Suatu musim yang ruwet
•••
Identitas buku:
Judul: Musim Prahara
Penulis: Fernanda Melchor
Penerjemah: Astrid Wasistyanti
Penerbit: Moooi
Tahun: 2024
Jumlah: 212 halaman
ISBN: 9786238837649
Kategori: Novel, fiksi, perempuan, pembunuhan, umpatan, kekerasan, pedofilia
•••
Blurbnya:
“Dukun sialan, jangan mulai deh, ngelakuin yang aneh-aneh, sekarang gini: sudah berapa kali coba kaubantu aku menggugurkan, membantu gadis-gadis mudaku juga, apa susahnya, kauingin aku bayar berapa?”
Mak Dukun mati. Mayatnya teronggok di sebuah kanal, ditemukan sekelompok anak yang tengah bermain. Mak Dukun yang mereka akui atau tidak, merupakan pusat semesta di desa itu. Polisi melakukan penyelidikan. Siapakah Mak Dukun? Siapa orang-orang yang begitu tega membunuh Mak Dukun? Benarkah ia memiliki harta karun berupa keping-keping emas, dan benarkah ia dukun menakutkan? Apa hubungannya dengan gadis kecil yang diseret ke tempatnya untuk menggugurkan kandungan? Dengan bahasa yang blak-blakan, melantur, novel ini membuka begitu banyak rahasia, yang semuanya terjalin dalam tali-temali desas-desus yang ruwet semrawut.
•••
Garis besarnya:
La Matosa, desa kecil tanpa harapan yang–barangkali–telah ditinggalkan Tuhan. Berawal dari penemuan mayat Mak Dukun yang tragis–sosok yang membuat para pria gamang sekaligus diandalkan oleh para perempuan karena kerap membantu mereka dengan jampi-jampi asmara maupun menyediakan jasa aborsi ilegal–kisah berkembang menjadi sebuah prahara yang menimpa La Matosa akibat perilaku warganya yang tidak terkendali. Mulai dari percaya takhayul, pergaulan bebas, pesta narkoba, kekerasan, kerakusan akan simpanan harta Mak Dukun yang diincar semua orang, hingga polisi-polisi korup.
•••
Resensinya:
Saya tidak bisa mengatakan apa pun selain LUAR BIASA untuk novel yang satu ini. Musim Prahara benar-benar bacaan yang saya banget dari segi teknik berceritanya: kalimat panjang-panjang, majemuk atau bertingkat, dan penuh tanda koma, hahahaha.
Oh iya, saya awalnya ingin mereviu buku ini seperti novelnya yang satu bab satu paragraf, tetapi saya urungkan. Saya akan melakukan itu pada kanal-kanal lain seperti IG, Goodreads, dan X saja.
Musim Prahara, sebuah novel yang membikin pembacanya terperangkap penuh dalam kelindan kekerasan, kejahatan, kemiskinan, kebodohan, kesengsaraan, dan patriarki yang tidak terhindarkan dengan cerita-ceritanya berpusat pada upaya sia-sia melawan kesepian dan ketidakberdayaan mereka sendiri.
Melchor berani menggambarkan kehidupan Meksiko melalui sebuah desa miskin La Matosa dengan rentetan kebrutalan penduduknya (kekerasan, kejahatan, penindasan, anak-anak membenci orang tua pun sebaliknya, pengabaian orang tua, kecabulan, pelecehan anak, pelecehan seksual, pedofilia, bestialitias, prostitusi, aborsi, nge-drug, alkoholik, pencurian), memercayai ilmu hitam, mengamini takhayul, menyenangi prasangka, bergosip, teperdaya agama; dengan laki-laki yang gemar mengekspresikan kejantanan atau maskulinitas agar tidak termarjinalkan, melakukan misogini dan homofili–untuk mendapatkan uang–sekaligus homofobia dan transfobia; para perempuan yang terjerumus dalam ketakutannya (menikah muda atau menjadi pelacur, diperlakukan tidak adil, dipukuli, dst); serta bagaimana otoritas lebih mementingkan uang ketimbang keadilan dan menempatkan masyarakat sebagai lapisan sosial yang tidak penting.
Benar-benar tempat-miskin-tanpa-harapan-tanpa-masa-depan-dan-tanpa-jalan-keluar-sama-sekali. Sebuah lingkaran setan.
Melalui kedelapan babnya, Melchor tidak sekadar mengajak pembaca untuk menyimpulkan siapa pelaku beserta motifnya maupun menelusuri pikiran-pikiran dan kedalaman jiwa lima karakter utama yang terlibat dalam pembunuhan (yang mencolek kemanusiaan kita); melainkan juga memberikan kritik keras terhadap objektifikasi perempuan–dan transpuan–serta mengeksplorasi ketimpangan sosial dan dampak psikologi dari struktur kehidupan tersebut berpengaruh terhadap individu–terutama anak-anak–dan melahirkan konflik horizontal pada masyarakat.
