Rahasia Salinem

Pengabdian tanpa batas abdi dalem berlatar konflik sejarah Indonesia


•••


Identitas buku:

Judul: Rahasia Salinem

Penulis: Wisnu Suryaning Adji, Brilliant Yotenega

Penerbit: Bentang Pustaka

Tahun: 2024

Jumlah: 411 halaman

ISBN: 9786231863546

Kategori: Novel, fiksi, fiksi sejarah

•••


Blurbnya:

Memasak memang tentang takaran. Mungkin, hidup begitu juga. Kalau pas, bisa mencerahkan.


Selepas kematian Mbah Nem, Tyo menyadari bahwa keluarganya takkan terlihat sama lagi. Kematian tersebut membuka fakta baru tentang Mbah Nem. Pertama, Mbah Nem bukan nenek kandungnya. Lantas, siapa Mbah Nem yang selama ini telah Tyo anggap mengalirkan darah di tubuhnya?


Kedua, dalam kemelut masa revolusi, satu resep bumbu pecel berhasil menyelamatkan sebuah keluarga di Surakarta. Namun, resep tersebut bakal tenggelam bersama kematian Mbah Nem. Padahal, Tyo butuh resep tersebut untuk, sekali lagi, menyelamatkan sejarah keluarganya.


Seiring perjalanan mencari resep pecel itu, rahasia-rahasia lain terbuka satu per satu. Tanpa Tyo sangka, resep itu menyimpan cerita tentang kesetiaan dan cinta Salinem–seorang abdi dalem keluarga bangsawan–yang menjadi saksi gejolak politik, perang, perlawanan, dan penderitaan yang melindas siapa saja.


•••


Garis besarnya:

Meninggalnya Mbah Nem atau Salinem menorehkan duka mendalam bagi keluarga besar anak-cucu Soekatmo dan Kartinah, terutama Tyo. 


Begitu mengetahui kenyataan Mbah Nem bukanlah nenek kandungnya, melainkan seorang abdi dalem di keluarganya, mendorong Tyo mencari tahu masa lalu Mbah Nem melalui ingatan-ingatan ayah, paman, bibi, hingga seseorang yang mereka temukan di Surakarta. Dari banyaknya kisah yang terungkap membuat Tyo ingin menghadirkan kembali pecel buatan Mbah Nem dengan membangun warung pecel untuk mengenang pribadi dan pengabdian sang nenek. 


Namun, Tyo mengalami kesulitan. Dia, dan juga yang lainnya, tidak bisa mendapati rasa yang mirip, bahkan mendekati bumbu pecel Mbah Nem, seolah resep tersebut ikut terkubur bersama kematian peramunya.


•••


Resensinya:

Selain blurbnya yang memang menarik, saya mengalami fomo sewaktu membeli buku ini pada tahun 2024 lalu. Banyak bookstagrammer yang membahas buku ini dan baik penerbit maupun penulis juga gencar promosi dan tur ke mana-mana. Alhasil, kepincut, dong, beli. Saya bahkan sudah menamatkannya tahun lalu, tetapi baru sempat mengulasnya sekarang, wkwkwk. Tenaang, saya membacanya sekali lagi, kok, untuk penyegaran.


Rahasia Salinem, novel yang menggambarkan pengalaman hidup seorang abdi dalem–dari lahir hingga tutup usia–yang mengangkat nilai-nilai sosial, hubungan keluarga, hingga kuliner, dengan latar sejarah Indonesia.


Para penulis (saya tulis demikian karena ada dua nama. Kalau menyebut Mas Wis dan Mas Ega kok kepanjangan) tidak sekadar apik mengangkat tulusnya persahabatan tanpa memandang status sosial, tidak lekang waktu meski dunia di sekitar mereka terus bergerak dan berubah; melainkan juga mengisahkan ketangguhan seorang perempuan dalam menjalani hidup–bersama keluarga keraton, berpuluh-puluh tahun: sebatang kara saat kecil, menjadi abdi dalem yang taat dan patuh (termasuk saat pindah ke rumah sederhana ketika majikannya mengalami jatuh bangun dalam bisnis), ikut menyaksikan dan merasakan peristiwa sejarah, kurang beruntung dalam asmara, memutuskan tidak menikah, kehilangan satu per satu orang yang dia sayang, mengasuh anak-anak majikannya hingga dewasa ketika orang tua mereka meninggal, turut mencari nafkah dengan berjualan untuk menyambung hidup dirinya dan anak-anak.


Dari banyaknya pengalaman Salinem tersebut, bisa menjadi inspirasi bagi pembaca tentang menjalani laku hidup dalam menyikapi lika-liku kehidupan–yang tidak selalunya mulus tanpa hambatan, tetapi ada kenyataan pahit yang tidak dapat disangkal–yakni dengan mendarmabaktikan hidupnya, berkomitmen pada apa yang menjadi keputusannya dengan terus bersikap arif dalam segala situasi, ikhlas/nrimo, berserah, tegar, dan pantang menyerah.


