Kisah seorang kakek mempersiapkan kematiannya sendiri
Identitas buku:
Judul: Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang
Penulis: Wisnu Suryaning Adji
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun: 2022
Jumlah: 266 halaman
ISBN: 9786022919841
Kategori: fiksi, novel, romansa, kesehatan mental (trauma), fiksi sejarah, Naskah yang Menarik Perhatian Juri Sayembara Novel DKJ 2019
•••
Blurbnya:
Dia laki-laki Tionghoa yang tinggal bersama anak-anaknya melewati tahun 1965.
Berbagai kejadian menguji kekuatan hidupnya.
Dia bertahan.
Dia hidup melewati zaman.
Dia menua, hingga merasa telah hidup terlalu lama.
Kini, dia cuma menginginkan satu hal: Mati.
Ternyata, mati juga sama sulitnya.
•••
Garis besarnya:
Seorang lelaki tua keturunan Tionghoa, yang tidak diketahui namanya hingga akhir, tetapi biasa dipanggil Ncek, berusia 76 tahun, rutin memastikan tanda kehidupannya setiap membuka mata di pagi hari: dirinya masih hidup, yang dipandang langit-langit kamar dan bukanlah atap peti mati, tersenyum untuk mengecek apakah otot-otot wajahnya berfungsi, hingga membalas panggilan anaknya dari luar pintu kamar—yang juga memastikan apakah dia masih hidup.
Pada usia tua, Ncek menjalani hidup dengan gerutuan dan omelan. Mulai dari penyakit darah tingginya, janji dengan mendiang istri untuk menjaga anak-anak mereka yang dianggap bodoh dan tidak berguna karena menggantungkan hidup kepadanya, kelakuan para pelanggan di toko terpal miliknya, kelima anaknya yang menunggu kematiannya demi warisan, sistem pendidikan, hingga makanan.
Merasa lelah dan telah hidup lama dengan berbagai kejadian pahit yang dialaminya, Ncek berkeinginan segera mati untuk bisa bertemu istrinya. Akan tetapi, keinginan untuk mati rupa-rupanya sama sulitnya dengan menjalani hidup. Akhirnya, Ncek menyusun rencana supaya bisa mati dengan mengundang sendiri Malaikat Maut.
Sebuah kisah yang menggabungkan perjalanan masa lalu Ncek yang malang dengan menyedihkannya kehidupan sekarang, serta sebuah rencana besar untuk mengakhiri hidupnya dengan tenang.
•••
Resensinya:
Sebelum saya membaca buku ini, saya terbiasa membuka halaman terakhir untuk membaca siapa si penulis novel, dan dibuat terheran-heran dengan sebuah kotak bertuliskan kesehatan mental, ajakan untuk menghubungi tenaga profesional, dan diakhiri dengan kata-kata: Percayalah Anda tidak sendiri.
Terus terang, saya belum memiliki gambaran seperti apa cerita kali ini sebab blurbnya menawarkan kisah etnis Tionghoa yang melewati tahun 1965 dan berkeinginan untuk mati. Sudah. Itu saja. Tidak terpikirkan apalagi mengaitkan dengan persoalan kesehatan mental.
Rencana Besar untuk Mati dengan Tenang (selanjutnya saya singkat RBMdT), sebuah novel muram penuh kegundahan batin dan luapan kemarahan yang dijalani oleh tokoh Aku (Ncek) pada usia tuanya.
Ada alasan yang menjadikan Ncek bersikap demikian dan novel ini cukup baik menggambarkan kehidupan Ncek yang keras lagi pahit, serta berhasil menangkap rasa sakit dan trauma tidak kentara sebagai penggerak cerita.
Pembaca bakal menyelami perjalanan kisah Ncek: Menjalani masa kecil di panti asuhan dengan perundungan dan kekerasan seksual hingga membuatnya melarikan diri dan terkatung-katung dengan kerasnya hidup di pasar dan jalanan, sampai kehidupannya perlahan membaik dan bertemu dengan sang istri (meski tidak direstui), tetapi kegagalan dan kekecewaan kembali menghampiri tatkala dirinya dan istrinya menjadi korban peristiwa 1965 dan berlanjut membuahkan kekesalan tidak berkesudahan terhadap semua hal pada masa kini.
Setiap tahapan-tahapan kejadian dikisahkan dengan apik oleh Mas Wis, terutama tatkala usai sang istri meninggal, karakter Ncek mengalami krisis emosional yang membuatnya mengalami perubahan pandangan terhadap nilai-nilai hidupnya. Berawal dari penolakan pengalaman atas duka cita hingga ke tahap marah-marah, depresi, tanpa mau menerima semua keadaan tersebut. Ncek begitu mencintai istrinya, dirinya tidak mau mengingkari janjinya dengan sang istri sekalipun harus menjalani kehidupan dengan kehampaan dan kekesalan-kekesalan, terutama karena ulah anak-anaknya yang menginginkan dirinya segera mati untuk warisan.
