Tertolak sebagai Manusia

Mencari cara menjadi manusia saat depresi mendera.


•••


Identitas buku:

Judul: Tertolak sebagai Manusia

Penulis: Osamu Dazai

Penerjemah: Nurul Hanafi

Penerbit: Penerbit Kakatua

Tahun: Cetakan ke-4: 2024

Jumlah: 136 halaman

ISBN: 9786237543480

Kategori: fiksi, novela


•••


Blurbnya:

Yozo adalah seorang pemuda yang eksentrik dan lain dari kebanyakan manusia di sekitarnya dalam memandang diri dan masyarakat. Dia selalu berusaha menyesuaikan diri dengan siapa pun, menurunkan dirinya sampai pada level mereka, tapi dia malah disalahpahami, diperalat, dan bahkan dikhianati. Dia berperan sebagai seorang badut, karena manusia membuatnya takut bersikap jujur. Seiring berjalannya waktu, dalam memainkan peran badut itu dia terjebak di tengah berbagai pengalaman yang tidak menguntungkan dirinya sendiri, jatuh pada kebiasaan destruktif yang pada akhirnya semakin membuatnya tidak berdaya.


•••


Garis besarnya:

Terdiri atas tiga bagian ditambah prolog dan epilog, novel Tertolak sebagai Manusia berisi catatan-catatan yang mengungkap perjalanan hidup Oba Yozo—terlahir dari keluarga berada, aristokrat—dari kanak-kanak hingga dewasa yang merasa penuh penderitaan dan keputusasaan. Sepanjang hidupnya, dia selalu merasa ketakutan akan manusia, memandang manusia sebagai sosok menyeramkan yang begitu mudah menipu manusia lainnya dengan berpura-pura. 


Dia lantas menggunakan lawakan atau menjadi badut untuk menipu dirinya dan orang lain demi menutupi ketakutannya saat bersama manusia lain agar bisa membaur dan diterima. Akan tetapi, kian lama hal tersebut malah menyeretnya, membuatnya melakukan kesalahan yang tidak mampu diperbaiki dan menyebabkannya menarik kesimpulan bahwa dirinya tidak berhasil menjadi manusia. 


BAGIAN PROLOG-EPILOG ditulis oleh seorang narator yang mendapatkan tiga lembar foto Oba Yozo beserta buku catatan yang diberikan seorang wanita pemilik bar sebagai bahan materi novel.


CATATAN PERTAMA mengisahkan Yozo kecil tidak bisa jujur menunjukkan pribadinya. Dia merasa harus selalu berpura-pura periang dan lucu untuk membuat orang lain senang dan tertawa agar tidak dibenci. Pada masa ini, Yozo juga mengalami pelecehan seksual dari pembantu di rumahnya yang membuatnya trauma dan memiliki ketakutan terhadap hal-hal yang tidak bisa dijelaskan.


CATATAN KEDUA DAN KETIGA membawa masa remaja dan dewasa Yozo yang membuatnya tidak bisa lepas dari lingkaran setan kepura-puraan dan malah menambah polemik hidupnya. Dia makin tenggelam dalam kemuraman pikirannya sendiri akan keberadaan manusia dan berpikir untuk bunuh diri. Pada masa inilah, dia lebih sering minum-minum, merokok, terlibat dalam hubungan asmara yang rumit dengan banyak wanita, tergabung dalam gerakan kiri, hingga di kemudian hari, dia terjerumus dalam obat-obatan terlarang.


•••


Resensinya:

Aku sendiri bahkan tidak bisa mengira seperti apakah seharusnya menjalani kehidupan sebagai seorang manusia. (Hal. 7)


No Longer Human telah diterjemahkan melalui beberapa penerbit di Indonesia dengan judul berbeda. Orang Gagal dari Penerbit Basa Basi, Gagal Menjadi Manusia dari Penerbit Mai, dan yang kali ini saya baca dari Penerbit Kakatua: Tertolak sebagai Manusia


Sama seperti karya sebelumnya (baca di sini untuk Matahari Tenggelam atau The Getting Sun), Osamu Dazai menghadirkan karya lain yang tidak kalah mendalam perihal identitas, keterasingan, pemaknaan hidup, moralitas, depresi, dan bunuh diri. Tertolak sebagai Manusia merupakan karya terakhir penulis bernama asli Shūji Tsushima sebelum dia memutuskan bunuh diri tidak lama usai novel ini selesai pada tahun 1948.


