Nyi Sadikem



Perempuan, meski terlara-lara, kudu tetap berdaya

•••


Identitas buku:

Judul: Nyi Sadikem

Penulis: Artie Ahmad

Penerbit: Marjin Kiri

Tahun: 2025

Jumlah: 221 halaman

ISBN: 9786020788692

Kategori: Novel, fiksi, gowok


•••


Blurbnya:

“Seorang gowok terlatih untuk membantu para pemuda dalam mempersiapkan diri memasuki dunia pernikahan. Sebelum mereka bersanding dengan istri mereka kelak, para pemuda yang masih hijau itu harus mendapatkan pelatihan dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Pekerjaan kami membantu para cantrik lelaki muda itu dalam tanggung jawab berumah tangga, dari urusan dapur, rumah, sampai ranjang.”


Nyi Sadikem merekam kisah hidup Elizabeth van Kirk, seorang perempuan Indo-Belanda yang lahir dari rahim seorang gundik. Kecantikan dirinya menjadi berkat sekaligus kutukan yang melahirkan banyak tragedi. Ritme hidup yang tak pasti mengempaskannya ke dalam sumur kehidupan yang kelam. Korban kekerasan seksual, yang dengan penuh amarah meredam identitas Belandanya untuk menonjolkan kejawaannya, perempuan yang mempertahankan hidup dan martabatnya dengan menjadi pengajar kedewasaan bagi para perjaka…


•••


Garis besarnya:

Terlahir sebagai perempuan cantik keturunan Indo-Belanda, alih-alih mengantarkan Elizabeth van Kirk pada kehidupan yang baik, malah mendapatkan alur hidup yang pelik dan penuh perjuangan. Berawal dari ibunya yang seorang gundik bunuh diri, dirinya sengaja dibuang/dimatikan oleh sang istri sah, dirudapaksa oleh sang penolong, hamil, anaknya meninggal, dan banyak tragedi beruntun lainnya hingga membawanya lebih memilih kejawaannya dan memutuskan menjadi seorang gowok.


Namun, meski profesi tersebut menjadikannya sebagai primadona, rupa-rupanya garis hidup masih saja mengarahkannya ke dalam kehidupan yang nelangsa.


•••


Resensinya:

Perkenalan pertama saya dengan Artie Ahmad. Saya membeli buku ini karena ada acara live IG bersama besti-besti saya untuk membahas buku yang satu ini.


Nyi Sadikem, novel yang banyak menyuarakan perempuan dan kemerdekaan perempuan pada kehidupan sosial budaya zaman kolonial. 


Pembaca bakal mendapati narasi-narasi pasar pernikahan kala itu, seperti perkawinan politik pada tataran priyayi, juga lumrahnya praktik pergundikan yang dilakukan para penjajah.


Dalam novel ini, gundik memiliki kehidupan yang keras, penuh polemik, dan juga konflik: didapatkan lewat perdagangan perempuan karena faktor ekonomi yang menjerat, harus rela menjadi pemuas nafsu di atas ranjang, menjadi babu pula di luar kamar tidur, ketidakpastian jaminan kehidupan yang lebih baik apalagi kecipratan menyandang status sosial lebih tinggi.


Isu ketimpangan gender dan kelas sosial tidak hanya berhenti pada gundik semata, melainkan melalui perjalanan seorang Elizabeth alias Moerni alias Nyi Sadikem dengan segala dera kematian-kehilangan-dan-pengkhianatan dalam hidupnya, perempuan tidak sekadar rentan terhadap kekerasan dan penindasan, melainkan pandangan sosial menjadikannya sumber kesalahan, termasuk kegagalan/kehancuran hubungan bersama laki-laki.


Lebih jauh, Artie juga mengajak pembaca untuk memahami bagaimana kekuasaan, seksualitas, dan tradisi mampu berinteraksi dengan apik pada masyarakat Jawa melalui profesi gowok. 


Gowok menjadi pekerjaan yang dianggap mulia karena turut serta membangun wacana berumah tangga yang baik, yang ideal, bagi laki-laki remaja yang sebentar lagi akan menikah sehingga tidak hanya menggairahkan kehidupan seksualitas semata, melainkan juga menyalakan kesalingan dalam rumah tangga, laku antara suami-istri. Yang pasti, menjadi gowok pada masa-masa itu jauh dari kata melarat, hahaha.


Terakhir, melalui karakter Elizabeth alias Moerni alias Nyi Sadikem, pembaca bisa mengerti alasan betapa kukuhnya dia untuk menjalani laku sepanjang hayat sebagai gowok. Pengalaman-pengalaman sebelumnya menciptakan trauma yang tidak mudah dilupakan, terutama untuk kembali terjerat cinta.


Bahkan, rentetan konflik hidupnya tidak lantas membuatnya bertekuk lutut pada patriarki yang langgeng kala itu atau tergerus oleh otoritas penguasa maupun turut serta semena-mena memperlakukan perempuan yang memiliki nasib sebelas-dua belas dengan dirinya dulu. Kisah-tidak-menyenangkan-itu justru membuatnya tangguh lagi berdaya, menjadi pelindung sekaligus “rumah” bagi perempuan yang kurang beruntung.


Artie mampu menampilkan pergulatan identitas dan emosi Nyi Sadikem baik saat meredam identitas Belanda dan memilih kejawaannya, saat berhadapan dengan garis takdir hidupnya yang serupa roll coaster, maupun ketika telah berdikari dan membantu sesama perempuan lainnya. 


