You X


Cerita masa ‘98 yang berbeda


•••

Identitas buku:

Judul: You X

Penulis: A. Djoyo Mulyono

Penerbit: Diomedia

Tahun: 2025

Jumlah: 253 halaman

ISBN: 9786238228898

Kategori: Novel, fiksi sejarah, drama

•••


Blurbnya:

“Kirik! Tidak bisa kah sekali saja negara tidak ikut meringkus hasil rakyatnya?” … “Kamu juga harus tahu bagaimana rasanya menjadi rakyat seperti ini! Tidak enak! Pemerintahan baru akan dirasakan oleh rakyat kecil, tapi tidak dengan rakyat berdaulat seperti kita ini, yang segalanya diusahakan dengan hasil keringat sendiri. Di saat sudah dianggap maju, mereka justru ikut menikmati hasilnya.”


“Barangkali pikiranku bisa tajam dalam melihat suatu peluang atas dasar pengalaman, namun tetap saja hal-hal yang berkaitan dengan alam dan kalam mesti tetap dilibatkan. Aku tidak lebih dari makhluk yang lemah, semua yang kuduga baik-baik saja dan berjaya, ternyata masih saja bisa meleset dan kembali pada rencana-Nya.”


Tahun-tahun 1998 yang menyebabkan krisis moneter, menjadikan usaha dan bisnis Yu’ek hancur bertubi-tubi, bahkan saat ia telah menikahi kekasihnya—yang pribumi. Dan di tengah pernikahan yang banyak menuai kecurigaan keluarga, Yu’ek justru melalaikan suatu syariat yang telah dituliskan dalam rumah tangganya. Lantas, apa yang membuat Yu’ek dan keluarganya menjadi pelik? Krisis moneter tahun ’98 atau justru telah melalaikan pertanda alam.


Novel ini tidak bercerita sebagaimana yang banyak terjadi mengenai peristiwa ’98 di Ibu Kota, tapi hanya kisah sederhana yang mengisahkan seorang etnis Tionghoa di Cirebon yang berdampak pada hidupnya oleh sebab (diduga) tahun ’98, dengan campur tangan sudut pandang para tokohnya.


•••


Garis besarnya:

Berlatar 1996–1998 di Cirebon, Yu’ek (Yuwek) terlahir sebagai anak pertama pemilik toko sepeda. Alih-alih tertarik meneruskan usaha ayahnya, Yu’ek memilih untuk melakukan berbisnis dengan caranya sendiri. Dia juga lebih senang bergaul dengan masyarakat pribumi, termasuk berkenalan dan menjalin kasih dengan Saripah, gadis tetangga desa yang di kemudian hari dia nikahi.


Usai pernikahan, Yu’ek kerap meminjam uang kepada sang ayah dengan alasan modal usaha. Namun, siapa sangka, tiap kali bisnisnya baru berjalan dan sebentar mendatangkan keuntungan bahkan belum sempat dia mengembalikan utangnya, tidak berselang lama, Yu’ek harus menelan kepahitan gulung tikar bisnisnya, terus-terusan.


Puncaknya, tatkala sang istri berbadan dua dan terdesak dengan kebutuhan rumah tangga, Yu’ek sekali lagi harus memutar otak untuk mencari jenis usaha lainnya, dia mencoba peruntungannya kali ini ke Jakarta, saat Ibu Kota tengah memanas.


•••


Resensinya:

Perkenalan pertama saya dengan penulis, memang saya belum begitu familiar dengan nama beliau. Namun, sebagai pemenang pada lomba Diomedia tahun 2024, tentu patut diapresiasi.


Pada awalnya saya bingung mengapa judulnya demikian, dan apa kaitannya dengan kejadian 1998 yang tertuang pada sampul belakang. Dan mengapa pula kovernya tunjuk-menunjuk, tuding-menuding. Begitu menamatkan buku ini, terjawab sudah, hahaha (memang harus baca dulu, ya, baru ngeh).


Saya rasa, para pembaca telah banyak mengetahui jika tahun 1998 menjadi titik nol reformasi Indonesia dan ragam cerita novel yang beredar, kebanyakan mengangkat perihal kerusuhan massa, demonstrasi anti-pemerintah, kebencian rasial, kemarahan masyarakat, hingga penculikan dan penghilangan aktivis, atau trauma yang dihasilkan dari peristiwa tersebut di masa mendatang. 


Namun, kisah-kisah demikian itu jauh dari You X


Melalui You X, pembaca tidak akan mendapatkan kengerian tahun 1998. Buku ini lebih banyak mengisahkan jatuh bangun sang tokoh utama menjadi pengusaha, yang rupa-rupanya tidak mudah.


Kerap bukan, kita beranggapan orang Cina begitu gampangnya membuka usaha? Ya, itu tidak bisa dipungkiri, dan buku ini menggambarkan demikian, meskipun sang tokoh utama tidak senantiasa berada dalam naungan keberuntungan.


Lewat karakter Yu’ek, pembaca akan mengetahui karakteristik orang Cina dalam berniaga: tahan banting, memahami dan menembus potensi pasar, memiliki akses ke modal dan sumber daya yang diperlukan untuk memulai bisnis, hingga beradaptasi dan berinovasi.