Osamu Dazai, konon, turut serta memasukkan kehidupan pribadinya ke dalam novelnya tersebut, maka tidak terlalu mengherankan jika novelnya cenderung memiliki nuansa muram lagi kelam. Sebagai karya semi-otobiografi, buku ini cukup memotret sebagian besar kehidupan Osamu Dazai, mulai dari kegagalan dalam percintaan, partisipasi dalam Partai Komunis, sampai keinginan bunuh diri.


Saya sendiri merasa geregetan usai membaca Tertolak sebagai Manusia. Di satu sisi, saya kesal dengan cara hidup yang dipilih dan ditempuh oleh Oba Yozo. Dia tidak berkonflik dengan siapa pun, cenderung berkecukupan dan bakal hidup dalam kemapanan serta kedamaian seandainya Yozo sedikit memiliki sikap. Di sisi lain, saya kasihan dengan perjalanannya yang tidak mudah. Yozo mengalami konflik tidak berkesudahan dengan dirinya sendiri, selama hidupnya. Dan sepanjang membaca buku ini, saya mendapati Yozo lebih banyak memilih menyiksa diri akibat ketidakpercayaannya kepada manusia yang membuatnya terasing tanpa menemukan bantuan dan solusi.


Saya tidak akan membahas kemuraman atau ketakutan pikiran, hati, dan hidup Yozo terhadap manusia akibat depresi semasa kecil karena berbagai pengalaman kurang menyenangkan yang dia dapatkan, seperti pelecehan seksual, tekanan sosial, sampai-sampai nekat bunuh diri. Yang jelas semua ada sebab-akibat, dan alasan-alasan itu terdapat dalam karya Osamu Dazai ini. Mari kita ambil pembelajaran mengenai tema-tema yang diangkat dalam novel ini. 


Novel ini menyoroti kesehatan mental yang dimiliki seseorang dan—saat itu—tidak ada yang membantu—boro-boro menyadari—kecemasan yang dialami Yozo. Apalagi perihal tersebut belum sepopuler seperti masa-masa sekarang. Karya ini menuntun pembaca untuk melihat dunia lebih luas, menjadi lebih peka, lebih berempati, dan lebih menghargai manusia lain yang memiliki kisah serupa dengan Yozo sehingga kita tidak begitu gampangnya menghakimi, alih-alih mengulurkan bantuan dan mengajak siapa pun mereka agar tidak takut menghadapi sesamanya maupun dunia. Buku ini cukup menunjukan pandangan realistis atas pikiran manusia yang mencoba melawan depresi, keterasingan, kecanduan saat mencari pemahaman bagaimana menjadi seorang manusia itu.


Di samping itu, dalam pandangan saya, buku ini juga mengajarkan perlunya menemukan dan milikilah identitas diri agar mampu bersikap tatkala bersosialisasi sehingga tidak perlu harus berpura-pura menjadi orang lain atau menyesuaikan diri agar bisa diterima maupun dicintai orang lain. Kenalilah diri sendiri dan banggalah dengan diri sendiri apa adanya.


Melalui buku ini pula, kita bisa belajar dari Yozo untuk membangun rasa percaya diri dan menjaga hubungan dengan orang-orang sekitar sehingga kehidupan kita lebih bermakna. Usia manusia terus menua, dan sepanjang umur itulah manusia akan terus belajar memperbaiki diri dari kehidupan yang dinamis.


Tidak ketinggalan, setiap manusia memiliki kisahnya masing-masing, maka bijaklah untuk menjalani kehidupan tersebut tanpa perlu mengikuti alur yang ditentukan orang lain. Lebih mendengarkan diri sendiri, mendengarkan kebutuhan diri, tahu apa yang kita sukai dan yang tidak.


Seperti yang saya kemukakan sebelumnya jika saya geregetan bercampur kasihan dengan Yozo. Namun, nyatanya pribadi-pribadi seperti Yozo pasti ada dan karakternya yang terlihat aneh justru nampak manusiawi. Yang saya sukai adalah klimaksnya yang kembali kepada diri sendiri, berkontemplasi penuh dengan kesadaran.


Novel ini memiliki alur yang lambat dan, mungkin, membosankan bagi sebagian pembaca karena ritme ceritanya monoton dengan ide-pikiran-ketakutan Yozo yang berulang. Buku ini bukanlah buku ceria, bukan pula buku yang mudah dicerna meski hanya dibaca sepintas lalu. Novel ini menggambarkan dengan rinci proses berpikir orang yang mengalami depresi, kegundahan psikologis yang mendalam. Maka perlu kehati-hatian dalam membacanya.


