•••
Identitas buku:
Judul: Lelaki Harimau
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: Gramedia
Tahun: 2004
Jumlah: 190 halaman
ISBN: 97860207497
Kategori: fiksi, novel, kekerasan
•••
Blurbnya:
Pada lanskap yang sureal, Margio adalah bocah yang menggiring babi ke dalam perangkap. Namun di sore ketika seharusnya rehat menanti musim perburuan, ia terperosok dalam tragedi pembunuhan paling brutal. Di balik motif-motif yang berhamburan, antara cinta dan pengkhianatan, rasa takut dan berahi, bunga dan darah, ia menyangkal dengan tandas. “Bukan aku yang melakukannya,” ia berkata dan melanjutkan, “Ada harimau di dalam tubuhku.”
•••
Garis besarnya:
Novel dibuka dengan Margio (20) melakukan pembunuhan terhadap Anwar Sadat, seorang seniman, dengan cara menggigit leher sang korban nyaris terputus. Kejadian ini menggemparkan warga sebab selama ini Margio dikenal sebagai pemuda yang tidak banyak tingkah dan tidak menemukan alasan masuk akal yang menyebabkan dia harus menghabisi nyawa Anwar Sadat. Saat diamankan pihak berwenang, pelaku menyangkal telah melakukan tindakan keji tersebut. Dirinya berdalih, bahwa harimau yang bersemayam dalam tubuhnya yang melakukan aksi brutal itu terhadap korban.
•••
Resensinya:
Lama sekali saya tidak membaca karya Eka Kurniawan. Dulu, sebelum meniatkan diri meresensi buku-buku, saya pernah membaca kumpulan cerita pendek Corat-Coret di Toilet dan novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Nanti suatu ketika saya akan baca ulang dan saya buat resensinya. Semoga tidak lupa, hahaha.
Lantas bagaimana kesan saya usai membaca Lelaki Harimau? Sungguh, saya merasa tidak bahagia. Bukan karena ceritanya yang muram (karena ada lucu dan manisnya juga). Bukan. Akan tetapi, karena kemalangan-kemalangan menyedihkan yang menimpa keluarga Margio.
Mari saya jabarkan.
Lelaki Harimau berisi jalinan konflik-konflik pelik lagi tumpang tindih yang menjadi sebab-musabab tragedi pada bagian pertama novel. Ragam konflik tersebut termanifestasikan oleh satu karakter yang terpicu dari pertentangan karakter tersebut dengan diri sendiri, tokoh lain, sistem, hingga alam.
Banyak sekali isu yang menguar dari buku ini. Sebut saja: KDRT, dominasi laki-laki pada kehidupan seksual alias kekerasan seksual, kemiskinan, pergaulan bebas, pola asuh, sampai tekanan batin. Namun, boleh saya katakan, Lelaki Harimau cenderung menawarkan kisah psikologi manusia.
Pada lapis pertama, pembaca bakal banyak menemui konflik fisik dalam buku ini, terutama yang menimpa keluarga Margio. Ayahnya, Komar bin Syueb, seorang tukang cukur, selalu penuh amarah dan gemar memukul istri dan anaknya hingga Margio bernafsu ingin membunuhnya suatu hari nanti; ibunya, Nuraeni, dibuat gila oleh perilaku kasar sang suami sampai-sampai Margio terobsesi agar ibunya dapat kembali bahagia meski dengan cara ganjil sekalipun.
Selain KDRT, novel ini juga membawa cerita kekerasan seksual dalam rumah tangga. Komar bin Syueb rupa-rupanya tidak cukup bertindak bengis, dia juga melibatkan tindakan eksploitasi secara seksual berupa hubungan seksual kepada sang istri yang menyebabkan Nuraeni tidak mampu berbuat apa pun untuk melawan.
Terkena kekerasan fisik dan seksual menimbulkan konflik batin bagi diri Nuraeni, membuatnya menghabiskan banyak waktu dalam kesedihan dan kemurungan, memilih diam dan memendamnya, dan hanya dapat melampiaskan dengan berbicara kepada peralatan memasak di dapur sampai-sampai anggota keluarga mengira Nuraeni mengalami gangguan jiwa.
Alih-alih mencari solusi, sialnya, Nuraeni memilih melakukan tindakan yang membuka konflik baru. Dia mencari kebahagiaan dengan melakukan hubungan seksual dengan Anwar Sadat. Perselingkuhan ini bukan tidak diketahui Komar maupun Margio, sebab jalinan terlarang tersebut membuahkan janin dalam rahim Nuraeni.