Novel ini penuh dengan keluhan, umpatan, gerutuan, dan omelan ala orang tua (dalam buku ini: seorang kakek berumur 70-an tahun). Cukup menjengkelkan, memang, sebab apa saja jadi bahan bakarnya. Namun, makin ke belakang, ternyata seru dan lucu juga, hahaha. Mas Wis tidak sekadar mengemas novelnya dengan racauan kakek-kakek, melainkan dalam kata-kata sinisnya yang bertaburan menghiasi cerita tersebut mengandung humor satire yang menyeret pembaca mengikuti perjalanan hidupnya yang malang maupun rencana persiapan kematiannya.
Ncek adalah seorang lansia yang sendirian, gambaran sebagian besar kakek-nenek kita yang mengalami perjalanan hidup tidak mudah, melalui banyak hal. Bagaimana karakter kuat mereka tertempa pengalaman-pengalaman masa lalu, bertahan dalam ketiadaan dan ketidakadilan. Sarkasme yang muncul sebagai tanggapan atas perubahan zaman yang tidak sejalan dengan cara pandangnya. Terlebih lagi, Ncek berasal dari etnis Tionghoa yang dalam lintasan sejarah Indonesia banyak menjadi pelampiasan politik. Ncek hanyalah korban. Mengalami. Menyaksikan. Perlahan dari sang istri kemudian merembet menggerogoti dirinya, jiwanya. Terluka. Membawa trauma (yang bahkan tidak disadarinya). Dan dunia tidak memedulikan mereka. Tidak memahami mereka.
Saya akhirnya menyadari maksud tulisan dalam kotak yang berada pada akhir buku ini.
Selain membincangkan kesehatan mental, novel ini juga mengingatkan kepada pembaca perihal hubungan orang tua-anak (dalam buku ini: ayah-anak). Banyak sekali relasi yang tersendat antara keduanya. Minim sekali komunikasi yang terbangun, entah karena rasa tidak percaya sang ayah kepada anak-anaknya atau sang anak tidak mendapatkan kesempatan atau memang payah semua dalam menjalin hubungan (tidak tahu harus bagaimana).
Di samping itu, meski suram, RBMdT masih menyuguhkan ketangguhan dan semangat kerja keras sang tokoh utama sekalipun telah termakan usia. Menua itu pasti. Menua kerap ditautkan dengan berkurangnya aktivitas dan saat tepat untuk istirahat. Akan tetapi, Ncek masih memegang kendali dalam bisnisnya (meski dalam cerita karena tidak percaya terhadap anak-anaknya, ya, hahaha) dan belajar hal baru dalam hidupnya yang telah tua (internet, wkwkwk). Bagi Ncek, menua adalah saat untuk memberikan pengajaran berharga bagi keluarga terdekatnya meski belum bisa terbebas sepenuhnya dari persoalan hidup.
Novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama (POV 1/aku) dan beralur campuran untuk mengisahkan kilas balik kehidupan tokoh utama. Cara berceritanya halus meskipun mengandung tragedi. Latar cerita dan penamaan pada novel tidak begitu jelas (Kota Ini, nama anaknya: A-B-C-D-E, dst.), tetapi masih asyik untuk diikuti.