Menggunakan sudut pandang orang pertama membuat jarak pembaca dengan Yozo makin dekat sehingga turut merasakan emosi dan pikiran-pikirannya yang rumit lagi ruwet. Membacanya pun jangan buru-buru apalagi ketika sedang mengalami kegalauan jiwa. Dengan perlahan-lahan menyimak kisah Yozo sedari kecil hingga dewasa, pembaca akan banyak menemukan sisi humanisme dari ketidakamanan, kurangnya ketenangan yang terjadi dalam kehidupan Yozo yang menyebabkan efek destruktif termasuk pecandu alkohol, narkoba, pelacuran, dan upaya bunuh diri.


Saya merekomendasikan novel ini bagi penyuka sastra klasik Jepang maupun pencinta karya-karya Osamu Dazai. Yang sedang mengalami kehampaan diri, mohon untuk menyelesaikannya terlebih dahulu sebelum membaca buku ini daripada makin terdorong untuk jatuh,


Tertarik baca?


•••


Kutipannya:

Secara normal orang terlihat menyembunyikan sifat bawaan ini, tapi akan ada saat di mana kemarahan membuat manusia menunjukkan dalam sekejap sifat menakutkan dari kemarahan itu. (Hal. 13)


Seandainya aku mengeluh pada ayah atau ibuku, atau pada polisi atau pemerintah—aku ragu apakah akhirnya aku tidak diminta diam oleh seseorang atas nama kebaikan dunia, demi alasan yang bisa diterima dunia. (Hal. 19)


Terlalu jelas bahwa rasa pilih kasih itu ada: tak ada gunanya mengeluh kepada manusia. (Hal. 19)


Aku yakin bahwa kehidupan manusia berisi banyak contoh ketidakjujuran yang tulus, menggembirakan, dan menenangkan, jenis ketidakjujuran yang sungguh sangat bagus—milik orang-orang yang saling menyakiti tanpa (anehnya) saling melukai, atau mereka yang seolah bahkan tak sadar bahwa mereka saling merendahkan. (Hal. 21)


Pengalaman pribadi yang panjang telah mengajariku bahwa ketika seorang wanita mendadak menangis histeris maka cara untuk memulihkan semangatnya adalah dengan memberi dia sesuatu yang manis. (Hal. 32)


Ada orang-orang tertentu yang merasa begitu takut pada manusia sampai pada satu titik di mana mereka mendamba untuk bisa melihat dengan mata kepala sendiri para monster atau sosok-sosok lain yang lebih menakutkan. (Hal. 33-34)


Segalanya akan menjadi baik, entah dengan cara apa. (Hal. 80)


Tidakkah benar bahwa tak ada dua manusia yang sepenuhnya saling memahami satu sama lain, sehingga mereka yang menganggap diri sahabat karib bisa saja sama sekali menyalahpahami temannya itu dan karena gagal menyadari kebenaran pedih ini sepanjang hidup maka ia menangis ketika membaca kabar di koran tentang kematiannya? (Hal. 89)


Apakah, pikirku, yang dimaksudkannya dengan ‘masyarakat’? Manusia secara plural? Apa substansi dari hal bernama ‘masyarakat’ ini? (Hal. 89)


Masyarakat. Aku merasa seolah bahkan aku pun akhirnya mulai mendapatkan sedikit pengertian tentang apa maknanya. Ini adalah pertarungan antara satu individu, di mana kemenangan adalah segalanya. Manusia tak pernah menyerah pada sesama manusia …. Manusia tak bisa memikirkan cara bertahan hidup kecuali melalui pertarungan tunggal habis-habisan itu. (Hal. 94)


Tindakan yang bisa dijatuhi hukuman penjara bukan hanya kejahatan. (Hal. 110)


Tuhan, aku tanya kepadamu. Apakah mudah percaya pada orang adalah sebuah dosa? (Hal. 114)


Keraguan melahirkan keraguan baru. (Hal. 116)


Kesedihan. Ada segala macam orang sedih di dunia ini. Kukira tidaklah berlebihan kalau kubilang bahwa dunia ini sepenuhnya berisi orang-orang yang tak bahagia. (Hal. 120)


Orang-orang tak bahagia sensitif dengan sesama penderita. (Hal. 121)


Posting Komentar

0 Komentar