Kambing dan Hujan


Romansa Romeo dan Juliet yang terhalang dua ormas.

•••

Identitas buku:

Judul: Kambing dan Hujan

Penulis: Mahfud Ikhwan

Penerbit: Bentang Pustaka

Tahun: Edisi ke-3: 2023

Jumlah: 380 halaman

ISBN: 9786231860057

Kategori: fiksi, novel, Pemenang Pertama Sayembara DKJ 2014


•••


Blurbnya:

Miftahul Abrar tumbuh dalam tradisi Islam modern. Latar belakang itu tidak membuatnya ragu mencintai Nurul Fauzia yang merupakan anak seorang tokoh Islam tradisional. Namun, seagama tidak membuat hubungan mereka baik-baik saja. Perbedaan cara beribadah dan waktu hari raya serupa jembatan putus yang memisahkan keduanya, termasuk rencana pernikahan mereka.


Hubungan Mif dan Fauzia menjelma tegangan antara hasrat dan norma agama. Ketika cinta harus diperjuangkan melintasi jarak kultural yang rasanya hampir mustahil mereka lalui, Mif dan Fauzia justru menemukan sekelumit rahasia yang selama ini dikubur oleh ribuan prasangka. Rahasia itu akhirnya membawa mereka pada dua pilihan: percaya akan kekuatan cinta atau menyerah pada perbedaan yang memisahkan mereka.


•••


Garis besarnya:

Berawal dari pertemuan tidak sengaja di sebuah bus, Mif/Miftah dan Fauzia yang sama-sama dari Desa Centong saling jatuh cinta kemudian memutuskan untuk menikah. Berbekal kemantapan hati, keduanya pun meminta restu orang tua. Akan tetapi, perjalanan meminta restu tidaklah mudah mengingat adanya perbedaan di antara mereka. Tidak sekadar Mif yang merupakan anak Centong Utara, penganut Islam pembaharu, sementara Fauzia anak Centong Selatan, penganut Islam tradisional yang letak kedua masjidnya saling berseberangan dan hanya terpisah satu ruas jalan saja; melainkan juga cerita sejarah panjang ayah mereka, para tokoh agama di Desa Centong,  yang berasal dua kubu yang berbeda; serta kisah masa lalu ibu Fauzia yang pernah ditaksir ayah Mif makin memperumit situasi.


•••


Resensinya:

Seperti biasa, saya memiliki ketertarikan dengan para pemenang DKJ, dan novel Kambing dan Hujan sebagai Pemenang Sayembara Novel DKJ 2014 yang saya resensi ini merupakan perkenalan pertama saya dengan Mahfud Ikhwan.


"Kalian singkirkan beduk dari masjid karena menganggapnya bid'ah, lalu membawa masuk pengeras suara dan menyebutnya sebagai kemajuan. Konyol"

"Kalau rukyat itu lebih utama, kenapa kalian lihat jam kalau mau sholat lima waktu? itu hasil hisab, tahu? Lucu." (Hal. 352)


Kambing dan Hujan merupakan novel yang benar-benar berani mengajak pembacanya untuk melihat lebih dekat realitas kehidupan keagamaan, khususnya agama Islam, di sebuah pedesaan yang melibatkan kalangan akar rumput. Kehidupan keislaman yang menjadi pondasi cerita yakni mengangkat persinggungan antara organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Sejumlah perbedaan-perbedaan dua golongan tidak sekadar menjadi sumber pemicu konflik melainkan telah menjadi sejarah panjang masyarakat desa itu sendiri. 


Mahfud Ikhwan apik mengemas kisah cinta dua insan yang rumit sebab terbentur perbedaan paham keislaman melalui pemilihan karakter, narasi, dialog antartokoh, penempatan sudut pandang, sampai peristiwa-peristiwa yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Saking kompleksnya, maka tidak salah jika Mahfud Ikhwan menyabet Pemenang Pertama Sayembara Novel DKJ 2014.


Novel ini tidak cukup hanya menyajikan pertentangan substansial terkait pemahaman keagamaan yang berbeda (pelafalan ushalli sebelum salat, qunut pada salat Subuh, doa iftitah, tata cara salat Jumat, jumlah rakaat salat tarawih, tahlilan, ziarah kubur, sampai penentuan 1 Syawal), tetapi juga cara pandang kultural sebuah desa, serta mengisahkan bagaimana kedua ormas tersebut menebarkan pengaruhnya kepada masyarakat desa yang juga turut melibatkan konflik keluarga, anggota masyarakat, dan kisah cinta yang rumit.


Saya menyukai cara Mahfud Ikhwan mengemas plot ceritanya, memulainya dari kisah cinta Mif dan Fauzia kemudian terhubung dengan kisah persahabatan Is dan Moek (ayah Mif dan ayah Fauzia) sebelum mendedah sejarah panjang masyarakat Desa Centong dalam meyakini Islam serta luka hati yang tersimpan puluhan tahun.


