•••
Identitas buku:
Judul: Tersesat Setelah Terlahir Kembali
Penulis: Yoga Zen
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun: 2025
Jumlah: 170 halaman
ISBN: 9786020788647
Kategori: Fiksi, novel, Juara I Sayembara DKJ 2023
•••
Blurbnya:
Di hamparan tanah matrilineal pedalaman Sumatra, seorang lelaki asing dituntut mengikuti tradisi maskulin berburu babi. Tradisi itu kemudian menuntun si lelaki kepada obsesi dan kegilaan; melemparkannya kepada situasi asing dan baru; menjumpai mitos yang dikultuskan masyarakat setempat; dan menguak peristiwa pembantaian di masa silam. Di antara gegar budaya dan kegagalan beradaptasi, si lelaki juga berupaya menjawab dilema dari makna cinta yang sesungguhnya.
•••
Garis besarnya:
Sebagai seorang sumando–menantu laki-laki yang tinggal sementara di rumah istrinya dalam budaya minang; Aku diminta untuk mengikuti perburuan babi. Setelah memiliki seekor anjing (Taro) dan mendapatkan anjing (Poli) pemberian dari ayah mertua, Aku pun bergabung dengan laki-laki lainnya mengikuti tradisi tersebut.
Selang hari, sewaktu Aku mengajak kedua anjing berjalan-jalan dan mengunjungi warung Mak Utiah, Poli–talinya terputus–mati tertabrak kendaraan dan Taro kabur menghilang–dan sesudahnya ditemukan dalam mati mengenaskan.
Setelah usaha-usaha untuk mengurai kejadian, sampailah Aku pada kesimpulan bahwa pihak yang bertanggung jawab menimpa anjing-anjingnya yakni Leman–seorang pensiunan tentara yang mendiami rumah megah sekaligus dianggap orang gila oleh sekitar. Maka Aku mulai melancarkan aksi balas dendamnya.
•••
Resensinya:
Saya ingin menuliskan dua kata dan mengakhirinya dengan tanda baca titik (.) untuk novel ini dan tidak melanjutkan resensinya lagi. Perkenalan pertama saya dengan Yoga Zen selaku penulis dan pemenang lomba sayembara novel DKJ dua tahun yang lalu melalui novel Tersesat Setelah Terlahir Kembali (selanjutnya saya tulis TSTK) ini meninggalkan kesan yang tidak menyenangkan. Bagi saya, novel TSTK ini: kurang menarik.
Oke, sebelum saya paparkan ketidaktertarikan saya dengan novel ini, saya mengapresiasi tim DKJ beserta jajaran dan para juri yang telah memilih TSTK sebagai pemenang nomor satu. Saya meyakini, mereka memiliki pertimbangan, penilaian, dan indikator-indikator sebagai bahan pengambilan keputusan. Apa pun itu, menang tetaplah menang. Juara tetaplah juara.
Lalu, saya apresiasi pula kepada penulis atas capaiannya. Selamat. Tentu tidak mudah, tentu memerlukan proses yang tidak sebentar, dan tentu membutuhkan banyak tenaga-waktu-pikiran untuk menyusun dan menamatkannya.
Dan tatkala buku ini sudah berada di ranah publik, maka ruang diskusi bakal jamak terjadi. Penilaian bakal mengalir deras. Jadi tidak sekadar memanen pujian melainkan bersiap pula dengan angin kritikan.
Seperti biasa saya akan menuliskan resensinya urut dari isu buku atau apa yang bakal pembaca peroleh dari karya ini, kemudian ke hal yang kurang menarik, sampai pada gaya bercerita, dan rekomendasi.
Kita mulai. (Saya ambil napas dulu).
TSTK, novel yang mencoba mengusung etnografi Minangkabau. Setidaknya, usai menyelesaikan buku ini, saya–dan pembaca–bakal mendapatkan sejumlah istilah-istilah baru yang ada di sana. Di samping itu, pembaca juga mengenal lebih jauh perihal tradisi tanah Minang, yakni berburu babi, yang identik dengan kehidupan sosial laki-laki di wilayah tersebut.
