Ketika mitologi Minangkabau berpadu dengan realitas sosial-politik Indonesia
•••
Identitas buku:
Judul: Inyik Balang
Penulis: Andre Septiawan
Penerbit: KPG
Tahun: 2024
Jumlah: 158 halaman
ISBN: 9786231342355
Kategori: Novel, fiksi sejarah, budaya, lokalitas, Minangkabau
•••
Blurbnya:
Perempuan itu perlahan-lahan menjelma menjadi seekor harimau putih dengan bulu yang jauh lebih kemilau dari silau sajadah imam surau. Seekor harimau besar belaka, lebih besar daripada seekor kerbau bajak, tetapi gerakan kepala dan liuk ekornya lincah umpama tupai jinak di tangan. Sesuatu yang tidak mampu dinalar benak Mangkutak pun terjadi: Labai Lebe dan harimau putih jelmaan perempuan itu berjalan menembus dinding.
Mangkutak terpilih mewarisi tunggane dari Lebai Lebe, membuatnya menjadi bagian dari Alam Sebalik Mata, dan memiliki usia yang lebih panjang. Dengan kemampuan warisan ini, Mangkutak menjadi saksi atas banyak peristiwa sejarah dan gejolak sosial masyarakat Minangkabau, serta perubahan Indonesia. Novel Inyik Balang merentang kisah dengan kelindan legenda dan peristiwa sejarah, mulai era 1800-an hingga Orde Baru.
•••
Garis besarnya:
Mangkutak, pemuda yatim piatu, saat mengikuti perburuan babi mengalami kecelakaan dan pada waktu itu pula dia diwarisi kemampuan menjadi tunggane, titisan Inyik Balang. Kekuatan tersebut tidak hanya mengantarkannya memasuki Alam Sebalik Mata–dunia gaib, melainkan juga menjalani hidup lebih panjang dibanding manusia lainnya yang membuatnya merasakan sejumlah peristiwa sejarah Indonesia, seperti PDRI, PRRI, hingga Orde Baru.
•••
Resensinya:
Sebuah pengalaman yang mengesankan lagi menyenangkan membaca Inyik Balang karya Andre Septiawan.
Dalam pandangan saya, Inyik Balang berhasil mengawinkan budaya Minangkabau dengan atmosfer sejarah penting Indonesia, yang terjadi di Sumatera Barat (Perang Padri, PDRI–Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, hingga PRRI–Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), serta dinamika sosial masyarakatnya secara mendalam.
Andre banyak menggambarkan keunikan budaya Minangkabau yang dapat memperkaya pemahaman pembaca terhadap salah satu identitas keberagaman Indonesia. Selain sistem kekerabatan matrilineal, novel ini menampilkan surau sebagai pusat agama sekaligus kegiatan edukatif (seperti silat) bagi para pemuda dalam banyak hal; mengajarkan agar memperkaya pengalaman hidup dengan cara merantau; penggunaan ungkapan atau peribahasa sebagai bagian dari komunikasi atau percakapan sehari-hari; ritus perburuan babi beserta tata caranya; hingga menempatkan mitos/legenda orang bunian sebagai entitas lain yang masih dipercaya hingga sekarang, maupun mengajak berpetualang ke Alam Sebalik Mata, dunia (atau kerajaan) gaib.
Selain itu, seperti judulnya Inyik Balang, buku ini pun memberikan dimensi mistis pada mitologi Inyiak Balang, manusia yang bisa berubah menjadi harimau dengan segala kelebihan kemampuan seperti hidup panjang hingga kekebalan tubuh, yang diwariskan kepada penerus berikutnya. Inyiak Balang bisa menjadi cerminan pentingnya kearifan lokal yang menekankan pada hubungan harmonis antara manusia dengan alam, kontrol sosial, dan penghormatan terhadap aturan dan keseimbangan hidup bersama.
Tidak berhenti pada budaya, Inyik Balang turut mengisahkan perjalanan hidup sang tokoh utama (Mangkutak) yang ikut menyaksikan dan berpartisipasi pada lini masa sejarah Indonesia, khususnya di tanah Minang meskipun ada pula saat dia dalam perantauan di Yogyakarta.
