Rumah Kertas


Ngeri-ngeri sedap menjadi bibliofili

•••


Identitas buku:

Judul: Rumah Kertas

Judul asli: La Casa de Papel

Penulis: Carlos Maria Dominguez

Penerjemah: Ronny Agustinus

Penerbit: Marjin Kiri

Tahun: Cetakan ke-6, 2024

Jumlah: 76 halaman

ISBN: 9789791260626

Kategori: Fiksi, novel


•••


Blurbnya:

Seorang profesor sastra di Universitas Cambridge, Inggris, tewas ditabrak mobil saat sedang membaca buku. Rekannya mendapati sebuah buku aneh dikirim ke alamatnya tanpa sempat ia terima: sebuah terjemahan berbahasa Spanyol dari karya Joseph Conrad yang dipenuhi serpihan-serpihan semen kering dan dikirim dengan cap pos Uruguay. Penyelidikan tentang asal usul buku aneh itu membawanya (dan membawa pembaca) memasuki semesta para pecinta buku, dengan berbagai ragam keunikan dan kegilaannya!


•••


Garis besarnya:

Berawal dari kematian tragis Bluma Lennon–seorang profesor Sastra Amerika Latin Universitas Cambridge–yang meninggal setelah tertabrak mobil saat sedang membaca buku puisi karya Emily Dickinson, Aku–yang menggantikannya mengajar sekaligus menempati ruang kerjanya–menerima sebuah paket buku terjemahan Spanyol The Shadow-Line karya Joseph Conrad yang dialamatkan kepada Bluma.


Yang menarik perhatian Aku yakni buku tersebut dipenuhi serpihan semen kering dan dikirim dengan cap pos Uruguay. Karena penasaran. Aku pun memulai penyelidikan untuk mengetahui siapa si pengirim dan asal-usul mengapa buku tersebut bisa berselimut semen.


Penelusuran Aku berhasil membawanya ke sebuah nama: Carlos Brauer, seorang laki-laki yang cinta setengah mati terhadap buku.


•••


Resensinya:

Sebenarnya sudah sangat lama saya kepingin membaca buku ini. Kover sebelumnya–yang berwarna hijau–berhasil membuat saya berpaling kepadanya berkali-kali. Namun, kok bisa-bisanya saya enggak membeli bukunya, wkwkwk.


Rumah Kertas, buku yang menawarkan refleksi perihal buku dan pembacanya. Saya sangat menikmati cerita setebal tujuh puluh enam halaman ini, sebab kisahnya yang memang ditujukan kepada para pencinta buku, serta menempatkan buku tidak sekadar memiliki daya pikat, melainkan juga sebagai akar keresahan.


Carlos cukup berhasil membawa pembaca terkagum-kagum dengan sejumlah karakter yang ada dalam cerita dan bagaimana kecintaan mereka terhadap buku, sekaligus menyeringai dengan kisahnya yang humoristis, satiris, serta tragis.


Melalui buku tipis ini, Carlos mendedah polah tingkah unik hingga di luar akal para ‘enthusiast’ buku. Mulai dari yang senang membeli buku ketimbang hal-hal lainnya, mendatangi pameran/pelelangan buku, rela menghabiskan banyak uang demi membeli buku, menguduskan buku, berkeinginan mati bersama buku, memisahkan koleksinya dengan kehidupan keseharian–rumah tangga, menyusun buku-buku di rumah–bahkan menjual mobil agar koleksi bukunya tertampung di garasi–sementara dirinya tidur di tempat yang masih tersisa, sampai yang kerap kita jumpai gaya merendah pembaca yang menyebut koleksinya tidak seberapa, tetapi sesungguhnya berjibun–menyesaki rak-rak atau sekamar sendiri, hahaha.


Tidak berhenti, Carlos juga membagi golongan bibliofil: kolektor (bertekad mengumpulkan edisi langka, edisi pertama, buku bertanda tangan. artikel, majalah, tetek bengek lainnya dari sebuah buku, sekalipun tidak pernah membuka atau membaca selain untuk melihat-lihat dan mengagumi) dan kutu buku (pelahap bacaan yang rakus, yang sepanjang napasnya membangun koleksi buku, menyita waktu buat berlama-lama dengan membaca atau memahami buku).