Lebih kagum lagi novel ini cenderung netral dalam menceritakan perbedaan dua ormas. Tidak pro ini maupun pro itu. Tidak juga kontra ini atau kontra itu. Tidak mendukung satu pihak, tidak pula memojokkan pihak lainnya. Dikisahkan secara seimbang dari sudut pandang berimbang sehingga pembaca mendapatkan pemahaman yang tidak berat sebelah.


Melalui novel ini, pembaca bakal diajak lebih bijak, dewasa, dan berhati-hati dalam menyikapi perbedaan. Jangan mudah berprasangka, melainkan bersikap tabayyun untuk menghindari permasalahan yang lebih jauh (kalau di novel ini beberapa kali terjadi perkelahian)


Buku ini menggunakan narasi yang renyah, gaya bahasa ringan dan mengalir, alur cerita maju-mundur dengan sudut pandang orang pertama dan ketiga, serta sentuhan komedi yang pas membuat percakapan dan narasi saling menyindir masing-masing pengikut ormas terasa mengasyikkan. Ritme ceritanya sempat lambat di awal, dan akhir ceritanya bisa ditebak (spoiler: keduanya menikah), tetapi perbedaan tidak serta-merta dihilangkan maupun melebur. Tetap ada, kok, justru di situlah keindahannya.


Saya merekomendasikan novel ini untuk pembaca yang ingin mengetahui betapa rumitnya perbedaan di sekitar tempat tinggal kita, terutama terkait pemahaman agama, serta ingin memahami perbedaan ormas NU dan Muhammadiyah dengan cara lebih menyenangkan.


Kambing dan Hujan, sebuah novel yang dapat menjadi potret sosiologis dalam lokus terkecil suatu wilayah, sebuah pedesaan, serta menyajikan bagaimana perbedaan sesungguhnya bisa disikapi secara dewasa.


Tertarik baca?


•••


Kutipannya:

Kalau kamu mau menikahi anak orang maka kamu harus menikahi juga bapak-ibunya. Semua keluarganya. Tidak bisa tidak. (Hal. 21)


Pernikahan itu melibatkan dua pihak. Dua keluarga. Jikapun bapakmu atau ibumu tidak ada masalah, kita juga harus mengira-ngira apakah kamu atau keluargamu disukai atau tidak. (Hal. 21)


Kita tidak bisa memandang satu masalah cuma dengan satu kacamata, kacamata kita sendiri. Tidak bisa demikian. Kita juga harus belajar menempatkan diri. (Hal. 21)


Gusti Allah tak lihat kita karena pakaian kita. (Hal. 44)


Sebab tak ada biografi tanpa sebuah roman! (Hal. 73)


Orang pasti tak akan bisa sama-sama terus. Masing-masing orang akan mendapati jalannya sendiri-sendiri, baik jalan hidup di dunia maupun jalan hidup di akhirat. Apalagi, keduanya mulai terpisah secara tempat. (Hal. 83)


Tentu saja, tidak semua hal baru berarti lebih benar. (Hal. 85)


Belajar sendiri bukan berarti kita tidak menghargai guru kita. Menurutku, justru sebaliknya. Belajar sendiri adalah wujud dari penghargaan yang tinggi dari murid kepada gurunya. Aku pernah dengar, entah dari siapa, kegagalan seorang guru adalah ketika murid yang dididiknya tetap saja jadi seorang murid, tidak beranjak meningkat jadi seorang guru. Dengan belajar sendiri, kita telah membantu tugas para guru kita. Kita harus menjadi guru, paling tidak untuk diri sendiri. Syukur-syukur untuk orang lain. Lagi pula, siapa bilang membaca buku dan belajar sendiri tidak jelas gurunya? Memang mereka yang menulis buku itu tidak mencantumkan nama? Lagi pula, meski tidak langsung, para penulis buku itu juga para guru kita. (hal. 173)


Toh, menuntut ilmu itu memang tidak pernah ada selesainya. (Hal. 178)


Puasa memberinya alasan untuk bertahan; untuk bersabar; bahkan untuk menyerah. (Hal. 256)


Bukankah tidak sembarang orang diberi kesempatan dan kehormatan untuk memperjuangkan cinta yang dicita-citakannya? (Hal. 275)


Apa ada yang salah dengan cinta yang bisa diperoleh dengan mudah? (Hal. 275)


Seorang ibu tak akan bisa membiarkan anaknya menyelesaikan masalahnya sendirian. Ia selalu ingin ambil bagian. Semampunya. Sebisanya. (Hal. 283)


Kenapa kita tidak boleh melakukan kebaikan untuk mendapatkan kebaikan yang lain? (Hal. 304)


Tuhan menciptakan makhluk juga berbeda-beda. Manusia juga berbeda-beda, beda rupa, suku, golongan, dan bahasa. Jad, tidak ada yang salah menjadi berbeda. Dan, mereka memang menjadi dua orang yang berbeda. (Hal. 343)


Aku tahu bahwa anak-anak akan selalu menjadi juru damai bagi orang tua-orang tua yang bertengkar. (Hal. 345)


Posting Komentar

0 Komentar