Sebuah dongeng manis yang membumi
•••
Identitas buku:
Judul: Kokokan Mencari Arumbawangi
Penulis: Cyntha Hariadi
Penerbit: GPU
Tahun: Cetakan ke-3: 2025
Jumlah: 337 halaman
ISBN: 9786020640259
Kategori: Novel, fiksi, dongeng, anak, agraria
•••
Blurbnya:
Seorang anak dikirim dari langit, dibawa oleh kokokan, dan dijatuhkan ke kebun bawang merah milik Nanamama. Anak itu kotor sekali, tapi sangat lucu. Kakaputu yang melihatnya langsung sayang dan membawanya pulang. Nanamama memberinya nama Arumbawangi. Sejak itu hidup mereka bertiga penuh kegembiraan, sampai suatu ketika datanglah seorang pengusaha hendak mendirikan hotel di tengah sawah. Saat seluruh warga desa sepakat untuk menjual lahan, hanya Nanamama yang bergeming. Tanah adalah denyut nadi bagi Nanamama. Walau keserakahan manusia kadang lebih berkuasa dari akal sehat, Nanamama bersama Kakaputu dan Arumbawangi dengan gagah berani mempertahankan tanah mereka.
•••
Garis besarnya:
Berkisah tentang keseharian keluarga kecil di Bali, Nanamama–seorang ibu tunggal–bersama kedua anaknya, Kakaputu dan Arumbawangi.
Beberapa tahun sebelum menjadi bagian dari keluarga, Arumbawangi (2) hadir dibawa oleh seekor kokokan dan dijatuhkan di kebun bawang milik Nanamama sesaat usai wanita itu mengharapkan seorang adik untuk Kakaputu agar si anak menjadi lebih berani dan bertanggung jawab.
Meski dianggap sebagai pembawa malapetaka/bebai bagi masyarakat sekitar, Nanamama dan Kakaputu tetap menyayangi Arumbawangi. Mereka hidup dengan bahagia, selalu berdampingan dengan alam, dan menjadikan sawah serta kebun miliknya sebagai sumber kehidupan dan penghidupan.
Kehidupan Nanamama yang bekerja sebagai petani sederhana dalam tatanan pedesaan yang asri berubah tatkala invasi dunia baru nan modern yang ditawarkan pengusaha kota melalui pembelian persawahan dan bermaksud mengubahnya menjadi hotel-hotel. Para warga tergiur menjual tanah moyang mereka dengan iming-iming kehidupan yang lebih baik.
Tatkala semua masyarakat bersepakat dengan pembangunan hotel, Nanamama menjadi satu-satunya penentang. Tidak hanya dia seorang, kedua anaknya pun siap mempertahankan tanah mereka. Meskipun Jojo–anak pengusaha hotel–berkawan baik dengan Kakaputu dan Arumbawangi, tidak mengubah pendirian mereka.
Hingga … sebuah tragedi menimpa hotel tersebut dan Nanamama menjadi kambing hitam.
Hingga akhirnya … Nanamama meninggal dunia dan tekanan masyarakat berpindah kepada anak-anaknya.
•••
Resensinya:
Kapan terakhir kalian membaca atau mendengar dongeng?
Indonesia sendiri kaya akan dongeng-dongeng yang masih akrab di telinga, seperti Timun Mas, Malin Kundang, Bawang Merah Bawang Putih, Legenda Candi Prambanan, dan masih banyak lainnya. Belum pula cerita-cerita dunia yang sudah dibukukan dan banyak beredar di pasaran. Bahkan ada yang telah dialihwanahakan menjadi film atau seri.
Dulu, sewaktu saya kecil (dan mungkin hingga sekarang), dongeng itu selalu menampilkan kebaikan melawan kejahatan dan kebaikanlah juaranya. Namun, jangan harap pakem tersebut ada pada cerita Kokokan Mencari Arumbawangi (selanjutnya saya tulis KMA).
KMA, alih-alih sebuah novel, Cyntha justru menuliskan sebagai sebuah dongeng nusantara yang terinspirasi dari The Stork, legenda burung bangau yang mengantarkan bayi karya Hans Christian Andersen. Dalam pandangan saya, KMA ini sebuah dongeng yang membumi. Benar bahwa banyak pesan moral yang disuguhkan layaknya dongeng pada umumnya, tetapi bagian yang seperti cerita-cerita anak itu hanya bagian awal dan akhirnya saja. Selebihnya? Kisah nyata.