Konflik batin ini juga dialami oleh Margio. Pembaca akan turut mengikuti tumbuh kembang Margio yang terkukung dalam keputusasaan sebab kekerasan, baik yang dialami oleh dirinya sendiri maupun adik dan ibunya, setiap hariya; kekecewaan terhadap sosok ayah maupun suami yang tidak bisa membahagiakan istri dan anak-anaknya; nalarnya masih bisa menilai perilaku benar-salah yang diperbuat Nuraeni, tetapi pada akhirnya mencoba menegosiasi diri sebab kasih sayangnya kepada sang ibu.
Membaca Lelaki Harimau jelas tidak boleh melewatkan pengulangan yang ada di dalam novel ini. Eka Kurniawan menarasikan peristiwa atau tindakan serupa berulang kali menjadi satu pola yang saling berkaitan, yakni kekerasan/kejahatan, pembunuhan, hingga kasih sayang. Ini merupakan cara agar pembaca dapat menelusuri konflik utama melalui lorong waktu masa lalu-masa kini yang diciptakan oleh Eka Kurniawan.
Pengulangan kejadian dalam lompatan waktu ini cukup mampu mengaitkan peristiwa masa lalu mempunyai andil dalam kehidupan masa kini; mendedah bagaimana karakter manusia itu sejatinya terwariskan dari pendahulu, memiliki pola atau kebiasaan yang sama, sebutlah, Margio yang mengalami konflik batin mirip ibunya dan amarah yang sama seperti sang ayah, kemudian ada dua anak Anwar Sadat yang sebelas-dua belas kelakuannya dengan bapaknya. Perulangan dalam novel ini pun secara tidak langsung menguraikan jika psikologi manusia dapat terbentuk dari situasi traumatis sebagai himpunan kejadian demi kejadian penuh kekerasan yang dialami individu tersebut, setiap waktu, dalam rumah tangga dan lingkungan sekitarnya, berujung pada sebuah tindak kejahatan.
Buku Lelaki Harimau turut serta membawa ketimpangan sosial ekonomi dan kemiskinan yang dialami keluarga Komar bin Syueb (juga Anwar Sadat sebelum menikahi Kasia yang memiliki setengah wilayah daerah mereka). Harga diri Komar tidak cukup mampu menyeret keluarganya dari lubang kemelaratan sehingga mengizinkan dirinya menggunakan jalur kekerasan sebagai pelampiasan. Terbaca familier, bukan?
Pola asuh juga mewarnai cerita ini. Ketidakharmonisan dua keluarga, Komar dan Anwar Sadat, menyebabkan yang satu tercengkeram kekerasan, satu lagi mengenal pergaulan bebas. Rasa-rasanya, mereka, para orang tua, malah bersikap egois.
Bahkan, tragedi Margio menggigit mati Anwar Sadat bisa tidak akan pernah terjadi bila sedari awal terjalin komunikasi yang baik antara Komar dan Nuraeni sebelum keduanya memutuskan menikah. Sekalipun mereka menikah karena perjodohan (jangan membahas perihal pernikahan dini, ya, sebab dalam buku ini maupun masa lampau kita dulu, pernikahan dini itu hal lumrah), sepatutnya menjaga komunikasi perlu diupayakan agar tercipta hubungan yang berkualitas sehingga ketika menikah memiliki cukup kemampuan untuk membangun rumah tangga dan menjadi orang tua anak-anaknya.
Parahnya, komunikasi pun turut macet ketika keduanya menjalani kehidupan berumah tangga sampai beranak pinak. Tidak saling menyampaikan kegelisahan, saling memendam ketakutan dan amarah, bahkan ada yang melampiaskannya pada benda-benda di dapur.
Melalui Lelaki Harimau, pembaca bisa menarik makna kata harimau tersebut. Sebagai hal mistis, Eka menuturkan bagaimana takhayul mampu menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari, telah menjadi sesuatu yang diwariskan dari generasi ke generasi. Namun sayangnya, unsur supernatural roh harimau kurang nendang. Ia diceritakan sedikit sekali.
Selain itu, harimau juga bisa mengandung makna yang berbeda, sebagai simbol, sebagai metafora. Bukanlah manusia dapat berubah menjadi seekor harimau, melainkan menuangkan representasi kebengisan-kekejaman-kekuatan-keberanian-keliaran sikap manusia. Sisi lain manusia yang muncul atas satu hal yang sulit dikendalikannya, sesuatu yang berbahaya yang berada pada hati paling dalam manusia sebagaimana ungkapan “Jangan membangunkan harimau tidur”.