Meski latar tempatnya bukan di Jakarta, tetapi buku ini juga menampilkan dampak ketidakstabilan ekonomi kala itumencakup berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi dan sosialyang dialami oleh seluruh masyarakat di desa-desa di Cirebon (baik pribumi maupun etnis Tionghoa). Sebut saja penurunan daya beli masyarakat, sulitnya memenuhi kebutuhan dasar, tempat usaha (toko/warung) banyak yang tertimpa kebangkrutan dan tutup, migrasinya orang-orang kembali ke desa akibat pemutusan kerja, pengangguran, hingga berkurangnya pendapatan secara drastis. 


Menariknya lagi, alih-alih menyajikan kekerasan rasisme terhadap etnis Tionghoa saat itu, novel ini justru memotret dengan baik relasi dua etnis berbeda. Masyarakat keturunan Cina (khususnya keluarga Yu’ek) hidup rukun berdampingan dengan penduduk setempat, saling menopang perekonomian, bekerja sama, bahkan sampai menikah pula.


Setidaknya, You X mengingatkan kita untuk tidak cepat berprasangka maupun secara terbuka meluruskan tuduhan yang tidak benar. Sebab, dalam buku ini, bukan keberagaman suku yang memicu adanya konflik sosial atas ketidakpahaman, melainkan internal keluarga yang tidak saling mengerti yang merusak pertalian darah, bahkan berujung munculnya stereotip dan diskriminasi.


Tidak cukup, novel ini turut menghadirkan percakapan-percakapan daerah, nilai-nilai sosial budaya atau kepercayaan yang mengakar kuat pada masyarakat sehingga menambah referensi atas kearifan lokal yang dijelaskan melalui narasi maupun catatan kaki.


Hanya saja, dalam pandangan saya, narasi dalam You X ini kurang menggigit, atmosfernya tidak terasa. Showing-nya kurang nendang. 


Belum lagi, terdapat sejumlah saltik serta penggunaan kalimat tidak efektif. Kemudian ada pengulangan informasi yang seharusnya cukup 1-2 kali saja, tetapi hampir satu bab terjadi.


Saya sebelumnya mengabaikan agama apa yang dianut oleh keluarga tokoh utama ini, sebab dalam pikiran saya, kebanyakan etnis Tionghoa itu beragama non Islam (cmiiw, ya), dan pada awal-awal buku ini pun tertulis dupa yang belum padam. Namun, ke membaca tengah hingga akhir buku, saya baru tahu kalau mereka muslim (oke, jika Yu’ek harus menjadi muslim karena pasangannya Islam, barangkali. Namun, keluarganya juga, iya, kah? Saya merasa janggal di sini).


Saya pun merasa aneh, tatkala dua orang baru bertemu dua kali, lantas memutuskan untuk menikah karena alasan orang tua yang khawatir ini-itu (baiklah, latar kisahnya 1998, memang masih kental para orang tua yang cemas anak gadisnya kenapa-kenapa). 


Kemudian ada hal yang membuat saya bertanya-tanya (entah penulis tidak menuliskannya, atau memang sengaja biar pembaca penasaran atau saya yang terlewat), yakni mengapa Yu’ek ada di warung kopi Jagapura, mengapa begitu kekeuh Yu’ek tidak membela diri atas prasangka-prasangka dari keluarganya (apakah karena meski menjelaskan, tetap percuma?), dan mengapa harus ada penjelasan POV 1 para ayah dan Yu’ek (ini yang saya tidak paham alasan penulis memilih gaya bercerita demikian, padahal itu bisa diolah dalam bentuk narasi atau dialog POV 3). Hmm ….


Lantas, penyelesaian dalam buku ini cukup tidak terduga. Saya harus membalik halaman ke belakang untuk memastikan kembali apa pesan yang dilupakan oleh pasangan Yu’ek dan Saripah ini (sebagaimana tertulis dalam blurb). Ternyata tidak ada jangkar pengait pada lembar-lembar sebelumnya, tetapi pesan penting tersebut menjadi sorotan naik-turun kehidupan mereka di akhir buku. Aduh.


Menggunakan sudut pandang orang pertama dan ketiga, novel ini mudah untuk dibaca sebab pilihan kata dan penyusunan kalimatnya sederhana, biasa saja. Bagi penggemar kisah berlatar 1998 dengan tema berbeda maupun pencinta cerita drama romansa, silakan baca.


Tertarik baca? 

•••


Kutipannya:

Salah satu rumus dari ayahnya dalam berdagang adalah ‘sebisa mungkin kita tidak boleh menolak pelanggan; apa yang mereka butuhkan, kita harus sediakan’. (Hal. 59)


Memang tak elok mengingat-ingat perlakuan baik diri sendiri terhadap orang lain, terlebih keluarga sendiri. Seharusnya, yang diingat adalah kebaikan dari orang lain padanya sehingga dengan itu dirinya dapat terus belajar dan mengamalkannya kembali. (Hal. 63)


Memang benar, dari dulu, hanya ada dua tempat terbaik untuk mencari informasi; jika tidak di tempat-tempat pelacuran, pasti ada di warung-warung mabuk dan pejudi. (Hal. 170)


Jika tidak ada usaha yang berjalan itu artinya aku seorang pengangguran atau tidak ada penghasilan. (Hal. 221)


Barangkali seperti takdir, mungkin aku dibiarkan saja untuk terus menggelinding ke berbagai arah namun tetap satu pula muaranya. (Hal. 228)


Jika tulus membantu, seharusnya tidak perhitungan. (Hal. 231)


Posting Komentar

0 Komentar