Andre banyak menyampaikan pesan-pesan atau pandangannya melalui karakter-karakternya, mengajak pembaca untuk menilik dan menggali kembali kebenaran sejarah yang telah beredar dan diketahui orang banyak. Salah satunya peristiwa PRRI.
Secara keseluruhan, Inyik Balang mengajak pembaca untuk melihat lagi ke diri kita, siapa kita, identitas kita. Novel ini mengingatkan kita untuk jangan pernah berhenti menjunjung akar budaya kita, pengetahuan lokal, warisan budaya kita sebagai fondasi fundamental yang harus dilestarikan, sebagai aset yang dapat dikembangkan, sebagai sumber kekayaan intelektual yang terus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman dan modernisasi; serta melihat sejarah dalam sudut pandang lain.
Andre menuliskan Inyik Balang dengan menggunakan POV 3, beralur maju-mundur, dan gaya berceritanya khas penulis-penulis tempo dulu–klasik dan kosakata yang jarang digunakan–sehingga terasa autentik sekaligus memperkuat lokalitas Minangkabau. Saya pada awalnya menyanding KBBI, tetapi lama-lama … ya, sudahlah, wkwkwk.
Gambar lain bisa dilihat di sini
Saya tidak merasa ada kekurangan dalam buku ini, karena menyenangkan membacanya, membawa pengalaman yang berbeda. Bisa berkenalan dengan latar budaya yang kaya, bahasa, sampai sudut pandang sejarah dari pihak Minangkabau sehingga menjadi referensi bagi saya untuk memahami cara berpikir dan berlaku orang Minang. Meskipun ada beberapa kalimat yang saya tidak paham artinya, saya maafkan, hahaha.
Buku ini saya rekomendasikan untuk pencinta fiksi sejarah dan budaya, yang ingin mencoba bacaan dengan gaya berbeda, serta sayang untuk dilewatkan bagi pembaca asal Minangkabau.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Lawan pantang dicari, tetapi jikalau bertemu pantang pula dielakkan. (Hal. 6)
Bermain air basah, bermain api letup. (Hal. 10)
Di mana cendawan tumbuh, di situlah terentak tembilang. Di mana perkara tumbuh, di situlah kita selesaikan. (Hal. 10)
Petarung sejati menjaga marwah. Pantang ilmu kebal digunakan dalam pertarungan satu lawan satu. Semua harus dirampungkan dengan perkasa. (Hal. 10)
Hakikat pertarungan satu lawan satu di laga kampung tidak pernah berakhir imbang. Jika bukan salah seorang menyatakan menyerah, maka pilihan lain bertarung habis-habisan sampai salah seorang di antaranya mati. Itu berlaku sekalipun tanpa undang-undang perkelahian mencatat pasal-pasal dalam kitab silat mana pun. (Hal. 11)
Mempercepat kematian dengan cara apa pun juga hanya akan menyeretmu kepada kedalaman kerak neraka. (Hal. 37)
Selagi maut masih belum mencapai kerongkongan, taubat seorang hamba masih diterima. Bahkan dosa paling maksiat sekalipun. (Hal. 37)
Merdeka artinya bebas. Kita tidak lagi menghamba. Kita menjadi tuan di tanah kita sendiri. Alurnya pemerintahan kita yang tentukan. Kemerdekaan ialah hak dasar segala bangsa. MERDEKA! (Hal. 52)
Gajah bertarung dengan gajah, pelanduk mati di tengah-tengah, demikianlah tampaknya peribahasa yang dapat menggambarkan nasib rakyat negeri ini selama dijajah bangsa asing. (Hal 53)
Perang tidak pernah bisa dimenangkan oleh emosi yang meledak-ledak. Tetapi haruslah dengan perhitungan yang tepat dan kepala dingin. Ingat, jika kita tidak mengakhiri perang, barangkali nasib kita yang akan berakhir. (Hal. 82)
Pernahkah kamu perhatikan di Tanah Jawa sedari dulu, bahkan sebelum dijajah Belanda, mereka, rakyat jelatanya sudah demikian tunduk pada titah penguasa, telah mendarah daging, tidak peduli sebangsat apa pun pucuk pimpinan mereka. Tabuat rakyatnya pantang membantah. Kurenah penguasanya haram disanggah. Itu sudah adat mereka. Adat mengoreksi itu nihil. (Hal. 88)