KMA, sebuah dongeng yang banyak membicarakan hubungan manusia dengan alam, bagaimana seharusnya manusia menempatkan alam, menghormati alam, melestarikannya, menanamkan rasa solidaritas terhadapnya, dan tidak mengganggu alam, alih-alih mengeksploitasi, menganggap alam boleh diperlakukan sesuka hati.
Melalui buku ini, Cyntha hendak mengajak pembaca (dan, lagi, manusia) untuk bisa hidup berdampingan dengan alam dan mengolahnya dengan baik meskipun kita tidak menampik peradaban, tetapi KMA menggugah kesadaran betapa pentingnya menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam, keberlanjutan lingkungan.
Dengan menjaga warisan berupa alam ini, Cyntha pun mengingatkan kita untuk terus mensyukuri pemberian Tuhan, mensyukuri keberkahan yang diberikan oleh-Nya melalui alam dengan cara menjalankan ibadah, mempertahankan tradisi (yang baik, ya).
Tidak hanya bertema lingkungan, KMA pun turut mengangkat relasi manusia. Melalui Nanamama–Kakaputu–Arumbawangi, pembaca mendapati kehangatan dalam keluarga. Rasa kekeluargaan tumbuh tidak melulu harus dalam ikatan darah, melainkan juga bisa karena kemanusiaan dan kasih sayang. Memanusiakan kemanusiaannya sekaligus menyapa kemanusiaan dengan kasih sayang, bukankah itu satu hal alami yang diberikan tuhan kepada manusia? Bukankah itu penghargaan manusia sebagai makhluk Tuhan?
Hubungan sesama manusia dalam KMA pun menyentil prasangka sosial manusia yang tanpa disadari menunjukkan sikap dan perilaku negatif kepada orang lain yang berbeda dengan kelompoknya. Cynta apik menyuguhkan cerita yang mendorong pembaca untuk menghargai indahnya perbedaan, mengajarkan nilai-nilai toleransi kepada anak, menyikapi kemarahan yang dapat memotivasi pembaca untuk menghadapi ketidakadilan.
Cerita anak ini juga mengemukakan kritik sosial atas alih fungsi tanah atas nama modernisasi atau bisnis. Meski–dalam pandangan saya–menghadirkan dilema, ya, sebab kemajuan itu pasti, tergantung masyarakat dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki. Kembali lagi pada hubungan manusia dengan alam yang saya sampaikan sebelumnya. Meskipun menjanjikan keuntungan, bukan berarti menanggalkan nilai-nilai yang telah mengakar sebelumnya. Sekalipun demi kemajuan, tetap perlu mempertimbangkan kebaikan bagi semua pihak (saya yakin ini sulitnya minta ampun)
KMA ini berhasil mengemas cerita dengan ringan, tetapi penuh makna; berhasil memuat isu-isu sosial dalam bentuk dongeng yang tidak selalunya berakhir bahagia; berhasil merefleksikan kenyataan sehingga memberikan pengajaran–terutama kepada anak–bahwa hidup itu juga tidak adil, kejam, dan menyakitkan; dan berhasil memperlihatkan kehidupan petani Bali yang bersinergi dengan alam.
Diksi buku ini indah, narasi-narasinya bisa terbaca seperti tengah mendongeng, deskripsi latar tidak diragukan lagi, plotnya rapi dan detail (ya karena ini dongeng, cerita anak, makanya perlu tetek bengek tindakan ini menghasilkan itu di kemudian hari, perlu disampaikan hasil-hasil perbuatan, asal pemikiran, dan konfrontasi para tokoh.).
Sayangnya, saya merasa bosan pada pertengahan buku. Kisah bersama Jojo terasa lambat. Namun, begitu kebersamaan anak-anak itu usai, ceritanya kembali menyenangkan dan mendebarkan.
Menggunakan alur campuran, buku ini cocok untuk semua umur (meski pada kover belakang tertulis 9+). Pastinya, bagi anak-anak, KMA mampu meningkatkan level bacaan (dengan temanya sehingga bisa menjadi ruang diskusi bersama orang tua), mampu mengasah kepekaan anak atas persoalan kehidupan (relasi manusia dengan manusia/alam, hidup itu juga ada konfliknya, Nak, enggak cuma main-main doang, hahahaha), menjadi wadah bercerita bersama orang tua saat menjelang tidur.