Latar sejarah 1965 tidak begitu kental, hanya membangun kecemasan dalam suasana pasar kemudian muncul penyerangan-penyerangan terhadap etnis Tionghoa, tetapi tetap menjadi bagian penting kehidupan tokoh Aku (Ncek)
Novel ini layak dibaca sebab selain menarik, juga mengambil sudut pandang unik. Selain itu, buku ini banyak kalimat-kalimat quotable.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Ketika kusadari bahwa aku telah terus-menerus melakukan kegiatan yang sama, di waktu yang sama, dengan cara yang sama, setiap hari—di sanalah kusadari bahwa aku memang menua karena menua adalah perulangan kejadian-kejadian. (Hal. 12)
Salah satu keberanian paling penting untuk dikuasai manusia adalah keberanian untuk bangun pagi setiap hari. (Hal. 17)
Apa yang dilakukan oleh orang-orang mati sebelum mereka benar-benar mati sehingga Malaikat Maut begitu yakin mencabut nyawa mereka tanpa menunda-nunda? (Hal. 22)
Waktu bukanlah makhluk yang disiplin. Dia meregang dan memuai sesuka-sukanya, sebebas-bebasnya. Waktu adalah penjara, dan aku narapidana tak berdaya yang dibelenggu di dalamnya. Cerita ini bisa memampatkannya, tapi waktu tak berjalan seperti cerita yang bisa dan boleh melompat semau-maunya. Waktu berjalan seperti serigala yang sendirian, merangkak, merayap, berlari, meninggalkan. (Hal. 28)
Ketika manusia memiliki kebebasan absolut, bisa jadi, sesungguhnya dia merindukan ikatan. Manusia butuh pulang, dan manusia tidak bisa pulang kepada kebebasan. Manusia pulang kepada ikatan. Walau, bisa saja mereka tidak sadar tengah melakukannya. (Hal. 34)
Pendapat yang mengatakan bahwa manusia tidak boleh membenci adalah sama bodohnya dengan pendapat yang bilang bahwa manusia harus selalu mencinta. Manusia berubah, dari satu sisi ke sisi lainnya. Bertabrakan. Manusia bergerak karena benturan, sebagaimana semua benda di semesta yang akan tetap diam sampai sesuatu membenturnya, mendorongnya, membuatnya menghentikannya, atau membelokkan lagi arahnya. Benci dan cinta adalah kekuatan yang menggerakkan manusia. (Hal. 36)
Uang bukanlah permainan orang bodoh. Sebanyak apa pun uang yang dimiliki orang bodoh, ia cuma akan menghilang seperti air mengalir dalam comberan. (Hal. 42)
Hidup selalu butuh visi-misi. Dengan visi yang jelas, kita bisa memanfaatkan low of attraction dan konspirasi semesta. (Hal. 43)
Kredit adalah sarana bagus untuk orang-orang yang punya keinginan melebihi uang yang dimiliki. Sering, orang-orang macam itu tidak tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan, tapi menginginkan apa saja, dan itulah yang membuat mereka miskin. Tapi, berbisnis dengan orang miskin bisa menghasilkan uang banyak, dan bisa sangat menyenangkan. (Hal. 49)
Mungkin, memang begitu manusia, berpindah-pindah lokasi sampai salah satunya mengikat, dan membuat hatinya tak mau pergi. (Hal. 54)
Mungkin, orang-orang zaman sekarang lebih senang bersantai, dan sikap santailah yang membuat otak jadi bodoh. Selain itu, sistem pendidikan nasional telah memperkenankan mereka bersantai dalam hidup. Mereka lupa bahwa hidup adalah perkara-perkara yang ada di luar pagar gedung sekolah—tempat kepintaran dan kebodohan benar-benar diuji kualitasnya. Sekolah gemar membuat seorang anak terlambat menyadarinya. (Hal. 56)
Hidup dipadatkan dalam sebuah kotak kecil bernama waktu, dan nasib adalah benda tak berguna yang dijejalkan ke dalamnya sampai tidak bisa digerakkan. (Hal. 58)
Begitupun manusia, seharusnya menyukai kebersihan terutama kebersihan hidup dari jeratan utang. (Hal. 69)
Zaman tak pernah mudah untuk siapa pun yang hidup di situ. (Hal. 73)
Manusia selalu butuh cerita mengenaskan meski hanya dari sosok khayalan. (Hal. 77)
Mati dengan tenang adalah kemewahan. (Hal. 77)
Apa yang perlu dirayakan dari hidup? (Hal. 78)
Aku sudah pengalaman dengan kebodohan yang dilakukan berulang-ulang, terutama kebodohanku sendiri yang sempat mengira bahwa cinta bisa mengalahkan segala-galanya. Ada yang bisa mengalahkan cinta: harta, kata-kata manis, dan tentu saja perjodohan. (Hal. 97)
Pendidikan adalah jalan terbaik untuk perubahan. (Hal. 101)
Tidak boleh lagi ada perbedaan pribumi, atau bukan pribumi. Itulah mengapa pendidikan jadi penting. (Hal. 102)
Bilang kepada orang-orang di atas sana, berhentilah berebut kekuasaan. Rakyat butuh makan. (Hal. 102)
Terlalu banyak orang bodoh gemar mengoceh tentang hal-hal yang tidak mereka pahami. (Hal. 103)
