Lebih Putih Dariku

Makin putih, makin tinggi kelas sosialnya


•••


Identitas buku:

Judul: Lebih Putih Dariku

Penulis: Dido Michielsen

Penerjemah: Martha Dwi Susilowati

Penerbit: Marjin Kiri

Tahun: Cetakan ke-2: 2023

Jumlah: 288 halaman

ISBN: 9786020788326

Kategori: Novel, fiksi sejarah, diskriminasi

•••


Blurbnya:

Yogyakarta, 1850. Isah adalah putri pembatik di lingkungan keraton, anak luar nikah seorang bupati yang tidak pernah mengakui ibu Isah sebagai selir resmi. Akibatnya, Isah menempati posisi sosial yang serba salah: dia berbeda dari orang awam di luar lingkungan keraton, tetapi dia juga mendapati diri berada di lapisan bawah dari hierarki ketat dunia keraton.


Dengan akal dan tekadnya yang kuat, Isah berusaha merebut takdirnya sendiri dengan kabur dan menjadi nyai seorang perwira Belanda. Namun realitas dunia kolonial ternyata juga tak seperti yang diangankan oleh impian naif masa mudanya.


Novel sejarah yang memukau tentang pencarian posisi, hasrat, dan identitas di Hindia Belanda akhir abad ke-19.


“Novel ini bukan hanya menjabarkan sejarah yang jarang diungkap tentang interaksi orang Belanda dengan perempuan pribumi, tetapi juga konsekuensi dari patriarki secara umum.” De Volkskrant


“Mengisi ruang kosong yang kerap ditinggalkan nyai dalam pohon silsilah keluarga- keluarga Indonesia. Novel yang tajam dan mengesankan.” Literair Nederland


•••


Garis besarnya:

Piranti, terlahir dari seorang ibu pembatik di Keraton Yogyakarta. Ayahnya, Pangeran Natakusuma, Bupati Indramayu, tidak pernah menikahi ibunya. Status anak haram alias anak di luar nikah menempatkan Piranti berada pada kelas terendah di lingkungannya.


Berkali-kali mengalami ketidakadilan dalam keraton–penolakan status sebagai anak sah, keluarga keraton mengeklaim karya batik ibunya, harus rela menyerahkan barang milik pribadi kepada keluarga keraton–menumbuhkan perlawanan dalam dirinya, termasuk penolakan saat ibunya ingin menjodohkannya sebagai istri muda dari seorang bupati yang telah berumur. 


Demi mencari kebebasan dan mengubah nasib, Piranti kabur dari rumah dan mencari Gey, laki-laki Belanda totok, sebagai tempat berlindung, menjalin hubungan romantis, dan menjadi nyai. Piranti pun menerima pemberian nama Isah dari perwira tersebut. Dari hubungan mereka, lahirlah dua anak perempuan. 


Seiring berjalannya waktu, harapan Isah agar Gey menikahinya kandas tatkala laki-laki itu memilih kembali ke Belanda dan menikahi perempuan sebangsanya. Pahitnya, Isah harus merelakan kedua anaknya diangkat oleh keluarga Belanda dengan ganti sejumlah uang pemberian Gey dan mereka melarang Isah menyebut dirinya sebagai ibu dari anak-anaknya.


•••


Resensinya:

Lebih Putih Dariku (LPD), novel yang menuturkan pengalaman seorang perempuan Jawa (abdi dalem keraton) tatkala menjalani kehidupan sebagai seorang nyai pada masa era kolonial.


Novel ini cukup mampu mengajak pembaca berempati kepada perempuan-perempuan Jawa (pribumi) kala itu yang luput dari sejarah. Kisah-kisah kehidupan mereka yang memutuskan menjadi seorang nyai di abad ke-19 menjadi cermin sosial atas ketimpangan ras-kelas-gender akibat kolonialisme di Hindia Belanda.


Melalui karakter Piranti/Isah, LPD tidak sekadar menampilkan perbedaan budaya maupun laku kehidupan masyarakat Jawa (Yogyakarta) dengan Eropa, melainkan juga menggambarkan stratifikasi sosial masyarakat secara hierarki dalam keraton dan kolonial. 


