Perjalanan kehidupan keluarga ningrat Jawa yang terdesak zaman
Identitas buku:
Judul: Canting
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: GPU
Tahun: Cetakan ke-5: 2017
Jumlah: 376 halaman
ISBN: 9789792296235
Kategori: fiksi, novel, fiksi sejarah, penggalan hidup, keluarga
•••
Blurbnya:
Canting, carat tembaga untuk membatik, bagi buruh-buruh batik menjadi nyawa. Setiap saat terbaik dalam hidupnya, canting ditiup dengan napas dan perasaan. Tapi batik yang dibuat dengan canting kini terbanting, karena munculnya jenis printing––cetak. Kalau proses pembatikan lewat canting memerlukan waktu berbulan-bulan, jenis batik cetak ini cukup beberapa kejap saja.
Canting, simbol budaya yang kalah, tersisih, dan melelahkan. Adalah Ni––sarjana farmasi, calon pengantin, putri Ngabean––yang mencoba menekuni, walau harus berhadapan dengan Pak Bei, bangsawan berhidung mancung yang perkasa; Bu Bei, bekas buruh batik yang menjadi ibunya; serta kakak-kakaknya yang sukses.
Canting, yang menjadi cap batik Ngabean, tak bisa bertahan lagi. “Menyadari budaya yang sakit adalah tidak dengan menjerit, tidak dengan mengibarkan bendera.” Ni menjadi tidak Jawa, menjadi aeng––aneh, untuk bisa bertahan. Ni yang lahir ketika Ki Ageng Suryamentaram meninggal dunia, adalah generasi kedua, setelah ayahnya, yang berani tidak Jawa.
•••
Garis besarnya:
Novel yang pertama kali terbit tahun 1986 ini mengangkat dinamika keluarga ningrat Jawa yang memiliki usaha batik cap Canting. Canting menyoroti dua generasi yang memiliki pandangan dan sikap hidup berbeda pada zamannya: Pak Bei atau Raden Ngabehi Sestrokusuma yang bernama kecil Daryono dan putri bungsunya Ni atau Subandini Dewiputri Sestrokusuma.
Dengan menggunakan latar Kota Surakarta sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia, paruh pertama mengisahkan Pak Bei yang menjalani kehidupannya sebagai seorang priyayi, dan menyerahkan sepenuhnya urusan duniawi dan usaha batik kepada Bu Bei, istrinya. Pak Bei yang mengidolakan Ki Ageng Suryomentaram memiliki kepedulian terhadap budaya Jawa, nasionalisme, turut berkiprah dalam pemerintahan Indonesia, juga lebih banyak menikmati hidup dengan bersosialisasi dengan teman-teman sesama priyayinya termasuk pergi tirakat tiap Jumat Kliwon. Pak Bei juga memiliki cara pandang yang berbeda dari kerabat ningrat lainnya yakni mau menikahi buruhnya, Tuginem; enggan disebut kapitalis, tetapi tidak menolak kapitalisme dan menjalani hidup borjuis.
Sementara itu Bu Bei menjaga keteraturan kehidupan keluarga dengan menyiapkan tetek bengek keperluan suami dan anak-anaknya; berjuang keras sebagai pelaksana usaha batik Canting di Pasar Klewer agar bisa terus menghidupi keluarganya (termasuk pendidikan anak-anaknya), menghidupi para buruh yang tinggal di halaman belakang rumah, dan menyokong kehidupan sosial Pak Bei. Segala keseimbangan tersebut “terganggu” ketika Bu Bei hamil kali keenam, berjarak sebelas tahun dari putri bungsunya. Kehamilan tersebut membawa sangkaan Bu Bei memiliki hubungan dengan salah satu buruhnya.
Bagian kedua bercerita tentang Ni, sarjana farmasi, yang memutuskan untuk meneruskan usaha batik keluarganya di tengah gempuran modernisasi batik printing. Keputusan tersebut seolah menguatkan desas-desus jika Ni bukanlah anak kandung Pak Bei. Dalam paruh kedua ini juga dikisahkan kehidupan kakak-kakak Ni yang seolah mapan tanpa cela, hubungan asmara Ni dengan Himawan, calon suaminya, serta kehidupan para pekerja halaman belakang rumah yang terus loyal mengabdi.
•••
Resensinya:
Sebelumnya pada tahun 2021 saya pernah membaca buku ini dan saya pun memutuskan membacanya kembali. Canting merupakan perkenalan pertama saya dengan karya Arswendo Atmowiloto, meskipun saya kerap menonton seri Keluarga Cemara di salah satu stasiun TV nasional kita dulu.
Dua kali membaca Canting, perasaan saya tetap sama: karya ini indah.
