Bagaimana tradisi bertahan di tengah perubahan zaman?
•••
Identitas buku:
Judul: Bia dan Kapak Batu
Penulis: Intan Andaru
Penerbit: GPU
Tahun: 2025
Jumlah: 256 halaman
ISBN: 9786020685373
Kategori: Novel, fiksi, etnografi Papua, adat dan modernitas
•••
Blurbnya:
Paskalina, Kosmas, dan Urbanus lahir di tengah pergeseran budaya tanah Papua. Saat tumang sagu dan ikan digantikan oleh kantong beras dan mi instan. Saat patung-patung sakral sudah bernilai mata uang. Saat busung lapar dan sarampa merenggut nyawa anak-anak kampung.
Orang-orang berkulit terang datang membawa pandangan baru bagi Paskalina dan Kosmas. Karena beranggapan bahwa mereka jauh tertinggal, Paskalina dan Kosmas merasa harus berlari mengejar para pendatang. Namun, berbeda dengan kedua kawannya, Urbanus justru memilih tinggal di kampung.
Saat Kosmas terbang ke ibu kota dan Urbanus berdiam merawat tradisi, Paskalina justru memilih jalan lain untuk melawan takdirnya sendiri. Apakah pilihan hidup mereka mampu membuat mereka bertahan menjadi tuan di tanah sendiri?
•••
Garis besarnya:
Terlahir sebagai perempuan suku Asmat menuntut Paskalina mengikuti cara hidup adat sukunya, termasuk menjadi perempuan yang pintar menganyam, memangkur sagu, menjala ikan, dan memasak.
Seiring dengan hadirnya modernitas dari luar pulau, Paskalina merasakan angin perubahan mendatangi tempat tinggalnya, membawa serta pergeseran yang berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari: mengenal adanya agama, mengenyam pendidikan, beras menggantikan sagu, mi instan menjadi pilihan ketimbang ikan, adanya listrik, uang duduk, termasuk penyakit-penyakit yang membutuhkan penanganan serius.
Enggan harus tinggal di kampung seumur hidup, membuat Paskalina bertekad mengubah nasibnya–yang serbasulit–begitu lulus sekolah.
•••
Resensinya:
Bia dan Kapak Batu (BdKB), sebuah novel yang menghadirkan interaksi rumit antara pelestarian dan transformasi di tanah Papua.
Buku ini mengajak pembaca untuk merenungkan nilai-nilai luhur budaya daerah yang menjadi kekayaan negara kita, khususnya melihat lebih dekat dinamika budaya yang terjadi pada suku Asmat. Melalui tokoh-tokohnya, Intan menggambarkan kehidupan sosial masyarakat suku Asmat dengan sangat eksplisit (pembagian peran laki-laki dan perempuan, memiliki pengetahuan lokal untuk bertahan hidup, mata pencaharian memangkur sagu dan berburu binatang dan menjala ikan, melakukan pengobatan tradisional, sistem religi yang memercayai leluhur) sekaligus memperlihatkan bagaimana mereka menyikapi modernisasi secara apa adanya: ada yang teguh bertahan, meski harus merasakan keterbatasan ruang untuk tumbuh; ada yang menerima kemajuan dengan risiko kehilangan akar; dan ada pula yang menyeimbangkan keduanya, membuka diri tanpa menjadi lupa diri.
Lewat sudut pandang Paskalina, pembaca bakal mendapati kemajuan-kemajuan pembangunan dalam buku ini: pola permukiman kampung dan distrik, penyebaran agama, sistem pengobatan modern ke puskesmas dan rumah sakit dengan layanan dokter–bidan–dan–obat yang disediakan, perubahan pola makan, hingga menempuh pendidikan agar dapat menggabungkan nilai-nilai tradisional dengan pengetahuan modern.
Lebih jauh, Intan pun turut menunjukkan ironi pembangunan yang menggunakan semangat modernisasi tersebut dengan harga-harga barang melejit; maraknya prostitusi dan penyakit menular; persoalan kesehatan–diare, campak, malnutrisi, TBC; pelayanan kesehatan tidak merata; kemiskinan sehingga banyak mengandalkan bantuan tunai pemerintah; ketergantungan pangan; terkikisnya pengetahuan lokal, seperti suku Asmat yang mengenal konsep penyakit akibat gangguan fungsi tubuh atau melanggar keseimbangan alam; sulitnya mencari pekerjaan di tanah sendiri; sampai menjadi alat untuk memecah belah masyarakat (pada bab-bab akhir: pembangunan dermaga).