Terakhir, mari memandang buku ini sebagai dongeng sehingga segala hal dalam KMA bisa dipahami, seperti kedatangan kokokan yang membawa Arumbawangi. Sejak dulu, konsep dongeng tidak selalu interaksi manusia, bahkan ada yang menggunakan fabel maupun cerita fantasi. Yang penting setiap unsur-unsur pembentuk dongeng itu ada sehingga bisa lebih memahami keterkaitan di dalamnya: imajinatif, ilustratif, bahasa yang mudah dipahami, anak sebagai pusatnya
Barangkali ada yang mempertanyakan apakah iya KMA cocok untuk anak? Konfliknya terlalu berat bagi anak, diksinya tidak bisa dipahami anak.
Dalam pandangan saya, bisa.
Dongeng sendiri merupakan bagian dari sastra anak. Sebagai dongeng haruslah memuat pesan-pesan, menyelipkan nilai-nilai baik pada anak, entah tersirat maupun tersurat. Lantas, mengapa tidak bisa menampilkan hal-hal yang rumit kepada anak? Dalam keseharian saja mereka penuh kejutan. Oleh karenanya, tidak harus menampilkan perbuatan yang baik-baik, perlu juga menekankan pada dampak buruk terhadap sesuatu hal sehingga anak mampu mengidentifikasi dirinya. Diksi pun terbaca seperti kita hendak mendongeng. Coba bongkar-bongkar lagi cerita dongeng kita.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Lebih cepat selesai, lebih baik. (Hal. 1)
Setiap orang merasa dirinya wajar-wajar saja. Anggapan aneh itu datang dari orang lain. (Hal. 3)
Kalau belum boleh dicoba, tidak boleh berpikir yang paling buruk. Lebih baik tidak tahu kalau yang paling buruk bisa terjadi. Sebuah pendirian yang sulit diterapkan pada saat-saat genting. (Hal. 6)
Tanah yang tidak digarap, tak akan punya nyawa. Seperti jiwa kita, kalau tidak pernah sakit, tak akan jadi kuat. (Hal. 17)
Tidak ada orang yang pernah sedih. (Hal. 17)
Bagi setiap petani, lumpur mengandung segala kebaikan. Kau bilang itu kotor, mereka takkan tersinggung. Paling cuma heran bertanya dalam hati, ‘Memang yang kau makan setiap hari tumbuh di mana?’ Selalu di bawah. Bagian terendah. Nista abadi. (Hal. 20)
Penjelasan gaib adalah yang paling masuk akal atas peristiwa yang tidak wajar tersebut. (Hal. 29)
Orang yang tidak suka pada kita, belum tentu musuh, bukan? Musuh itu menyerang dan ingin menaklukan. (Hal 51)
Dalam beberapa hal, kau tidak bisa menyamakan manusia dengan tanaman. Manusia punya kekuatan lebih besar. (Hal. 51-52)
Kalau tiba-tiba saja kau menemukan sesuatu tumbuh di tanahmu dan kau yakin tidak pernah menanamnya, maka kau akan berhati-hati. Apakah tanaman ini–yang kau tidak tahu asal-usulnya–akan mengganggu tanaman lain atau tidak. (Hal. 52)
Selalu ada cara tanah memberi asal manusia mau bekerja. Tanah bekerja karena manusia berharap secukupnya, tak membebani tanah dengan yang muluk. (Hal. 53)
Ketakutan kadang berguna sebab bisa jadi peringatan, namun tak jarang melumpuhkan akan sehat. (Hal. 67)
Mengganti tanah yang bernapas ini dengan gedung-gedung, sama saja membunuh orang-orang yang dihidupinya, kok, tega? Manusia sendiri bisa jadi hama sawah paling jahat! (Hal. 68-69)
Dan tanah tak akan pernah mati, asal kita masih punya tangan dan kaki. (Hal. 111)
Aku bisa mendengar denyut nadiku dan anak-anakku dalam tanah yang kami olah dan sayangi setiap hari. Sebagai balasan, tanah ini memberi kami hidup. Apa jadinya kalau kemudian mesin-mesin itu datang, mengebor, dan menancapkan beton dan besi menembus kulit ke dalam daging sampai jantungku? Tanah ini akan mati. Kami semua. (Hal 152-153)
Usil memang suka jadi bumerang. (Hal. 158)
Keberanian dan kenekatan berbeda tipis tergantung seberapa sadar akan risiko yang kita hadapi. (Hal. 177)
Ketika kau sedang mencari seseorang yang kau sayangi, tidakkah kau merasa hanya seorang diri di dunia ini? (Hal. 184)
