Drama perihal kekuasaan
Identitas buku:
Judul: Amangkurat Amangkurat
Penulis: Goenawan Mohamad
Penerbit: GPU
Tahun: 2017
Jumlah: 51 halaman
ISBN: 9786020361253
Kategori: fiksi, novel, sejarah
•••
Blurbnya:
Goenawan Mohamad, yang menulis beberapa naskah lakon, "Visa", "Surti dan Tiga Sawunggalin", "Surat-Surat Karna", "Tan Malaka", "Gundala Gawat", kali ini mengolah satu bagan sejarah Mataram di abad ke-17.
Tapi ini bukan lakon sejarah. Lakon ini lebih merupakan delirium seorang raja menjelang kematian—paparan tentang apa yang terjadi dengan kekuasaan.
•••
Garis besarnya:
Terdiri atas empat babak dan empat belas adegan, Amangkurat Amangkurat berkisah tentang saat-saat terakhir kehidupan Amangkurat I di Tegal Arum usai pasukan Trunajaya dari Madura menyerbu dan menghancurkan keratonnya di Plered yang menjadi awal keruntuhan Kerajaan Mataram Islam.
Selama dalam pengungsian di pesisir utara tersebut, Amangkurat yang sakit didatangi oleh Juru Taman. Amangkurat menaruh curiga sebab dalam ingatannya, dia meyakini Juru Taman telah terbunuh oleh Sultan Agung. Meski demikian, tokoh misterius itu menceritakan masa lalu dan masa depan Mataram Islam kepada Amangkurat menjelang kematian sang raja.
•••
Resensinya:
Konon, katanya, setiap manusia akan menyaksikan gambaran perjalanan hidupnya menjelang napas terakhir. Amangkurat-Amangkurat berisi kilasan perjalanan hidup Amangkurat I sejak pengangkatannya menjadi pemimpin Mataram sampai akhir hayat ketika dia sekarat dalam pelarian. Ahli waris Sultan Agung itu tidak sekadar melihat masa lalunya yang penuh darah, melainkan juga mendapatkan informasi masa depan yang tidak kalah brutal. Mulai dari penunjukan Amangkurat I sebagai penerus Kerajaan Mataram, pemberontakan Pangeran Alit—adik Amangkurat I, pembantaian para ulama dan keluarganya, kematian tragis gadis Surabaya bernama Sahoyi—yang juga dicintai anaknya, Pangeran Adipati/Raden Rakhmat—sampai kejinya hukuman mati Trunajaya yang dilakukan oleh Amangkurat II.
Lakon empat belas adegan ini menyajikan bagaimana hasrat dan kerakusan terhadap kekuasaan dapat membuat seseorang bertindak kejam, sekejam yang terekam sejarah, yang kemudian dapat membawa keruntuhan jika tidak dijalankan dengan bijak bahkan berakhir dengan kesendirian yang menakutkan dan kesepian yang menyedihkan.
Selain itu, melalui adegan episodik-episodik yang dituturkan oleh Juru Taman jelang mangkatnya Amangkurat I, buku ini menunjukkan politik dinasti kepemimpinan dan belenggu kekuasaan kerap menimbulkan konflik dalam keluarga yang berujung pengkhianatan serta persaingan politik untuk mempertahankan kekuasaan, selain perempuan yang dijadikan sebagai hiburan. Lingkaran setan kekuasaan yang buas dan brutal serta penuh kebencian pun terus berputar, berulang dari sang ayah diwariskan kepada anaknya. Dari Amangkurat I berlanjut ke Amangkurat II.
Lebih dalam lagi, buku tipis ini memperlihatkan Amangkurat I yang memiliki ketakutan dan kecemasan melalui dialog-dialog tokoh-tokohnya. Baik kegelisahan terhadap usaha pembunuhan dirinya; kecurigaan kepada anaknya, Pangeran Adipati, dan juga adiknya, Pangeran Alit; kekalahannya dari Trunajaya memerlukan kambing hitam untuk mengeksploitasi sisa-sisa kebesaran dirinya melalui sang anak (dengan menyuruhnya merebut Mataram kembali); lucunya, Amangkurat bahkan tidak ingin menyerahkan tahtanya kepada putra mahkota sehingga dirinya memiliki kedekatan ayah-anak dengan Pangeran Adipati (juga Pangeran Puger, adik Adipati). Hal tersebut jelas anak-anak Amangkurat kehilangan kasih sayang dan menimbulkan haus atas penerimaan dari sang ayah yang menyebabkan keduanya terlibat dalam persaingan perebutan kekuasaan.
Drama ini tidak mengisahkan dari awal baik sejarah Mataram maupun sejarah pertempuran Amangkurat dengan Trunajaya yang menyebabkannya terdesak sampai ke pelarian di pesisir utara. Barangkali Goenawan Mohamad telah menganggap pembaca memahami, atau minimal mengetahui sejarah Kerajaan Mataram. Hal ini memungkinkan pembaca yang tidak memahami seluk-beluk Kerajaan Mataram akan mengalami kesulitan sekalipun drama ini cukup mampu menyampaikan kisahnya secara mandiri.
Alur yang digunakan campuran dan tanpa kronologis waktu secara berurutan, gaya bahasanya singkat meski perlu usaha lebih untuk bisa menerjemahkan Babad Tanah Jawi yang ditulis menggunakan bahasa Jawa.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Kau terlalu banyak mendengar petuah orang. Ingat, tak ada gunanya. (Hal. 10)
Aku bukan orang yang percaya pengampunan bisa dipertukarkan dengan apa pun—apalagi dengan apa yang keluar dari mulutmu. (Hal. 11)
Di hari seperti ini, melihat masa lalu bisa memperpanjang perasaan hidup. (Hal. 15)
Raja seakan-akan bisa melakukan apa saja, menguasai apa saja, pada saat ia tak bisa melihat batasnya sendiri. (Hal. 17)
.webp)
0 Komentar