•••
Identitas buku:
Judul: Dawuk, Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu
Penulis: Mahfud Ikhwan
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun: Cetakan ke-4: 2021
Jumlah: 182 halaman
ISBN: 9789791260695
Kategori: Novel, fiksi, penggalan hidup
•••
Blurbnya:
“Ini kisah yang sebenarnya belum lama terjadi. Sebuah kisah kelabu penuh darah. Hanya seumuran dua kali coblosan lurah; tidak berselang lama dari saat, untuk pertama kalinya di daerah sini, Golkar menang dari Petiga dengan mudah.”
Demikianlah Warto Kemplung mengawali kisahnya kepada siapa saja yang sudi mendengarnya di warung kopi: kisah asmara antara Mat Dawuk dan Inayatun, dua sejoli yang dipandang miring oleh masyarakat, berlatar kehidupan sosial sebuah desa Jawa yang berubah oleh tanaman komoditas dan kerja menjadi buruh migran, dibalut dengan humor, laga, dan dendang film India.
Masalahnya, sejauh mana cerita Warto itu sungguh-sungguh terjadi; atau hanya bualan untuk menutupi masa lalunya sendiri?
•••
Garis besarnya:
Warto Kemplung, terkenal sebagai tukang bual kelas satu dan pengutang sejati di warung kopi Bu Siti sekaligus narator utama Dawuk tengah mencari siapa pun yang mau mendengarkan kisahnya agar dia bisa menikmati bercangkir-cangkir kopi gratis dan mengisap banyak rokok secara cuma-cuma dari pengunjung yang lengah meletakkan rokok dan koreknya di meja.
Ketika jeratnya berhasil, dia pun mengawali kisah pengepungan di Rumbuk Randu yang barusan terjadi sebelum menceritakan kehidupan Mat Dawuk, laki-laki dengan rupa menyeramkan yang kelahirannya membuat sang ayah membenci dan mengabaikannya sebab menjadi penyebab istrinya meninggal. Hanya tersisa sang kakek yang menyayanginya, tetapi tidak lama berselang juga menghilang.
Tumbuh menjadi sosok terkucilkan membuat Dawuk pergi ke Malaysia dan menjadi pembunuh bayaran. Di sana, dia bertemu dengan Inayatun, kembang desa Rumbuk Randu keturunan kiai yang berakhlak bengal.
Seiring berjalannya waktu, keduanya saling jatuh cinta dan memutuskan menikah lantas kembali pulang ke rumah dan menjalani kehidupan rumah tangga.
Kisah pun berlanjut ke rumah kandang mereka di desa, kehidupan keduanya yang tidak direstui orang tua Inayatun dan dianggap ganjil oleh warga, musik dangdut dan India, kehidupan TKI Malaysia, hingga konflik sinder-mandor-blandongan yang menyeret Mat Dawuk pada pembunuhan istrinya yang berbadan dua dan kejadian pengepungan seperti saat awal Warto bercerita.
Pertanyaannya, sejauh mana cerita-cerita Warto Kemplung bisa dibuktikan kebenarannya?
•••
Resensinya:
Buku kedua dari Mahfud Ikhwan yang saya tamatkan setelah Kambing dan Hujan pada tahun lalu. Ternyata tidak mengurangi kesukaan saya pada gaya bercerita Mahfud dan justru makin asyik membaca karyanya yang satu ini. Sungguh! Mungkin bakal menjadi salah satu penulis Indonesia favorit saya, nih, sebab kedua buku yang saya baca asyik semua, hahaha.
Dawuk, Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu (saya tulis Dawuk saja, ya) merupakan salah satu semesta jagat cerita Si Cantik dan Si Buruk Rupa–saya yakin kita tahu garis besarnya seperti apa–versi kearifan lokal yang tidak ada happy-happy-nya sama sekali (ups, maaf spoiler, hehehe).
Novel tidak sampai 200 halaman ini bukan hanya menyajikan cerita drama-tragedi romansa semata, melainkan menampilkan diri layaknya representasi kecil dari Indonesia, sebuah pedesaan dengan kehidupan ruralnya.