Suara yang cuma satu karena tidak didukung oleh yang lain, menjadi lemah dan kesannya salah dibandingkan dengan suara mayoritas yang lantang, tapi belum tentu benar. Menyeramkan bukan, ketika yang salah akan menjadi kebenaran bila ada dukungan? Sedangkan, kebenaran yang tanpa teman, akan dikucilkan dan terlupakan. (Hal. 186)
Apa arti selamanya? Selamanya adalah kapan tanpa ada jawaban. (Hal. 196)
Apakah aku ini bebal atau lugu? Apakah setiap anak sepertiku menerima mentah-mentah, bahwa orangtua dan anak akan selalu bersama? Orangtua dan anak sepertinya tangan kanan dan tangan kiri, bagaimana mungkin aku hidup hanya dengan satu tangan? (Hal. 196)
Menjadi pintar atau bodoh, baik atau jahat … mereka tidak bisa dipuaskan. Sampai mau memisahkan kita, bukan hanya janji orang-orang yang saling cinta, tapi juga saling benci. (Hal. 208)
Kau tahu, ketika seharian dari pagi sampai sore, kau merasa seluruh dunia memusuhimu, keluargamu, terutama menghina ibumu, bukannya kecil melempem, kau bisa merasa sebesar raksasa dan nekat. Karena kemarahan tidak selalu buruk. Kita tidak mampu harus selalu sabar. Kemarahan bisa jadi kekuatan. Untuk membuktikan bahwa kita ada. Sebagai manusia. Seburuk-buruknya. Sekecil-kecilnya. (Hal. 209)
Terkutuk memang bila kau berbeda atau hanya pendapatmu saja tidak sama. (Hal 219)
Sangat kangen dan sangat marah bisa bikin sakit luar biasa. (Hal. 228)
Kita harus belajar menabung. Jangan sekali-kali uang dihabiskan untuk makan, rumah, dan pakaian yang berlebihan. Paling bahaya adalah hiburan yang bikin ketagihan seperti judi dan minuman keras. Itu yang paling menghabiskan uang dan menghancurkan keluarga. (Hal. 236)
Petani menumbuhkan biji-biji emas yang bisa dimakan, bahwa biji-biji itu adalah pucuk-pucuk api yang bisa dimasukkan ke mulut untuk menyucikan tanpa membakar; bahwa satu-satunya waktu petani merasa kaya, memiliki harta paling berharga di dunia adalah ketika masa panen tiba, dikelilingi emas yang menghampar dan berkilau-kilau. (Hal. 254)
Maukah kau menerima batuan yang memang kau butuhkan dari orang yang menghina saudaramu? (Hal. 261)
Betapa mudahnya melupakan permusuhan bila kita menemukan persamaan dan mencoba menikmatinya walaupun sementara. (Hal. 267)
Begitu kita sedang tidak bahagia, kita akan kembali ingat perbedaan masing-masing. (Hal. 269)
Bahwa orang yang membantu bukan berarti pasti akan melindungi. Berharap memang sebaiknya satu per satu. (Hal. 286)
Pagar itu tak hanya tembok, kawat itu tak hanya terbuat dari logam, beling itu tak hanya pecahan gelas; aku pernah terbentur tembok, tertusuk kawat, dan menginjak beling, tapi tak ada yang sesakit ini; dusta itu ternyata hanya mampu dilakukan oleh manusia, tidak binatang, apalagi tumbuhan. (Hal 287)
Bukankah kebaikan tidak membutuhkan akal, cuma niat baik? (Hal. 290)
Begitulah kalau prasangka sudah menguasai kita, kita ingin kenyataan yang mencocokkan diri dengan prasangka, bukan menekan prasangka agar kenyataan yang bicara. (Hal. 295)
… para petani langsung membayangkan bilur-bilur padi di masa panen digantikan dengan lembaran-lembaran uang warna merah lebih dalam merunduk saking tebalnya. Betapa tangan mereka tak sabar untuk memetiknya. Tak akan ada lagi hama binatang yang mengganggu – mereka tak bisa makan uang–hanya sesama manusia yang saling bunuh. (Hal 295-296)
Mengapa melihat orang berseragam dengan pistol di pinggang selalu menimbulkan rasa takut padahal kita tidak melakukan kesalahan apa pun? (Hal. 306)
Namanya juga makhluk hidup, pasti punya perasaan dan insting untuk tetap hidup. (Hal. 318)
Mereka lupa manusia yang mempunyai sifat-sifat hewani jauh lebih banyak dari binatang yang manusiawi. (Hal. 318)
Bila kau mendapatkan saudara yang baik, bukankah kau sendiri harus berperilaku baik? (Hal. 318)

0 Komentar