Menyelami trauma korban Mei 1998
•••
Identitas buku:
Judul: Ingatan Ikan-Ikan
Penulis: Sasti Gotama
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun: 2024
Jumlah: 182 halaman
ISBN: 9786231863997
Kategori: fiksi, novel, kesehatan mental (pengalaman traumatik), fiksi ilmiah
•••
Blurbnya:
Bila mitos itu benar, bahwa ikan mas koki hanya mampu mengingat selama tiga detik, Lian akan mengirim surel kepada Tuhan dan minta dikutuk menjadi ikan.
Bagi Lian, ingatan adalah tawa manusia yang menjelma jarum-jarum menyakitkan. Bagi Ombak, ingatan adalah kaki-kaki sewarna arang dalam kantong hitam pada Kamis kelam sembilan delapan.
Bertahun-tahun kemudian, Penatu Binata hadir menawarkan jasa mencuci ingatan. Berkat itu, tak ada lagi mimpi-mimpi kelam, tak ada lagi tawa yang menyakitkan. Sayangnya, Lian dan Ombak tak mengetahui bahwa ada kekuatan besar di balik Penatu Binata yang ingin meniadakan kenangan tentang hari itu.
Di novel ini, sejarah dituturkan dalam bentuknya yang paling intim: lewat trauma manusia dan proses pulihnya, lewat perjuangan untuk mengingat, dan lewat keyakinan bahwa hanya cinta yang bisa bertahan melawan lupa.
•••
Garis besarnya:
Berkisah Lian Wen, seorang dokter hewan, memilih menarik diri dari interaksi sosial sebab suara tawa manusia yang dia dengar menghadirkan rasa sakit emosional. Di lain pihak, Ombak, pemilik toko ikan, mengalami kesulitan tidur setiap malam meski sudah berusaha keras untuk dapat tidur nyenyak. Meski bisa terlelap pun tidak membuatnya terbebas dari mimpi buruk.
Lian dan Ombak sama-sama memiliki pengalaman traumatis di masa lalu, tepatnya tatkala kerusuhan Mei 1998 terjadi. Mereka menjadi korban akibat gejolak massa saat itu. Keduanya terus membawa luka, tertanam secara mendalam pada alam bawah sadar mereka, dalam menjalani kehidupan masing-masing dan memengaruhi interaksi sehari-hari.
Sampai pada tahun 2005, keduanya menerima surat misterius perihal ajakan percaya pada keajaiban agar terbebas dari ingatan buruk. Mereka, secara terpisah, datang ke Penatu Binata untuk menghapus ingatan-ingatan tersebut.
•••
Resensinya:
Perkenalan pertama saya terhadap Sasti Gotama. Beberapa kumcernya sebenarnya sudah berhasil membuat saya melirik, tetapi belum ada keinginan untuk memasukkannya ke keranjang. Karena ada kesepakatan untuk membahasnya secara live di IG (siaran ulangnya bisa ditonton di sini), saya pun menjadikan hal tersebut sebagai kesempatan untuk membaca novel pertamanya.
Menarik.
Pengalaman menyenangkan membaca buku ini. Mengambil representasi ingatan pengalaman traumatis yang digabungkan dengan unsur-unsur fiksi ilmiah berupa penelitian tentang otak manusia.
Setelah menamatkan buku ini, saya teringat dengan dua buku yang selesai saya baca tahun lalu: 1984 dan One Hundred Years of Solitude. Keduanya memiliki kesamaan perihal ingatan manusia. Pemerintah Big Brother mereduksi dan menyusun ulang kejadian-kejadian yang membuat manusia menjadi tidak memercayai ingatannya sendiri dan memilih menerima (atau tidak peduli lagi?) peristiwa yang ada. Sementara salah satu generasi Buendia menjadi satu-satunya korban selamat dalam kejadian pembantaian massal, tetapi sewaktu dia menceritakan kepada orang lain, tidak ada satu pun yang yakin. Sebab dalam buku-buku sekolah maupun informasi yang beredar menyebutkan tidak ada pembunuhan keji semacam itu. Itu cuma dusta dan mimpi keturunan Buendia semata.