Satu hal yang menarik seusai membaca novel ini, selain yang sudah saya uraikan di atas, saya memiliki pandangan bahwa apa yang dilakukan para karakter ini adalah hal yang wajar, tetapi berakhir nahas.
Saya tidak bersepakat dengan tindakan KDRT maupun kekerasan seksual apalagi pembunuhan. Di sini saya ingin menyampaikan bahwa ketika Komar mengabaikan Nuraeni yang tengah hamil anak ketiga (hasil perselingkuhannya) itu sesuatu yang wajar. Tidak semua suami atau ayah memiliki kelapangan hati menerima hal tersebut, sebagaimana tidak semua istri atau ibu mau mengasuh anak haram pasangannya yang dibawa pulang. Padahal Margio memahami itu, lantas mengapa menjadikan itu sebagai amarah bertambah-tambah bahkan sampai mencari keberadaan sanng ayah ke mana-mana.
Pertanyaan yang dilemparkan Margio pun sebenarnya hal wajar. Sebagai seorang anak yang ingin ibunya bahagia. Namun, bagaimana Margio bisa lupa bahwa Anwar Sadat memang sudah dikenal suka main perempuan, mata keranjang. Bukankan percintaan Nuraeni dan Anwar Sadat bisa dibilang cinta satu malam. Tidak melibatkan perasaan (terutama dari pihak laki-laki), dan keduanya sudah pasti sangat paham apa konsekuensi dari persenggamaan tanpa kondom begitu (hadeh …).
Anwar Sadat sendiri pun benar mengatakan dia sudah berkeluarga. Jelas pula dia layaknya laki-laki mokondo kalau zaman now. Istrinya yang memegang penuh keuangan. Kalau dia nikah lagi, sudah pasti dipecat jadi suami. Mana bisa Anwar Sadat mempertaruhkan hal demikian. Nuraeni pun mencari kebahagiaan dari pria lain juga karena ulang suaminya yang begitu.
Sungguh, ini novel orang-orang dewasa yang dilihat dari sudut pandang pemuda berusia dua puluh tahun yang belum matang-matangnya.
Baiklah, sebagai penutup resensi yang ternyata panjang, banyak hal yang bisa pembaca dapatkan dari kisah yang tidak membahagiakan ini. Keluarga menjadi lembaga sosial paling dasar, menjadi akar utama dalam menentukan perilaku seseorang ke depannya, menjadi pondasi dalam segala kebutuhan anggotanya. Penting untuk saling menjaga keharmonisan keluarga agar ketenangan jiwa masing-masing anggota tercipta. Tidak bisa kita pungkiri bahwa konflik dalam keluarga pun memengaruhi kehidupan sehari-hari.
Eka Kurniawan piawai memperkenalkan kisah hidup para karakternya dengan lapisan yang diurai perlahan. Diksi yang digunakan mudah dipahami, deskripsi latar dijelaskan secara detail, dan panjang. Bisa jadi bagi sebagian pembaca akan cepat bosan, tetapi bagi pembaca lainnya sangat menikmati.
Adegan seksual, kekerasan, dan pembunuhan sangat jelas. Anehnya, tidak ada tulisan peringatan maupun tanda rating usia pada kover (kurang tahu untuk cetakan terbaru, ya, karena saya tidak ikutan PO atau belum ada rencana beli bukunya lagi).
Buku ini saya rekomendasikan bagi pencinta Eka Kurniawan dan pembaca dewasa.
Tertarik baca? Sudah baca?
•••
Kutipannya:
Ada banyak perkelahian anak-anak, mabuk atau tidak. Mereka begitu mudah bikin perkara, hanya karena salah senggol di depan panggung dangdut, atau karena salah senggol di depan panggung dangdut, atau kepala menghalangi gambar di film layar tancap, atau disebabkan gadis pujaan hati berjalan dengan lelaki lain. (Hal. 10)
Anak-anak haram jadah selalu akan jadi petaka sebuah keluarga daripada gundiknya sendiri. (Hal. 17)
Tahun-tahun itu berlalu demikian cepat. (Hal. 145)
Pelajaran berharga bahwa cinta selalu memiliki sisinya yang paling menyakitkan. (Hal. 188)
.jpg)
0 Komentar