Borok berasal dari kudis, pertengkaran bermula dari senda-gurau. (Hal. 98)
Buruk tabiat memang tak dapat jadi tolok ukur bijaknya seseorang. (Hal. 104)
Hidup … memang demikian penuh rahasia. (Hal. 108)
Apa seorang hamba lebih kuasa dari Tuannya dalam hal menentukan nasib manusia? (Hal. 109)
Masa lalu adalah sesuatu yang tak elok disebut-sebut, tak patut diingat-ingat. (Hal. 125)
Banyak ketimpangan sosial dan ketidakadilan masih merajalela di sekitar kita, dan Saudara menghendaki hidup yang lurus-lurus saja? Saudara kira kita sudah sepenuhnya merdeka? Belum! Belanda pergi, musuh selanjutnya adalah dari orang sebangsa kita sendiri. Zaman sekarang menjadi guru tidak lagi semata alifbata seperti dahulu, Saudara harus lebih daripada itu. Lihatlah sekarang betapa banyak pemuda terpelajar yang telah insyaf berpolitik, sudah mula mereka mempergunakan tenaga dan akal pikiran mereka untuk membina negara yang benar-benar merdeka. (Hal. 125)
Betapa merugi hidup Saudara selama ini, tiada sumbangsih yang berarti yang berarti terhadap bangsa dan negara, bahkan pada perkara agama yang Saudara agung-agungkan, Saudara tak lebih daripada seorang yang berpegang pada tarikat yang daif. Sudahlah hubungan dengan Tuhan tidak kafah sempurna, pada penderitaan sesama manusia pun Saudara berpicing mata. (Hal. 127)
Saat sekarang ini. orang-orang yang berpolitik yang amat dibutuhkan republik. Orang-orang yang memberikan bukti nyata. Aksi massa ataupun organisasi yang peduli kepada penderitaan sesama. Sebab pemerintah dan orang-orang berkuasa kita, lihatlah! Betapa lemah dan egois. Sibuk memikirkan diri sendiri. Padahal orang-orang butuh dikasih makanan, fasilitas kesehatan, dan keamanan dengan harga murah. Dan semuanya itu tidak mereka peroleh dari para guru, penceramah, apalagi pemerintah. (Hal. 127)
Rambut boleh sama hitam, tapi pikiran berlain-lain. (Hal. 128)
Daripada bersahabat dengan orang bebal, lebih baik berseteru dengan orang berakal. (Hal. 129)
Ingatlah tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. (Hal. 129)
Bukankah setiap bani ada paderi dan perangnya sendiri-sendiri? (Hal. 138)
Sebagaimana tabiat mereka yang memegang kuasa senantiasa termaktub, pemerintah berkuasa tidak pernah termaktub tercatat sebagai penjahat. Untuk itu akan selalu ada orang-orang lain untuk dipersilakan. (Hal. 143)
Seremuk tak berbentuk apa pun luka yang membekas pada sebatang badan tentu akan lebih cepat sembuhnya ketimbang apa-apa yang melukai perasaan. (Hal. 143)
Begitulah tabiat pengkhianat, serupa menolong anjing terjepit, sudah lepas malah kita yang gigit. (Hal. 144)
Sekeras apa pun batu akan belah juga ditimpa oleh tetes-tetes air yang tekun berguguran di mulut gua, konon pula hati manusia. Itu hanya perkara waktu … Benar memang, usia tua membikin seorang semakin bijak dan bajik, melunakkan hati yang mengkal dengan segala kemaha-pongahannya. (Hal. 153)
Menang jadi arang, kalah jadi abu … kita sama berjuang demi merebut kemerdekaan dari tangan para penjajah nan loba. Kini lihatlah! Setelahnya kita justru dilanda perang saudara, baku bunuh dengan mereka yang dulu sama bersumpah setia menjunjung satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia. Semoga apa-apa yang terjadi di tahun-tahun belakang, tidak terjadi lagi di masa-masa hadapan … Beberapa perang sepertinya memang harus kita sesali. (Hal. 152)

.webp)
.webp)
.webp)
.webp)
0 Komentar