Canting dalam novel ini tidak sekadar alat membatik maupun merek dagang melainkan juga simbol transformasi ekonomi tradisional-modern dan gambaran bergesernya tata nilai masyarakat Jawa. Melalui perilaku sehari-hari kehidupan keluarga Ngabehi Sestrokusuma, novel ini mengandung banyak falsafah Jawa yang luhur dan Arswendo mengemasnya dengan baik dalam kisah roman keluarga bangsawan yang memiliki usaha batik beserta pergulatannya.
Arswendo membawa pembaca untuk menyelami kehidupan priyayi Jawa di Kota Surakarta lengkap dengan segala atribut dan pola pikir mulai dari bertutur, bersikap, hingga bergaul kala itu. Tentang bagaimana orang Jawa itu, tentang kepasrahan yang bukan berarti kalah, tentang pengabdian, tentang keikhlasan, dan tentang penerimaan. Kisah Canting juga menggambarkan nilai-nilai Jawa yang masih bertahan, ada pula yang ditinggalkan.
Arswendo menghadirkan ragam tersebut melalui tokoh-tokohnya: Pak Bei yang setengah modern-setengah konservatif, tetapi memiliki jiwa pengayom, berjiwa besar lagi sabar, tegas, keras, dan bijaksana; Bu Bei yang pengabdian penuh terhadap suami sekaligus pengusaha handal di Pasar Klewer; Ni yang modern dan merasa terkukung dalam kehidupan keluarganya yang konservatif.
Jika ada yang menyebut buku ini kental nuansa patriarki, itu tidak sepenuhnya salah. Memang cukup kuat dimunculkan dalam Canting. Ya, latarnya saja keluarga bangsawan Jawa tempo dulu yang memang menerapkan pola kehidupan demikian, kan (bahkan mungkin di era saat ini di beberapa tempat di Jawa masih ada yang menjalaninya, bukan?). Namun jangan lupakan, jika nilai tersebut pun tidak selamanya kaku, justru ikut bergerak mengikuti zamannya.
Perjalanan keluarga ini tidak selalu menyoroti Pak Bei, melainkan juga sepak terjang Bu Bei dan Ni. Saya mengakui Arswendo dengan baik menyajikan pertukaran peran wanita dalam sektor domestik (ibu, istri) dan sektor publik (pekerja) melalui sosok Bu Bei. Kalau menjabarkan karakter yang satu ini bisa panjang sekali. Intinya Bu Bei benar-benar bisa menjaga keselarasan dan keseimbangan peran tersebut. Sebagai istri benar-benar memberikan pengabdian total lagi tulus kepada suaminya, membangun pondasi kokoh untuk keluarga; sebagai ibu yang tulus membesarkan dan mendoakan anak-anaknya; menjadi sosok perempuan panutan di lingkungannya termasuk bagi para pekerjanya. Dalam novel ini, Bu Bei merupakan karakter dengan daya tahan untuk menderita yang tinggi dan pengendalian diri terkontrol agar nilai-nilai budaya kehidupan priyayi tetap terjaga, tetap selaras. Meski sesungguhnya saya cukup gemas dengan “menunggu” yang harus dilakoni Bu Bei berkali-kali. Mengesampingkan bahwa itu mencerminkan sikap batin yang penuh dengan kepasrahan dan ketundukannya kepada Pak Bei, tetapi rasanya geregetan dengan kepasifannya, seolah tidak diperkenankan ikut mengambil keputusan, harus menunggu suami untuk memutuskan, nrimo (yah, sebagaimana tadi sudah saya sebutkan kalau buku ini memang patriarki, wkwkwk)
Dalam Canting, Ni yang terlahir setelah kemerdekaan merupakan gambaran generasi priyayi modern yang berpendidikan tinggi. Boleh saya katakan jika karakter Ni dan Pak Bei ini mirip-mirip, melenceng dari keteraturan atau tatanan yang seharusnya. Sebutlah Ni memutuskan meneruskan usaha batik ketika Pak Bei merencanakan memberinya apotek, bergaul dengan para pekerja dan mengajari mereka baca-tulis-menghitung sehingga batas kelas sosial priyayi-pekerja makin membaur, progresif, mengedepankan kemandirian dan berpikir rasional tanpa meninggalkan perannya sebagai anak untuk patuh dan hormat kepada orang tua. Ni menjadi jembatan generasi modern yang mendobrak (atau menggugat?) kebiasaan-kebiasaan kaku priyayi: muter-muter saat menyampaikan maksud, mendiamkan agar paham sendiri, sindiran untuk membahas sesuatu, ngomong di belakang.
Novel ini juga menggambarkan bagaimana hukum ekonomi bekerja. Mereka yang enggan beradaptasi dengan teknologi dan memodernisasi usaha tentunya bakal meredup dengan sendirinya. Batik cap Canting tergerus oleh perkembangan zaman karena masih memakai cara tradisional dan manual sementara era batik printing kian bersinar. Ada kegagapan transformasi ekonomi yang dijalani oleh priyayi Jawa ketika berhadapan dengan modernitas ekonomi.