Jika pembaca selalu beranggapan desa itu tempat yang subur, makmur, orangnya guyup, rukun, tolong menolong … nyata-nyatanya gambaran itu tidaklah nampak pada Dawuk. Desa maupun kota terlihat sama saja. Lewat tokoh Warto Kemplung dan pengunjung warung kopi Bu Siti, pembaca menemukan perilaku masyarakat yang lebih menyukai bergunjing, menggemari ‘katanya’, berkasak-kusuk, hingga menyebar hoaks, alih-alih memastikan kebenaran. Modal sosial yang nampak justru untuk melakukan ujaran dan tindakan kebencian, membangun prasangka, memberikan penghakiman dengan bahan bakar stigma atas standar kecantikan maupun ketampanan yang memicu diskriminasi sampai puncaknya terjadi kekerasan (pembunuhan berencana).
Selain itu, Mahfud mengisahkan latar tempat Rumbuk Randu sebagai daerah yang kaya secara sumber daya alam, ada banyak pohon jati mengelilingi, tetapi … masyarakatnya jauh api dari panggang. Mereka mengalami kemiskinan sekaligus ketimpangan pembangunan masa-masa Orde Baru yang memaksa masyarakatnya untuk migrasi menjadi TKI di Malaysia.
Melalui Dawuk, pembaca bakal mendapatkan referensi motif-motif yang melatarbelakangi masyarakat kala itu untuk urbanisasi, mencari penghidupan layak sampai ke negeri orang serta nasib kampung yang ditinggalkan sekian tahun lamanya hingga keseharian buruh migran tersebut di perantauan.
Mahfud bahkan menyoroti adanya kisruh agraria–lahan hutan jati–antara blandongan (penebang)-sinder (pengawas)-jawatan Perhutani dalam kisah cinta Mat Dawuk-Inayatun yang melibatkan pendahulu Mat Dawuk, puluhan tahun yang lalu.
Ironi eksploitasi hutan jati yang dilakukan penguasa sejak era Sultan Agung hingga masa Perhutani, tidak memberikan keberkahan dan keuntungan turun-temurun bagi masyarakat Rumbuk Randu. Mereka hanya dianggap sebagai petani penggarap atau ‘orang kontrakan’ (istilah Warto dalam novel tersebut), dan ketika blandongan mengambil kayu yang mereka tanam dianggap sebagai pencuri jati oleh negara.
Banyak hal yang bisa pembaca tarik nilai positif selain isu sosial yang menguar dalam novel ini, sebut saja berhenti menggunjingkan orang lain, jangan mudah berprasangka atau memberikan label. Melalui karakter Dawuk, pembaca bisa belajar untuk tidak terlalu memusingkan omongan orang lain yang belum tentu benar serta terus menemukan sumber-sumber kebahagiaan diri. Melalui romansa Mat Dawuk dan Inayatun, pembaca lebih bijak memandang bahwa mencintai itu datangnya dari hati, saling melengkapi.
Pembaca tidak perlu meragukan kemahiran Mahfud dalam membangun narasi. Pada novel ini, Mahfud berhasil menjaga ritme cerita berbingkainya tetap memikat dari awal hingga lembar terakhir.
Saya merasa seperti sedang mendengarkan orang mendongeng, perihal banyak hal: kisah cinta, balas dendam, pengkhianatan, humor, laga, dan elemen lainnya yang membawa saya pada ragam emosi: mengernyit takut dengan sosok Mat Dawuk yang menyeramkan, senyum-senyum senang dengan romansa mereka, geram saat dituduh membunuh istrinya, kasihan ketika dipukuli, mencekam saat pengepungan, dst. Bahkan saya mempertanyakan diri sendiri mau-maunya dengerin (baca) cerita Warto Kemplung sampai tuntas, padahal sudah ditegaskan jika dia tukang bual sedari awal dan dikuatkan lagi di akhir, maka … apa pun ceritanya jelas tidak bisa dipercaya, dong, ya, wkwkkw.