Nah, sama. Buku ini mengulik perihal ingatan manusia, tepatnya ingatan buruk yang menimpa manusia. Di satu sisi para korban kerusuhan Mei 1998 ingin melupakan, tetapi alam bawah sadarnya terus membuat mengingat kejadian yang menyakitkan. Namun, di sisi lainnya, ada pihak-pihak berharap para penyintas ini melupakan agar mereka tidak bersuara demi menyelamatkan negara dari ingatan-ingatan yang berpotensi mengorek sesuatu.
Saya menyukai cara Sasti Gotama membaurkan psikologi manusia, khususnya pengalaman traumatis yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang dan berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari, dengan sains yang mengangkat tragedi kekerasan rasial maupun aksi kepanikan massal pada Mei 1998 dari sudut pandang para korban.
Kesaksian dan pengalaman Lian dan Ombak saat sebelum-selama-sesudah kejadian hingga proses penyembuhan diri keduanya mampu membangkitkan emosi naik-turun.
Selain itu, Sasti mampu menempatkan ingatan manusia sebagai poin penting yang patut untuk digarisbawahi. Ingatan rupa-rupanya tidak cukup untuk konsumsi pribadi, sekadar untuk mengingat atau melupakan sesuatu untuk diri sendiri. Seringkali, ingatan dibentuk oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, atau mungkin pesanan. Melalui mereka inilah, ingatan bisa menciptakan identitas hingga stigma, ingatan mampu menggerakkan masyarakat untuk memilih ingat atau lupa, ingatan dapat menjadi upaya preventif agar tragedi memilukan negara ini tidak terulang lagi, ingatan pun sanggup menjadi alat pemecah belah atau provokasi, ingatan sangat mungkin menghapus seseorang yang dianggap buruk atau jahat, dan ingatan pun, barangkali, terbentuk melalui kebenaran, sejarah-sejarah, dan informasi yang disusun ulang.
Ternyata, ingatan kita itu tidak mutlak milik kita, ya. Milik penguasa atau pemilik kepentingan juga. Apakah kalian menyadarinya?
Tidak cukup, melalui obrolan kemarin, novel ini turut menekankan perlunya ruang para korban kekerasan bersuara. Selain sebagai upaya mengungkap kebenaran, juga mendorong kesadaran masyarakat tentang pentingnya memberikan perhatian terhadap korban kekerasan maupun kesehatan mental, sebab pengalaman traumatis dan kecemasan dapat membentuk kepribadian individu.
Melalui kisah Lian dan Ombak, dua karakter dari etnis yang berbeda, pembaca bakal menyemai nilai-nilai keberagaman yang turut mewarnai cerita ini, konsep mulikultural yang dapat menjadi perekat yang menyatukan masyarakat, bukan memperuncing kebencian terhadap etnis tertentu (dalam novel ini yakni etnis Cina). Tidak ketinggalan, Sasti juga menyinggung standar hidup normal dengan takaran masyarakat sosial, serta menyerempet sebagian warga kita yang gemar berseragam, apa-apa sama, biar kompak, hahaha.
Buku ini tidak melulu muram, ya, isinya nano-nano, kok, jadi tenang saja. Paling ada gemes-geregetannya. Apa itu? Silakan dibaca sendiri, ya.
Menggunakan alur campuran membuat novel ini layaknya membaca kisah perjalanan manusia bersama pengalaman traumatiknya sehingga kita bisa lebih dekat dan memahami kecemasan mereka. Belum lagi cerita B dan Z yang memberikan bumbu politik berbalut fiksi ilmiah.
Ingatan Ikan-Ikan banyak menggunakan padanan kata, jadi saya sarankan KBBI jangan jauh-jauh, ya.
Buku ini saya rekomendasikan bagi siapa saja yang mau peduli dengan ingatan manusia dan kesehatan mental. Jangan lupakan sejarah, dan jangan pernah lelah untuk bersuara.
Tertarik baca? Sudah baca?