Tidak cukup memberikan referensi, TSTK turut menyisipkan berbagai isu-isu sensitif, seperti persoalan kesehatan mental yang bisa kita anggap sebagai ancaman untuk kehidupan modern dan serbacepat saat ini; pilihan orientasi seksual yang berbeda dari kebanyakan; pelanggaran HAM berupa pembantaian para terpidana yang diduga komunis; adanya potensi kekerasan seksual dalam dunia pendidikan serta ketakutan para korban untuk bersuara; menyentil kepolisian yang cenderung tak acuh terhadap laporan–bahkan yang setingkat pembunuhan–hingga kepercayaan masyarakat terhadap sosok mistis di daerah yang terkenal kental religiusnya.
Hal-hal tersebut membuat saya bertanya-tanya, ada apakah dengan Minangkabau? Seperti apakah Minangkabau saat ini hingga penulis mengangkat hal tersebut–sekalipun temanya bisa terjadi di Indonesia bahkan dunia?
Namun, isu-isu sosial yang bisa saya dapatkan itu tergilas dengan banyak hal yang mengganjal. Saya merasa penulis seolah enggan untuk membeberkan kisahnya, menutup-nutupinya hingga memunculkan banyak pertanyaan. Saya pahami jika pembaca tidak mululu dijejali cerita secara gamblang. Terkadang memang memerlukan 1-2 hal yang sengaja ditinggalkan untuk mengajak pembaca berdiskusi atau memberikan akhir terbuka (open ending) agar pembaca melatih interpretasinya.
Namun, dalam novel ini, keseluruhan ceritanya membingungkan, benar-benar membuat pembaca tersesat dalam arti sesungguhnya.
Saya mengeluhkan sejumlah cerita yang tidak tuntas, seperti dua masa lalu, mencium dua wangi, latar Minangkabau dan perburuan babi yang terlalu-singkat-dijelaskan, masa lalu Leman yang tidak kuat untuk membuatnya perlu dianggap gila dan membangun ikatan dengan Mak Utiah, motif Aku untuk membalaskan dendam yang terasa kurang, hingga alasan mengapa Aku perlu bertanggung jawab ‘memelihara’ pensiunan tentara.
Termasuk adegan seksualitas–yang dalam pandangan saya–tidak menggugah dan tidak menggairahkan, puncak konflik kematian Mak Utiah yang dibiarkan begitu saja, dan–wow–apakah masyarakat sekarang begitu apatisnya sampai-sampai luka dibebat perban di kepala tidak memunculkan reaksi apa pun, bahkan sang istri pun terlihat b saja, tidak bertanya.
Saya jadi berpikir, apakah penulis memang sengaja membuat kisah yang ruwet semacam ini? Atau penulis menahan untuk menyusun buku selanjutnya, entah sekuel atau prekuelnya? Barangkali pula, khazanah bacaan saya masih jauh dari kata cukup dan saya gagal menangkap maksud penulis. Sepertinya demikian, hahaha.
Sungguh kalau ingin mengetahui seperti apa saya membaca novel ini, bisa langsung ke siaran ulang IG Live saya saja, ya.
Menggunakan sudut pandang orang pertama, novel ini mudah untuk dibaca sebab pilihan kata dan penyusunan kalimatnya sederhana, biasa saja. Buku ini tidak saya rekomendasikan. Namun, kalau ada yang penasaran dan, atau penggemar kover warna biru, silakan.
•••
Kutipannya:
Barangkali berumur panjang bukanlah anugerah bagiku, melainkan penderitaan lainnya. Kadang aku berhenti di tengah jalan dan bertanya-tanya apa sebaiknya mengambil jalan pintas? Namun bunuh diri tidak hanya mengaku kalah kepada hidup tetapi juga diri sendiri. (Hal. 2-3)
Malang tidak bisa dielak tapi masih bisa kita cegah. (Hal. 16)
Semua orang gila selalu bertindak berani dan tidak masuk akal. (Hal. 69)
Bagaimanapun juga setiap manusia berhak bahagia dengan caranya masing-masing. (Hal. 103)
Tiba-tiba hidup menjadi begitu berarti saat kau tahu akan mati? (Hal. 112)
0 Komentar