Menggunakan POV 1 (Paskalina) dan pilihan kata yang mudah dipahami, Intan menuliskan BdKB layaknya catatan harian dengan deskripsi latar Asmat dan Papua yang terasa kental. Plot cerita dari awal hingga akhir cenderung datar dan minim konflik sekalipun Intan menggambarkan pergesekan nilai-nilai tersebut secara halus melalui aktivitas tokoh-tokohnya sehingga bagi sebagian pembaca berpotensi mengalami kejenuhan. Namun, untuk perkembangan karakternya cukup baik dengan adanya perubahan diri pada sang tokoh utama dari awal kisah yang polos menjadi bisa mengambil sikap pada akhir cerita.
Dua lagi yang saya sayangkan, pertama, buku ini memberikan kesan menggurui melalui dialog-dialog karakter-karakternya. Apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak, seperti apa sebaiknya, dst. Selain itu, yang kedua, BdKB memang banyak membicarakan warisan dan kemajuan, tetapi tidak terlalu dalam mengulik bia dan kapak batu selain sebagai judul buku dan mahar pernikahan. Apakah keduanya telah kehilangan marwahnya menjadi benda tanpa makna dihadapan pembangunan?
Secara keseluruhan, novel ini menawarkan pengalaman membaca yang sarat nilai edukasi sekaligus memberikan refleksi atas makna identitas budaya di tengah perubahan zaman yang tidak mungkin dihindari. Buat pembaca yang menggemari cerita-cerita bertema etnografi, coba baca buku ini.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Mereka yang meninggalkan kita itu tidak benar-benar pergi. Mereka yang pergi selalu kembali dalam bentuk lain. (hal. 34)
Duka, dengan cara yang tidak kita pahami, memang seringkali membuat kita lebih dewasa. (Hal. 36)
Uang selalu saja menarik. Kami, orang-orang kampung, bekerja untuk mendapatkan uang. Para pendatang, datang jauh-jauh untuk mendapatkan uang. Pemerintah berkunjung untuk memberi uang. Mereka bicara memberi kabar akan penyakit atau program, kemudian ambil gambar, sedang kami duduk saja. Ya, duduk saja kami dapat uang. Tentu kami selalu senang dan tak pernah absen tiap ada kegiatan. Namun, ketika uang itu sampai di tangan, tidak tahu mengapa, tidak pernah bertahan lama. …. Sudah kali sekian saya dengar orang-orang bertengkar karena uang. Bahkan beberapa bulan lalu, ada yang dilarikan ke puskesmas karena terkena parang. Lagi-lagi akibat berebut uang. Kadang saya berpikir, apakah nanti ketika dewasa, saya juga akan menyukai uang? (Hal. 38-39)
Sekolah yang tinggi agar bisa bekerja dan hidup layak. (Hal. 78)
Perempuan cantik itu mereka yang bisa mandiri, memilih pekerjaannya sendiri, dan bisa mengambil pilihan hidupnya sendiri. Sayangnya, semua itu hanya bisa diraih dengan belajar rajin, kemudian bersekolah tinggi. Tanpa itu, mereka banyak menjadi perempuan yang tidak punya kuasa diri: hidup untuk melayani suami, tiap hari harus mendayung perahu dan memangkur sagu, dan setelah melakukan segala pekerjaan itu untuk menghidupi keluarga, mereka harus siap dipukul kalau melakukan kesalahan. (Hal. 88)
Bagaimana bila kami sudah bahagia dengan hidup di kampung, menjadi pengukir, makan seadanya. Apakah semua kebahagiaan itu bisa didapatkan hanya dengan sekolah? (Hal. 94)
Dan semua pembangunan itu? Apakah kami yang membutuhkan? Atau hanya orang-orang pendatang seperti Ibu Guru? Tanpa sinyal telepon, kami bisa hidup, tanpa listrik kami bisa hidup, tanpa kios yang menjual barang dengan harga mahal itu, kami juga tetap bisa hidup. Kenapa orang seperti Ibu datang dan memaksa kami menjadi seperti kalian? (Hal. 94)