Sebenarnya karakter Nyi Sadikem ini berkembang dengan baik, tetapi transisi hidup yang dilalui terjadi begitu kilat dan cepat sehingga pembaca tidak memiliki ruang untuk mendalami alasan-alasan perubahannya. Kemudian, hubungan Elizabeth dengan sang mama (gundik) kurang mendalam, tidak ada narasi atau keakraban ibu–anak yang membuat Elizabeth mencintai mama dan perlunya memilih identitas Jawa, selain menanggung rasa amarah kepada sang papa (dan istri sahnya) karena perlakuan-perlakuan tidak adil yang diterima sang mama. Saya pun cukup terganggu dengan susunan glosarium yang acak. Meski saya tahu itu disesuaikan dengan dialog atau narasi mengikuti lembar halaman, tetapi lebih enak kalau sesuai abjad, bukan.


Disusun dengan POV 1, beralur maju, diksi yang sederhana, dan beberapa kata Jawa yang ada terjemahannya di halaman akhir, Nyi Sadikem saya rekomendasikan bagi pembaca dewasa maupun pencinta fiksi sejarah.


Tertarik baca? 

•••


Kutipannya:

Hidupmu harus terus berjalan. (Hal. 13)


Apa pun yang terjadi denganmu nanti, ingatlah membunuh diri bukanlah jawaban atas semua masalah. Laki-laki memang begitu, suka menanam tak mau bertanggung jawab. Mereka bangsat, tak berani menerima hukuman. (Hal. 20)


Apakah cinta yang tak berbalas harus diganjar hukuman pemerkosaan? Atau mungkin ucapan menyoal cinta sesungguhnya hanya kedok semata; tak ada cinta, yang ada hanya tertarik pada tubuh belaka. (Hal. 22)


Bukankah kematian selalu dekat dengan kehidupan? (Hal. 23)


Perebutan anak memang selalu rumit. (Hal. 67)


Memang begitulah lelaki. Semuanya bajingan! Hanya bentuknya saja yang beda. Tidak pemuda berandal, tidak juga putra saudagar permata! (Hal. 67–68)


Mungkin memang beginilah nasib seorang perempuan yang serupa selir. Dia mudah saja diberi kebahagiaan, namun mudah pula dibuat menderita. (Hal. 69)


Kalau aku terluka lantaran lelaki, aku bisa menundukkan mereka kapan saja jika aku mau. (Hal. 75)


Aku tak perlu repot-repot mengatur perasaanku, karena pekerjaan ini aku sebagai guru. Selaiknya seorang guru, aku hanya perlu mengajari muridku. (Hal. 84)


Tidak semua perempuan tega meninggalkan suami dan anaknya. Selama ini, toh, lebih banyak lelaki yang begitu. Meski tidak semua lelaki brengsek. (Hal. 88-89)


Kehidupan laki-laki dan perempuan bukan saja masalah hubungan badan. Kau harus mengerti itu! Pernikahan adalah laku. Ada hal-hal yang perlu kau pahami tentang mengasuh istri dan istri mengasuhmu. (Hal. 90-91)


Urusan mencintaimu menjadi urusanku. Kau tak perlu membalasnya kalau tak mau. (Hal. 96)


Ingat, dalam hubungan suami-istri, bukan hanya soal kasur! Melainkan banyak hal lain. (Hal. 102)


Tentu saja. Hidup dalam dunia pernikahan saling mengasuh satu sama lain. Tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Kelak kau akan dibantu istrimu, dan seharusnya juga kau membantu istrimu dalam banyak kesempatan. (Hal. 102)


Bukankah aku tak bisa mengendalikan perasaan seseorang? (Hal. 111)


Cinta tak pernah berpihak kepada yang lemah. Cinta akan menjadi petaka ketika semuanya terlalu berlebihan. Perasaan dan laku dalam menjalani ikatan cinta tak boleh terlalu meluap-luap. (Hal. 115)


Cinta meski purba boleh menjadi barang haram. (Hal. 115)


Hidup ini terus berjalan. Perlu warna! (Hal. 123–124)


Bertahan hidup, tumbuh, dan bertambah usia selalu diwarnai dengan kematian dan kelahiran. (Hal. 146)


Sering kali hal paling susah memang menahan marah dan nafsu. (Hal. 157)


Cinta akan selalu membawa kegersangan bagi pemilik hati yang tak bisa merawat tumbuhnya cinta dengan kadar yang tepat. Cinta selalu menjadi bumerang. (Hal. 163)


Seorang dwija (guru) haruslah lebih lihai dibanding cantriknya. (Hal. 163)


Lelaki boleh menyulam, boleh belajar memasak juga. Bahkan mengatur rumah. (Hal. 177)


Seorang gowok terlatih untuk membantu para pemuda dalam mempersiapkan diri memasuki dunia pernikahan. Sebelum mereka bersanding dengan istri mereka kelak, para pemuda hijau itu harus mendapatkan pelatihan dalam menjalani kehidupan berumah tangga. Pekerjaan kami membantu para cantrik lelaki muda itu dalam tanggung jawab berumah tangga, dari urusan dapur, rumah, sampai ranjang. (Hal. 184)


Cinta bisa membuat orang menjadi bodoh! (Hal. 194)


Adab adalah hal utama dalam kehidupan. Masyarakat telah jauh hari mengenal peradaban, ditambah ilmu agama. Perempuan memiliki nilai tersendiri dalam adab bermasyarakat. (Hal. 198)


Di dunia ini, jika ada kesalahan atau kehancuran perihal hubungan laki-laki dan perempuan, maka perempuanlah yang bersalah. (Hal. 200)


Kita tak saling kenal sebelumnya. Bagaimana mungkin seseorang tak kenal namun bisa cinta? Itu namanya tak mungkin. (Hal. 202–203)


Posting Komentar

0 Komentar