Sepenggal kutipan yang saya cuplik dari buku: Hidup adalah perkara sederhana, bisa disimpulkan cuma dengan dua kata: jalani saja (Hal. 32). Sederhana, kan, jalani saja hidup ini, seperti air mengalir, asal jangan sampai terbawa arus. Kata-kata yang bisa menjadi motto hidup yang memberikan semangat dalam setiap perjuangan maupun saat menyikapi suatu permasalahan.


Selain itu, lagi-lagi, melalui karakter Salinem, menjadikan novel ini kaya akan pesan tentang nilai-nilai sosial. Sebut saja: pengabdian kepada sebuah kelompok kecil bernama keluarga; kepedulian untuk bertanggung jawab terhadap orang lain; rasa kekeluargaan dalam bentuk kebersamaan, pengorbanan, dan perhatian terhadap kesejahteraan anggota keluarga; kesetiaan, berjanji untuk tidak berkhianat atau meninggalkan begitu saja; dan kasih sayang dengan terus berprasangka baik kepada Tuhan, diri sendiri, keluarga/masyarakat.


Tidak cukup, Rahasia Salinem juga mengajak pembaca merenungkan kembali hubungan mereka dengan orang-orang terdekat: keluarga. Ada cinta tanpa syarat, cinta yang tulus melampaui pertalian darah.


Para penulis juga mengajak pembaca untuk menelusuri salah satu kekayaan kuliner nusantara: pecel (dan bumbunya). Pecel tidak sekadar menjadi warisan, melainkan juga menjadi penggugah rasa rindu dengan Salinem, membawa kenangan masa lalu yang mendatangkan kebahagiaan. Upaya penggalian kenangan tersebut menjadikan pembaca memahami alasan keterkaitan antara satu tokoh dengan tokoh lainnya.


Novel ini disusun dengan dua alur waktu–yang menceritakan Salinem di masa lalu dan kehidupan Tyo saat ini. Meski terdapat dua sudut pandang (POV 3 semua), tetap berkelindan dan bisa dinikmati oleh pembaca tanpa merasa kebingungan. Mereka juga menyusun buku ini dengan diksi yang quotable. Setiap diksinya bisa mengaduk emosi dan berhasil menarik pembaca untuk menilik masa lampau, serta deskripsi latarnya cukup baik.


Sayangnya buku ini tidak memiliki catatan kaki atau glosarium pada sejumlah kata-kata Jawa sehingga berpotensi pembaca yang tidak terbiasa dengan percakapan Jawa akan kurang memahami maksudnya. Jangan berharap ada konflik yang wow, mengguncang. Ini kisah tentang keluarga, yaa. Rahasia yang dimiliki Salinem pun juga enggak yang besar atau gimana-gimana.


Buku ini saya rekomendasikan kepada mereka yang ingin kisah menyentuh dan menghangatkan hati, maupun pembaca yang menggemari kisah-kisah bertema keluarga.


Tertarik baca? 


•••


Kutipannya:

Hidup punya cara sendiri untuk berkhianat pada perihal-perihal yang hanya dikira-kira manusia. (Hal. 1)


Niat baik manusia memang susah ditebak. (Hal. 9)


Perihal terbaik bisa terjadi. Jika tidak digariskan, kejadian takkan terjadi–apa pun harapan manusia. Sebaliknya, perihal yang tidak diharapkan selalu bisa terjadi. Seburuk-buruk kejadian, itulah yang terbaik karena perihal lainnya takkan terjadi. (hal. 12)


Air mata itu mahal–harus disayang-sayang. (Hal. 31)


Hidup adalah perkara sederhana, bisa disimpulkan cuma dengan dua kata: jalani saja. Namun saking sederhananya, malah jadi rumit sampai kata-kata harus menyerah untuk menjelaskan arti hidup. (Hal. 32)


Orang boleh menangis, tetapi jangan terlalu lama tenggelam dalam kesedihan. (Hal. 32)


Kematian adalah perayaan yang janggal. (Hal. 36)


Betapa enak jadi anak-anak. Mereka mudah lupa atau–bisa jadi–mengingat dengan cara berbeda. (Hal. 36)


Teruskan saja dulu. Kalau bukan jalanmu, kelak kamu akan tahu. Kalaupun ini benar jalanmu, kamu juga akan tahu. (Hal. 64)


Rasanya, kematian tak memberatkan hati anak-anak sampai–pelan-pelan–hidup memperkenalkan kenyataan. Anak-anak tumbuh dewasa untuk menyadari bahwa kehilangan terus terjadi–satu per satu sampai tidak ada yang hilang lagi selain hidup. (Hal. 78)


Makin dewasa, perasaan kehilangan juga makin susah hilang. Usia adalah pengawet perasaan kehilangan. Perihal-perihal yang awalnya tersimpan di bawah kesadaran, seiring umur terkuak–tersadari keberadaannya. (Hal. 100)


