (Hal. 98)
Kita pasti memiliki takdir terbaik masing-masing. (Hal. 102)
Menjadi dokter itu passion dan pengabdian. Jadi, singkirkan dulu motivasi lain seperti motivasi mendapatkan uang yang banyak, atau motivasi-motivasi lain yang akan merusak kemuliaan profesi kita. Kalau mau jadi orang kaya dan banyak uang, jangan jadi dokter. Jadilah pengusaha. (Hal. 112)
Setiap anak tidak dilahirkan dengan kondisi bodoh. Tetapi, bagaimana otaknya bisa berkembang dengan baik sehingga tumbuh menjadi seseorang yang cerdas. Bukan hanya secara akademik, tetapi juga secara emosional, spiritual, dan sosial. (Hal. 128)
Mau jadi pintar itu memang berat. (Hal. 150)
Kalau tak bisa menahan sakitnya belajar, maka kita harus bisa menahan pahitnya kebodohan. (Hal. 251)
Tidak baik menyalahkan Tuhan atas semua kejadian dalam hidup kita. Semua sudah digariskan dari Atas sana, dan semua pasti ada hikmahnya. (Hal. 256)
Tidak ada yang tidak tepat waktu bagi Allah. Allah itu Mahatahu. (Hal. 256)
Kalau bukan kamu sendiri yang memulai, lalu siapa yang bisa bangkit selain diri kita sendiri. (Hal. 257)
Itulah uniknya kejiwaan kita. Mungkin kita terlihat tegar dari raut wajah dan sikap sehari-hari. Tetapi ternyata bisa rapuh juga, dan rentan terhadap terjadinya berbagai disorder. (Hal. 261)
Jadilah dokter yang baik dan altruistik sejak niat menjadi dokter dimulai. Stetoskop dan pena, serta lembaran-lembaran catatan medik yang tebal saja, tak cukup untuk menyembuhkan pasien. Letakkan hati dan kesembuhan pasien di hati Anda, dengan melayani mereka sesuai dengan hati nurani, altruistik, dan jiwa-jiwa bebas. Bebas dari segala kepentingan yang melingkupinya. (Hal. 294)
Pasien-pasien kta adalah guru-guru terbaik kita. (Hal. 295)
Menjadi dokter adalah pekerjaan mulia, dan jadilah dokter yang belajar sepanjang hayat. (Hal. 295)
%E2%80%9CKemarau%20di%20Sedanau%E2%80%9D%20novel%20perjalana.webp)
0 Komentar