Rasanya memang sulit menjadi anak-anak di kampung kami. Hanya anak-anak bertubuh kuat yang bisa hidup lama. (Hal. 103)
Untuk apa sebenarnya pernikahan itu? Apakah perempuan menikah dengan lelaki hanya untuk bertahan hidup? (Hal. 110)
Banyak orang bilang bahwa tanah kami semakin tumbuh menjadi tempat baru. Bila orang-orang asli seperti kami tidak pintar menyesuaikan diri, kami akan tergeser dan sengsara. (Hal. 152)
Begitu berat menjadi perempuan di tempat ini karena kita harus berjuang berkali-kali lebih besar dibandingkan laki-laki untuk memiliki posisi yang sama. (Hal. 164-165)
Pendatang bagi saya adalah keluarga baru. Mereka membawa pengetahuan baru, barang-barang baru, makanan baru, dan segala hai itu yang saya suka. (Hal. 166)
Mereka datang untuk mencari uang padahal tempat leluhur kami bukan untuk mencari uang. …. Tanah dan hutan adalah ibu yang kami jaga. Ibu punya air susu untuk kami, anak-anaknya. Seharusnya mereka tidak dayang untuk memerah dan mengambil air susu itu …. Sehingga kami kehilangan sumber kehidupan. (Hal. 214)
Kepercayaan kami tidak pernah luntur bahwa apa yang disediakan alam kepada kami sesungguhnya berada dalam kondisi seimbang. Oleh sebab itu, makanan tidak pernah habis. Tanah kami adalah ibu yang menyediakan semua yang kami butuhkan. Namun, bila ada sesuatu yang mengganggu, masuknya orang-orang yang berniat memburu alam kami, keseimbangan itu akan hancur. (Hal. 217)
Dunia maju begitu pesat. Di lain sisi, saya ingin kampung ikut maju, kampung butuh pendidikan dan fasilitas kesehatan. Mereka yang mengisi pendidikan dan kesehatan itu adalah para pendatang, tentu tidak mudah mengajak mereka masuk. Bila tidak ada fasilitas, bagaimana mereka bertahan? Namun di sisi lain, saya juga paham kampung ini bukan gelas kosong yang bisa kami isi semau kami. Kampung ini belum siap menerima kebiasaan baru para pendatang. Masyarakat bahkan belum siap menerima kebiasaan baru para pendatang. Masyarakat bahkan belum mengerti bagaimana membersihkan diri dengan baik, belum mengerti tentang makanan sehat, dan banyak hal lain yang masih jadi PR besar. Terlalu cepat bila tiba-tiba mengenal uang, barang-barang kios, apalagi mengikuti kebiasaan para pendatang yang belum tentu baik. Bagaimana nasib masyarakat bila pendatang itu tinggal di sini dan membawa kebiasaan baru? (Hal. 236)
Dan barangkali satu-satunya jalan selain mempertahankan adat kalian adalah menyeimbangkan dengan pendidikan. (Hal. 236)
Kami harus mengenal baca dan tulis, bisa berhitung, dan mempelajari pengetahuan karena di luar sana begitu banyak hal yang belum kami ketahui. Cepat atau lambat, kemajuan itu hadir mendatangi kami. Pengetahuan adalah perisai yang dapat mengamankan kami bila suatu saat hal-hal baru datang beruntun seperti anak panah. (Hal. 239)
Saat ini kami cukup terbuka. Perlahan kami mengikuti perkembangan. Mereka para pendatang kami persilakan datang sebagai tamu, tapi bukan untuk menjadi tuan di rumah kami. Selamanya kami akan mengikuti leluhur untuk terus menjaga tanah kampung kami seperti kami menjaga ibu kandung kami sendiri.
Di usia saya yang semakin matang, saya semakin sadar bahwa sekolah juga bisa di mana saja dan keluarga juga bisa dari siapa saja–orang-orang baik yang kita temui. (Hal. 246)

0 Komentar