Cinta memang merepotkan dan–pada saat yang sama–membuat orang jatuh cinta bersedia dibuat repot. (Hal. 112)


Rumah adalah tempat hati kamu merasa pulang. (Hal. 122)


Cinta bikin bersedia melakukan apa saja. (Hal. 151)


Cinta tak perlu dipelajari–bisa muncul sendiri. Tapi, mencintai termasuk perkara lain. Cinta adalah perasaan dan mencintai adalah perbuatan. Manusia belajar caranya mencintai. (Hal. 152)


Jika kehilangan dan kesendirian boleh disebut kesialan, persahabatan itu tak memberinya keuntungan–hanya bikin impas. Impas sudah lebih dari cukup untuk menutup apa-apa yang sebelumnya hilang meski tak pernah benar-benar menggantikan. (Hal. 157)


Hidup berubah setiap hari, tapi perubahan karena pernikahan adalah hal berbeda, bukan? (Hal. 159)


Keyakinan memang butuh waktu, bukan? (Hal. 163)


Persahabatan adalah tentang manusia. Bukan semua perbedaan itu, apalagi baju. (Hal. 188)


Perang tak pernah membiarkan orang berduka lama-lama. Manusia harus bangun dan bertahan kalaupun yang tersisa hanya kehancuran. (Hal. 243)


Kita harus belajar dari masa lalu biar hidup bisa seimbang. Tapi, nasib siapa yang tahu? Sia-sia juga hidup seimbang kalau besoknya mati tertabrak truk. Nasib buruk juga bisa datang. Hidup seimbang bukan untuk umur panjang. Tapi, biar aku hidup–walau singkat–tak terlalu menderita. (Hal. 253)


Setiap harapan membawa kemungkinan kekecewaan. Tapi, kalau tidak punya harapan, kita punya apa lagi? (Hal. 274)


Namanya manusia, godaannya banyak. Ya, harta. Ya, kuasa. Ya, cinta. Manusia sering ndak mau eling. Tahu-rahu terlambat. (Hal. 294)


Sejarah harus mengangkat kemanusiaan tinggi-tinggi karena politik berdiri di atas kepentingan. Sejarah bisa kalah lawan politik. Dan, seharusnya itu tidak terjadi. Sejarah menghapus lupa, dan politik memuntir ingatan. (Hal. 304)


Bikin prestasi bukan untuk pencapaian, tapi keharusan. (Hal. 305)


Memang, keluarga tidak dibangun di atas peran satu orang–butuh banyak orang untuk membesarkan anak dan membentuk sejarah. Semua keluarga punya sejarah, dan dalam sejarah ada keajaiban. (Hal. 311)


Bukan harta yang menyatukan kita, tapi perasaan saling menyayangi. (Hal. 327)


Sungguh, tidak ada cara merespon cerita sedih yang lebih baik daripada diam dan membuka telinga lebar-lebar. (Hal. 333)


Mungkin ada yang kira orang dewasa selalu membantu anak-anak karena mereka lemah. Padahal pada saat yang sama, anak-anak juga mengajari orang dewasa cara melihat hidup. (Hal. 333)


Pada suatu ketika, kenekatan memang diperlukan. (Hal. 373)


Pahit tenan urip, tapi, tetap harus ditelan. (Hal. 379)


Mungkin, hidup begitu juga. Kalau pas, bisa mencerahkan. (Hal. 383)


Kerjakan apa yang ada dan telan semua kesulitan tanpa keluhan. Kesulitan dan kemudahan adalah konsekuensi pilihan. Kalau tidak ada, tidak perlu dibuat-buat, otak harus diajari cara berpikir sederhana. Bersungguh-sungguh dan memaksakan diri adalah dua hal yang berbeda. (Hal. 384)


Bisa jadi, rencana Tuhan muncul lewat kebetulan, bukan? Rencana Tuhan adalah kebetulannya manusia. (Hal. 387)


Namanya juga keadaan. Bisa jadi apa lagi kita selain menerimanya? (Hal. 393)


Hidup bisa tak berubah, tapi mengubah cara pandang bisa bikin perbedaan besar. Tiada cara lain lebih mujarab untuk menghadapi kesulitan, kecuali menghadapinya–bertatapan satu lawan satu. Apa pun yang hidup sajikan di meja harus dimakan. Jalani saja. Orang bisa kalah, tapi merasa jadi korban itu perkara lain. Boleh mengeluh karena hidup memang berat, tapi tak perlu mengasihani diri sampai merasa tak berdaya sama sekali. Cuma satu cara menghadapi nasib buruk: melawan–sebisa-bisanya melawan sampai tak bisa melawan. Jangan berhenti melawan terlalu cepat. (Hal. 393)


Hidup butuh bumbu agar tidak hambar. (Hal. 394)


Posting Komentar

0 Komentar