Melchor sukses mengisahkannya dengan begitu gamblang, penuh amarah, menyedihkan, tetapi tidak terasa berlebihan. Saya sangat meyakini, pembaca bakal sering-sering tepok jidat, geleng-geleng kepala, merasakan syok-kesal-marah, sampai … menarik napas dalam-dalam, hahahaha. Karena saya pun begitu. Menandakan keberhasilan Melchor dalam mengolah latar cerita serta tokoh-tokohnya. Dalam pandangan saya, semuanya berkesan (dengan caranya masing-masing).
Selain itu, Melchor menuliskan keseluruhan Musim Prahara secara naratif, tanpa dialog langsung (pakai tanda petik–” … “) sama sekali, kalimat-kalimat panjang dan bertingkat yang dipisahkan dengan tanda baca koma, dan detail. Satu bab hanya ada satu paragraf. Tentu ini membutuhkan kesabaran dan konsentrasi penuh untuk menamatkannya.
Meskipun tiap-tiap bab memiliki sudut pandang tokohnya masing-masing, tetapi tetap berkesinambungan dan terjalin menjadi kesatuan utuh. Terjemahannya pun sangat-sangat-sangat-sangat-sangat apik, luwes, dan lincah sekali: memainkan banyak kosakata baik termasuk bahasa gaul atau bahasa kasar layaknya anak tongkrongan, menyebabkan ceritanya mudah dipahami dan segala bentuk umpatan/kata-kata vulgar terasa pas dan enggak maksa.
Novel yang menggunakan POV 3 dan beralur campuran ini jelas tidak cocok untuk semua orang sebab muatan ceritanya yang suram dan tidak ada manis-manisnya atau gaya berceritanya yang bikin pusing, tetapi tetap saya rekomendasikan untuk dewasa muda, pencinta Amerika Latin, maupun yang ingin mencoba pengalaman membaca yang berbeda (baik teknik bercerita maupun terjemahannya).
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Bunga utang itu suatu bentuk perampokan. (Hal. 10)
Bagaimana mungkin seseorang rela menjadi idiot sepanjang hari, lidah menempel di langit-langit mulut dan pikiran kosong seperti televisi tanpa sinyal. (Hal. 53)
Dasar kaum perempuan, tanpa terkecuali satu pun, mereka suka membuat drama semacam itu demi mengikat pria. (Hal. 62)
Segala sesuatu bisa jadi alasan untuk bertengkar. (Hal. 62)
Politik itu omong kosong belaka. (Hal. 65)
Ilusi kosong pada akhirnya akan membuatnya sangat menderita, karena terlalu terpaku di sana. (Hal. 66)
Mana mungkin seseorang yang cerdas dan berpengaruh seperti itu mau membantu bocah tidak berguna seperti itu, seseorang yang bukan kerabatnya? (Hal. 67)
Toh pada akhirnya setiap orang melakukan apa yang mereka inginkan dan mampu lakukan dalam hidup ini, bukan? (Hal. 68)
Dunia itu, ya, miliknya para orang cerdas, jadi kalau kau bodoh, kau bakal diinjak-injak. (Hal. 101)
Para sialan dan bajingan hanya bisa bicara tapi tidak pernah memenuhi janji mereka. (Hal. 110)
Karena aku sebenarnya enggak mau punya anak, dan seorang suami harus tahu itu, hal-hal seperti itu kita harus bilang dengan jelas, buat apa sok berhati malaikat, lebih baik dijelaskan baik-baik, tanpa filter biar semua orang tahu, punya anak, tuh, malapetaka, enggak ada cara untuk menutup-nutupi kenyataan kalau, pada dasarnya, semua anak bakal jadi hambatan benalu, dan lintah yang mengisap nyawa dan darahmu, ditambah lagi, mereka enggak akan pernah berterima kasih padamu atas segala pengorbananmu buat mereka. (Hal. 135)
Mengira doa bakal menyelesaikan segala macam masalah, melalui intervensi Yang Kuasa. (Hal. 157)
Karena orang-orang mati bisa merasakan ketika ada suara yang mengajak mereka mengobrol, menjelaskan berbagai macam hal, dengan demikian bisa sedikit menghibur mereka, dan membuat mereka berhenti mengganggu orang-orang yang masih hidup. (Hal. 211)

.webp)
.webp)
.webp)
.webp)
0 Komentar