Ditulis dengan POV 1 dan 3, novel ini menggunakan bahasa yang sederhana, humornya tepat, romantisnya pas, makin ke belakang makin mengalir seru dan apik. Novel ini cocok dibaca mulai remaja akhir maupun mereka yang mencari kisah bergaya storytelling.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Karena hukum negara tak mengadili kejahatannya dengan semestinya, hukum masyarakatlah yang ditegakkan. (Hal. 7)
Kalian tahu, apakah kebahagiaan itu? Ini. Lihatlah cangkir kopi ini. Ya, inilah kebahagiaan. Seperti kopi, cepat atau lambat, ia akan habis. Semakin enak, ia akan lebih cepat habis. Ya, ya, kadang kita ingin berlama-lama menikmatinya, menghirupnya sedikit demi sedikit, mencecapnya lama di lidah, memainkannya sedikit di langit-langit, mengumurnya pelan-pelan, tak ingin buru-buru menelannya. Tapi, mak benduduk, tahu-tahu, begitu kita longok ke dasar cangkir, yang tersisa tinggal ampas. Ia sudah tandas. Mungkin karena memang kita tanpa sadar mereguknya lekas-lekas. Kadang, karena sembrono, tangan atau kaki kita tak sengaja menggulingkan cangkirnya, dan kopi akan tumpah sia-sia. Ada kalanya, datang orang-orang kurang ajar, yang dengan enteng saja mereguknya, sama sekali tak menyisakan untuk kita. (Hal. 57)
Dunia ini fana, saudara-saudara. Itu bukan aku yang bilang, tapi Tuhan–silakan cari sendiri ayatnya. Semuanya akan binasa. Semuanya! Yang air kembali ke air. Yang tanah balik jadi tanah. Tapi yang paling ujung hanya udara kosong, sebab memang dari itulah alam semesta dan kehidupan diawali. (Hal. 57-58)
Bahagia itu, kalian tahu, jika memang ada, hanya permainan dan tipudaya dunia belaka. Itulah kenapa Tuhan hanya benar-benar menjanjikan kebahagiaan itu di alam sana, bukannya di sini, di dunia ini. Yang kekal abadi, selamanya, khaalidiina fiiha abadan, hanya di surga. Di sini, semuanya fana. Dan fana artinya binasa. Mati. Habis. (Hal. 58)
Bahagia itu adalah permainan gundu, kalian tahu? Benda bulat bening dan berkilau-kilau yang kita perjuangkan itu, yang kita berkelahi karenanya, kita nangis-nangis ingin punya, kita berpanas-panas untuk memenangkannya, ujung-ujungnya akan pitak juga. Bahagia itu tak lebih dari layang-layang yang mengangkasa tenang lalu tiba-tiba putus benang, kemudian ia akan terkulai jatuh, dan lenyap entah ke mana. Ya, semua akan berakhir. Cepat atau lambat. Atau kadang malah terlalu cepat. Dan banyak di antaranya berakhir dengan cara yang buruk. (Hal. 58)
Dan tak ada pilihan bagi manusia selain terus menerus merenungi betapa kecil dan tak berdayanya ia, si makhluk tanpa daya yang dicipta tak lain hanya untuk beribadah kepada-Nya. (Hal. 78)
Sungguh malang orang yang tak mengenal betapa indah cerita dan kisah, betapa menggetarkannya dongeng dan legenda. (Hal. 88)
Bukankan cerita selalu lahir dari cerita sebelumnya? (Hal. 96)
Tak heran, wong mereka tahu ayatnya, ngerti tuntunannya. Tentu saja Tuhanlah yang maha kuasa menjaga aib hamba-Nya. Tapi mereka lupa, yang terutama berkewajiban melindungi aib seorang hamba adalah hamba itu sendiri, ya toh? Ikhtiar yang utama, baru tawakal. (Hal. 97)
Repot kalau urusannya sudah rasa bersalah. (Hal. 138)
Padahal, orang hidup haruslah dengan tujuan; entah itu cita-cita, kebahagiaan. kekayaan, pangkat, derajat, kesenangan, atau apa saja. (Hal. 138)
Kalau bajingan mengaku, penuhlah penjara! (Hal. 156)
0 Komentar