Terlahir di lingkungan keraton dan berada pada strata terendah, memosisikan Piranti/Isah sebagai pihak yang tidak memiliki kuasa dan suara atas dirinya, serta harus melakukan segala hal (menuruti) perintah siapa pun yang memiliki hubungan darah maupun kekerabatan dengan raja atau keluarga keraton–bahkan jika itu semena-mena. Kedudukan seorang perempuan dalam keraton pun hanya terbatas di sektor domestik, yakni sebagai hamba Tuhan, anak menantu, istri, dan ibu.


Sementara di luar istana, Piranti/Isah tidak hanya berurusan dengan norma-norma patriarki yang mengatur peran dan tanggung jawab dirinya sebagai nyai, tetapi juga menghadapi penindasan dari kolonial yang merampas hak-hak mereka. Dalam buku ini, perempuan Jawa dianggap rendah dan diabaikan sebab warna kulit menjadi garis tajam penentuan kelas sosial kolonial. Makin terang atau putih kulitnya, makin tinggi pula statusnya. 


Lebih jauh, jika dalam Nyi Sadikem pembaca mendapati alasan seseorang menjalani hidup sebagai nyai salah satunya karena faktor ekonomi (dijual oleh orangtua karena desakan kemiskinan atau dibeli sekian gulden oleh pejabat Belanda), maka dalam LPD, alasan menjadi seorang nyai yakni untuk mengungkit status kelas sosialnya. Sayangnya, alih-alih memperoleh martabat yang diharapkan, sebaliknya, justru terjebak dalam sistem yang tidak adil yang kembali mengacu pada perbedaan ras dan warna kulit. Bersama dengan pria kulit putih membuat para nyai ini (terutama Isah) menjadi korban eksploitasi karena menjadi serupa perabot atau barang yang harus siap berpindah-pindah majikan atau ditinggalkan kapan saja, tanpa status, tanpa gelar, tanpa apa pun.


LPD tidak berhenti pada kehidupan nyai pada masa kolonial, melainkan juga turut menyinggung silsilah anak keluarga Indo-Eropa dan relasi ibu–anak Indis yang kala itu sengaja dihilangkan.


Dalam buku ini, status anak-anak yang dilahirkan sepenuhnya ditentukan oleh ayah biologis mereka. Mereka mendapatkan pengakuan dan hak-hak istimewanya sebagai keturunan Eropa, tetapi harus diputuskan dan dijauhkan dari akar Jawa-nya dengan alasan lebih layak mendapatkan asuhan dalam budaya Eropa. Bahkan, saat dewasa pun, melalui karakter Lot, anak-anak blesteran ini pun harus berjibaku dengan adab dan kebiasaan Eropa agar bisa diterima secara sosial dan setara. 


Pada akhirnya, pilihan antara demi masa depan buah hati atau anak-anak bakal mengalami kejadian yang jauh tidak menyenangkan–entah diskriminasi dari pribumi maupun orang Eropa sendiri–membuat para nyai tidak berdaya sebagai seorang ibu sehingga peran ibu dihilangkan dalam sejarah keturunan sebuah keluarga Indo-Belanda.


Menggunakan POV 1, LPD bukan novel yang rumit sebab terjemahannya mudah dipahami. Deskripsi latarnya terbangun dengan baik sehingga suasana keraton, Yogyakarta, Purwokerto, dan Batavia kala itu terasa sekali. Bahkan, pembaca juga mendapatkan referensi motif-motif batik pula.


Sekalipun novel ini berputar-putar pada kehidupan Isah dari remaja hingga tutup usia dan pengalamannya sebagai nyai, saya cukup menyayangkan karakternya yang naif, gegabah dalam menentukan pilihan hidup, dan ngotot menegosiasikan identitas diri dan seksual sehingga mengantarkannya pada ketidakberuntungan tanpa henti sampai ajalnya tiba. Meski demikian, saya salut dengan semangatnya melegitimasi status ibu serta menuliskan riwayat hidupnya. 