Buku ini memang jauh dari konflik dan tidak terlalu banyak intrik sehingga bagi pembaca yang mengharapkan cerita pelik tentu tidak akan mendapatkannya. Canting banyak menyoroti falsafah Jawa melalui laku priyayi-buruh. Cukup banyak istilah Jawa dalam buku ini yang bakal membingungkan pembaca yang tidak paham Jawa sekalipun ada penjelasannya. Plot ceritanya standar dan bergerak lambat, penuh dengan detail yang bagi sebagian orang barangkali bakal membosankan.
Meski demikian, dialog-dialog antartokohnya kaya perenungan. Arswendo juga sangat baik menguraikan latar tokoh, kehidupan sosial masyarakat priyayi-buruh, dan konflik internal dalam keluarga Pak Bei dalam sentuhan humanis. Sayangnya, saya merasakan akhir ceritanya terkesan terburu-buru.
Secara keseluruhan buku ini cocok untuk dewasa maupun penggemar drama.
Canting, sebuah novel yang menggambarkan perjalanan kehidupan keluarga ningrat Jawa yang kental dengan simbol dan tradisinya, filsafat dan sikap hidupnya yang kian terdesak zaman. Sebuah gambaran bagaimana tradisi tetap harus beradaptasi jika ingin terus hidup.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
… bahwa rasa damai sejati, rasa bahagia tanpa syarat, adalah kalau kita bisa melepaskan perasaan-perasaan yang kita buat sendiri. (Hal. 11)
Ya, yang waras mengalah. Mengalah tidak berarti kalah. Wani ngalah luhur wekasane, barang siapa berani mengalah, dialah yang lebih luhur. Luhur berarti agung, berarti mulia, berarti menang, berarti segalanya. (Hal. 24)
Tapi semuanya tak perlu diselesaikan secara tuntas, karena memang ketuntasan tak mempunyai arti lebih. (Hal. 61)
… dalam hidup ini ada lima pantangan: main kartu, mencuri, main zinah, mabuk, mengisap candu. (Hal. 72)
Menunggu sama pentingnya dengan perubahan itu nantinya. Perut dalam kandungan menunggu untuk lahir. Manusia hidup menunggu untuk mati. Kehidupan justru terasakan dalam menunggu. Makin bisa menikmati cara menunggu, makin tenang dalam hati. (Hal. 72-73)
Menunggu adalah pasrah. Menunggu adalah menerima nasib, menerima takdir. Menjalani kehidupan. Bukan menyerah, bukan kalah, bukan sikap pandir. Pasrah ialah mengalir, bersiap menerima yang terburuk ketika mengharap yang terbaik. (Hal. 78)
Orang Indonesia kalau apa-apa ya diam. (Hal. 95)
Orang Jawa itu kalau disuruh memilih salah satu, jawabnya selalu sama. Kalau disuruh milih satu wanita juga menjawab sama. Sebagai alasan agar bisa mengambil dua-duanya. (Hal. 110)
Mati dan hidup di tangan Gusti Allah. Yang mati tak kembali. Ndak usah dicari. Kalau dicari malah kita harus ngubur. (Hal. 139)
Makanya ia merasa bahwa pengabdian dirinya adalah bagian yang pokok dari mengutarakan rasa bersyukur. Kepasrahan—secara ikhlas—adalah sesuatu yang wajar. Bukan kalah. Bukan mengalah. (Hal. 147)
Bagaimana bisa tahu kalau tak ada yang mengatakan? Bagaimana bisa harus kalau tak ada ketentuan? (Hal. 206)
Menjadi ayah itu juga harus menanggung malu—di samping kebanggaan—atas apa yang diperbuat anaknya. (Hal. 222)
Kalau mau, ya mau saja. Jadi manusia jangan malang, jangan tanggung. Tidak enak. (Hal. 229)
Pasrah itu menerima. (Hal. 234)
Segala sesuatu ada caranya. Ada saatnya. Semua soal waktu. (Hal. 238)
Kamu bisa melakukan kalau mau, dan tak usah melakukan kalau malu. (Hal. 247)
Hidup ini hanya mampir ngombe, singgah minum. Terlalu singkat dibandingkan dengan hidup sebelum dan sesudah mati. (Hal. 248)
Tak perlu sedih. Dulu juga kamu tak mengenal, tak memiliki, untuk apa disesali? (Hal. 248)
Dalam pasrah tak ada keterpaksaan. Dalam pasrah tidak ada penyalahan kepada lingkungan, pada orang lain, juga pada diri sendiri. (Hal. 259)
Aeng itu tidak apa-apa. Tidak mengurangi nilai. (Hal. 353)
Cara bertahan dan bisa melejit bukan dengan menjerit. Bukan dengan memuji keagungan masa lampau, bukan dengan memusuhi. Tapi dengan melebur diri. (Hal. 370)
0 Komentar