Benarlah, tiada jaminan bahwa berhemat bisa membuatku jadi kaya, tapi berhemat bisa membuatku mampu bertahan lebih lama dalam kemiskinan, memang cuma itu yang diperlukan. (Hal. 103)
Orang pintar memang membuat perihal-perihal rumit jadi jelas dan sederhana, sedangkan kebodohan adalah kepandaian jenis lain, yaitu pandai membuat rumit hal-hal yang sebenarnya sederhana. (Hal. 117)
Manusia berutang budi pada semua kepahitan dalam hidupnya, pada masa lalu, juga pada kenangan-kenangan yang hendak dilupakan, karena kebahagiaan tidak punya kekuatan yang lebih besar daripada kepahitan untuk mengubah hidup seseorang, juga nasibnya. (Hal. 139)
Orang tidak perlu bunuh diri karena siapa pun bisa mati dengan sendirinya, entah karena satu alasan, atau alasan lainnya. Buatku, hidup justru menjadi sangat berharga untuk dipertahankan karena dengan mudah bisa hilang. Cukup wajar untuk seorang manusia biasa: baru menyadari harga kehidupan kalau melihat betapa dekat kematian. (Hal. 143)
Aku takut menuduh, tapi aku kerap merasa bahwa Tuhan yang satu selalu berusaha menjebak pengikut Tuhan yang lain. Tuhan-Tuhan tak pernah bisa saling membiarkan atau menyuruh pengikutnya untuk saling membiarkan, dan tak berusaha menjebak pengikut Tuhan lainnya. Selain itu, Tuhan seharusnya punya kekuatan untuk melindungi pengikut dari kekhawatiran akibat perasaan selalu sedang diserang oleh pengikut Tuhan lain. Tuhan seharusnya memberi rasa aman—terutama dari imajinasi mereka sendiri. Mungkin Tuhan-Tuhan telah mewariskan seluruh kekuasaan kepada manusia sehingga tidak merasa perlu repot-repot untuk sesuatu. Paling tidak sepanjang waktu yang aku pernah tahu. (Hal. 144)
Karena menjadi manusia adalah tentang apa yang berani diraihnya. (Hal. 148)
Cukup bisa dipahami pula bahwa menyatukan dua orang adalah kerumitan yang pelik dan memisahkannya bisa terjadi dengan cara begitu mudah—ini jadi semacam hukum alam tentang ketidakadilan. (Hal. 149)
Sebelum ditempati, janji harus dianggap sebagai kata-kata yang pasti diingkari. (Hal. 154)
Karena kesepakatan, atau ketidaksepakatan kerap kali bukan perkara kesediaan, melainkan kekuasaan yang memaksa. (Hal. 156)
Ada dua kemungkinan mengapa kau bisa begitu mengingat masa kecil yang seharusnya terlupakan. Pertama kau begitu bahagia. Kedua kau begitu menderita. (Hal. 162)
Mungkin berpikir memang menghabiskan tenaga lebih besar, dan itulah penyebab banyak orang malas berpikir. (Hal. 164)
Tidakkah orang yang ingin membahagiakan orang lain harus menyadari apakah benar keinginannya untuk membahagiakan orang lain itu bisa membuat orang lain itu bahagia? Atau, justru membantu orang lain itu tidak bahagia? Bagaimana jika ada orang lain yang bisa membuat orang lain itu bahagia? (Hal. 179)
Mungkin, manusia melupakan tanggal-tanggal, tapi tidak ditakdirkan untuk melupakan kejadian-kejadian. Kita terus mengingatnya selama diperlukan. Kadang, aku heran, mengapa kejadian kejadian buruk begitu sulit dilupakan. Padahal mengingat itu seperti tidak ada gunanya. Mungkin kejadian-kejadian buruk adalah guru galak yang terus mengingatkan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan, sementara kita semua adalah murid nakal yang hendak terus lari dari pelajaran. (Hal. 182)
Ada kalanya waktu tak perlu diperpanjang, dia harus dikejar. (Hal. 196)
Kita butuh alasan-alasan, bahkan yang dikarang-karang, untuk menjelaskan, bukan semata kebenaran. Kebohongan yang bisa memberikan alasan lebih mudah diyakini dibanding kebenaran yang tak menjelaskan keberadaan. Mungkin, aku meyakini kebohonganku sendiri, tapi aku tak peduli. Kita butuh memahami keberadaan sebagai kejadian yang muncul karena alasan-alasan, yang kadang terlalu sulit untuk bisa diceritakan. Itulah sebabnya kita mengarang-ngarang. (Hal. 197)
Cinta memang terampil memicu kebodohan dan pendek akal. (Hal. 199)
Karena berjalan tanpa tujuan bukanlah kegiatan yang boleh dijadikan kebiasaan. (Hal. 201)
Didiklah diri kalian. Percayalah, tidak ada orang yang bisa melakukannya lebih baik daripada diri kalian sendiri, atau kalian akan jadi bodoh. Tidak ada yang bisa lebih berbahaya dibanding kebodohan. Biarlah anak-anak terbebas dari dosa-dosa dan kebodohan orang tua mereka. (Hal. 260)
Tiada seorang pun bisa bebas dari mimpi buruk masa lalunya. Ada yang bilang: Maafkan saja, karena kiranya memaafkan bisa membebaskan, kalaupun benar begitu. (Hal. 260)




0 Komentar