Bagi penggemar fiksi sejarah, buku ini sayang untuk dilewatkan.


Tertarik baca atau sudah baca?


•••


Kutipannya:

Aku tidak boleh mati begitu saja tanpa memberitahukan keberadaanku kepada mereka. Tanpa memberi kesempatan kepada mereka untuk bisa menelusuri silsilahnya yang akan menuntun mereka kepadaku dan keluargaku. Masih ada tugas yang harus kupenuhi, tak peduli umurku yang sudah renta. (Hal. 9)


Menuliskan riwayat hidup untuk anak cucu itu hanyalah langkah awal, kemudian memberikannya kepada mereka, orang-orang tidak dikenal yang barangkali sama sekali tidak mau tahu tentang dirimu, itu bukanlah hal yang sepele. (Hal. 10)


Hanya dengan menganggapnya sudah tiada, aku bisa menanggung rasa kehilangan itu. (Hal. 24)


Jaring-jaring kedudukan dan status yang tipis dan tak kasat mata ini berlaku dalam segala hal dan semakin kamu bertambah usia, hal ini akan kelihatan lebih jelas. Lalu, sebagai orang dewasa akhirnya menyadari dirimu tersekat dalam batas-batas yang sudah digariskan itu dan tidak bisa lain selain menerimanya, kecuali kalau kamu sendiri meronta untuk membebaskan diri. (Hal. 25)


Sebagai orang Belanda yang berkuasa di pulau kami, lebih tinggikah kedudukannya dariku? (Hal. 81)


Ada kalanya sesuatu tumbuh lebih baik dalam gelap dibandingkan jika ia terpapar teriknya sinar matahari. (Hal. 88)


Persahabatan antar nyai boleh dibilang tidak ada, nyai saling menolong hanya jika sedang mengalami kesulitan. Kami tidak punya waktu untuk bertukar kunjungan buat minum teh, kami mengambang-ambang antara dunia pelayan dan majikan. Tidak banyak yang bisa kami lakukan untuk bisa saling membantu, karena dalam hal apa pun kami harus memita izin terlebih dahulu. Perempuan-perempuan yang sakit keras tanpa sanak saudara atau teman, takut setengah mati kalau tuan mereka mengusirnya akibat masalah atau karena tidak ingin ketularan. (Hal. 135)


Tak seorang pun boleh membunuh orang hanya buat guyonan, mereka layak mendapatkan hukuman. (Hal. 175)


Nyai adalah perempuan yang mendapatkan anak dengan seorang laki-laki, tetapi tidak menikah dengannya. Anak-anak itu kerap tidak memiliki nama keluarga resmi seperti yang kalian miliki. Seorang gadis yang memberikan segalanya termasuk keperawanannya untuk laki-laki sebelum dia menikahinya sering berakhir sebagai nyai. Dan yang ingin kukatakan … kalau dia tidak memiliki hak apa pun. Dia harus merawat laki-laki itu selama si laki-laki menginginkannya. Dia bisa melecehkannya, mengusirnya, dan bahkan merampas anak-anaknya. (Hal. 236)


Karena ada begitu banyak nyai seperti dia. Perempuan-perempuan yang harus rela dipisahkan dari anak-anaknya dan dia sendiri diharuskan pergi, yang dilupakan karena menjadi orang Eropa itu lebih baik dan karena ibu berkulit gelap itu memalukan. Bukan hanya bapak, tapi juga anak ikut bersalah dalam hal ini. …. Masih ada banyak nyai yang tidak dikenal dan nyai yang tidak menikah di Hindia Belanda. Perempuan yang di kemudian hari tidak bisa ditemukan karena secara resmi mereka tidak diakui keberadaannya dan tidak terdaftar di catatan mana pun. Ibu-ibu tanpa nama dari ribuan orang Indo Eropa dan keturunannya, yang kulitnya lebih putih darinya. (Hal. 287)


Posting Komentar

0 Komentar