•••
Kutipannya:
Bila kepala adalah ruang tunggu pelabuhannya, ingatan adalah pelancong-pelancongnya. (Hal. 1)
Bukankah biasanya orang mengingat hal-hal yang penting saja? Bagiku, tanggal kita lahir bukanlah hal esensial. (Hal. 2)
Sesungguhnya, ingatan adalah entitas yang brutal. Kadang menyaru sebagai fakta solid, kemudian menyeru sebagai satu-satunya kebenaran. Padahal ingatan bukanlah mineral yang mengkristal menjadi bebatuan, melainkan spons yang dengan rakus menyesap opini dan fakta baru. Sepatutnya setiap orang mempertanyakan ingatannya, apakah masih asli atau sekadar barang artifisial. (Hal 7)
Lelaki yang gemar membaca terlihat keren. (Hal. 10)
Dusta adalah sebaik-baiknya obat ketika pilihan-pilihan tak lagi ada. (Hal. 19)
Banyak orang tertawa, tapi ndak bahagia. Ada pula yang bahagia, tetapi ndak tertawa. (Hal. 20)
Menikah dan mencintai bukanlah kembar identik. Dan, tak semua manusia mendapatkan kemewahan untuk bisa menikahi orang yang dicintainya. Terkadang, seseorang menikah hanya demi melanjutkan hidup. (Hal. 28)
Sesungguhnya kenangan palsu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Anda akan tercengang jika saya sampaikan bahwa kenangan bukanlah sesuatu yang ajek, melainkan akan terus berubah dan terbarukan …. Ketika kenangan buruk terhapus, kenangan baru menggantikan. Bukankah dengan kenangan baru yang indah, sisa hari-hari terakhirnya di dunia akan terasa menyenangkan? (Hal. 43)
Kita toh juga manusia. Karena menolong diri sendiri, berarti kita menolong manusia juga. Dan kalau kita berdaya, pada akhirnya kita bisa menolong sesama. (Hal. 71)
Banyak hal buruk terjadi. Tuhan tahu, tetapi tak peduli. (Hal. 72)
Tuhan peduli dengan cara-Nya sendiri. Ketika aku berbuat salah, aku gelisah. Tuhan memberikan rasa gelisah, rasa bersalah itu, sebagai pagar. (Hal. 72)
Apa itu yang namanya normal? Mengapa untuk merasa normal aku harus membandingkan hidupku dengan orang lain? Memangnya aku harus mengikuti standar orang lain? (Hal. 75)
Aku merasa normal. Ternyata untuk merasa normal, aku tak harus mengikuti standar normal milik orang lain. (Hal. 75)
Bukankah setiap manusia itu berdusta? Dan justru karena berdustalah dia menjadi manusia. (Hal. 99)
Bersama ingatan, ada pula tanggung jawab yang dipikul. Ingatan bisa digunakan untuk membantu orang. Tanpa adanya ingatan-ingatan para korban, perjuangan tak akan berdaya guna. Kami membutuhkan banyak ingatan agar bisa ikut membantu yang lain untuk berjuang. Agar di masa depan, kejadian ini tak berulang. (Hal. 100)
Sesuatu di dunia ini memang terkadang tak berjalan seperti yang kita harapkan. Apakah ada alasannya? Tidak. Apakah ada jawaban? Tidak. Pertanyaan ‘mengapa’ hanya membuat kita berjalan berputar-putar. Tak akan pernah ada jawaban. Tapi, kita bisa bertanya ‘apa’. (hal. 103)
Tak perlu tergesa-gesa. Tak harus segera menjadi kuat. Bertahan pun adalah salah satu bentuk kekuatan. Jadilah batu. Abaikan semua yang menyakitkan. Jadilah cuaca. Entah hujan, petir, atau halilintar. Itu lebih baik daripada jika kamu hanya memendamnya. Tak apa sedih, tak apa marah, tak apa lari dari semua tawa manusia. Dunia memang tak selalu bekerja seperti yang kita mau. (Hal. 104)
Rekayasa ingatan itu sebenarnya baik untuk jiwa. Untuk apa mengingat jika itu hanya akan membuat kita sakit? Lupa itu lebih menyenangkan. Milan Kundera pernah berkata, langkah pertama menghancurkan sebuah bangsa adalah menghapus ingatannya. (Hal. 113)
Badai bisa sekoyong-koyong tanpa pertanda, dan tak semua orang punya bunker perlindungan. Kadang seseorang hanya bisa menautkan tangan pada rumput, pada ranting, pada tiang lampu taman. (Hal. 137)
Kamu, aku, boleh jatuh, tetapi jangan runtuh. (Hal. 150)
Yang tinggal akan tetap tinggal, yang pergi akan tetap pergi, sekeras apa pun aku mengupayakan. (Hal. 173)
Dengan ingatan, kita melawan lupa. Dan dengan ingatan pula kita melawan kekuasaan dan ketidakadilan. (Hal. 181)
0 Komentar