Carlos juga menyisipkan kebiasaan pembaca yang gemar menandai halaman-halaman tertentu, menuliskan hal-hal menarik pada sebuah catatan sebagai bahan ulasan, sampai yang memilih langsung mencoret-coret buku entah dengan tulisan atau garis panjang atau lainnya. Ada pula pembaca yang menyusun katalogisasi berdasarkan referensi berkaitan hingga jangan sampai menempatkan dua buku dari dua penulis yang pernah terlibat pertikaian pada rak yang sama, wkwkwk.


Lewat buku ini pula, Carlos mengajak pembaca lebih bijak pada kecintaannya terhadap buku. Apakah selama ini kita hanya menumpuk-numpuk buku saja (masih tersegel), apakah kita sudah selesai membaca semua buku yang kita punya, apakah kita hanya membeli tanpa membacanya; bagaimana cara kita memperpanjang umur buku-buku kita: mewariskannya atau menjualnya atau membagikan ulasannya atau menyimpannya tanpa pernah membukanya lagi dan membiarkannya memudar; cukupkah waktu kita membaca selama ini, di mana kita bakal menyimpan buku-buku itu, sudahkah kita merawat koleksi kita, bagaimana ketika jumlah buku kian bertambah, alih-alih bangga malah buku-buku itu menjadi beban sebab kita tidak tahu lagi harus bagaimana, di mana, dan seperti apa.


Lebih jauh, Carlos pun tidak luput memberikan pemahaman perihal buku. Ada buku yang sengaja dicetak secara terbatas hingga menjadikannya tidak hanya sulit didapat, juga sangat mahal; maraknya pencurian buku–terutama karya besar (yang diceritakan dalam buku terjadi di perpustakaan-perpustakaan); makin banyak buku yang dimiliki makin sulit untuk mengingat bahkan mengklasifikasi (berkaitan dengan tipe pembaca pada katalogisasi di atas).


Carlos juga melancarkan sindirannya terhadap dunia kepenulisan. Mulai dari penulis yang telah menelurkan karya, tetapi jarang yang mendiskusikan buku-bukunya; apresiasi sastra tidak lebih untuk mencapai ketenaran; perbedaan penerbitan antara indie yang bakal memperlakukan naskah penulisnya dengan sungguh-sungguh, sementara penerbit mayor yang bisa membuat naskah penulisnya bersinar, tetapi tidak berselang lama tenggelam dalam jajaran buku baru; ada yang bisa kaya raya berkat buku-buku tidak menarik, tetapi promosinya habis-habisan, ada pula yang sebenarnya memukau, tetapi diperlakukan biasa-biasa saja.


Tidak cukup membahas pembaca dan buku, Rumah Kertas turut mengingatkan jika segala hal yang berlebihan tentu tidak baik, yang dalam novel ini yakni kecintaan terhadap buku. Lewat karakter Brauer yang cinta setengah mati kepada buku membuatnya sulit mengendalikan dirinya hingga perlahan-lahan menjadi sebuah obsesi. Makin menohok manakala tokoh tersebut menghancurleburkan koleksi-koleksinya, sungguh-sungguh mengubah nasib buku-buku yang dimilikinya.


Saya kagum dengan Brauer yang mengabdikan diri kepada buku, sangat mencintai buku. Sungguh! Bahkan dia memiliki kreativitas yang berbeda ketika memperlakukan koleksinya. Namun, hal terakhir tersebut menjadi ironi, menjadi tragedi. Dan itu menggelisahkan.


Terjemahan novel tipis ini baik sehingga pembaca tidak akan kesulitan dan bisa menamatkan dalam sekali duduk. Buku yang patut dibaca oleh siapa pun, tidak sekadar pencinta buku. 


Tertarik baca? Sudah baca?


•••


Kutipannya:

Buku mengubah takdir hidup orang-orang. (Hal. 1)


Tak ada yang eksis di luar representasinya. Tiap orang berhak memilih representasi yang mereka suka. (Hal. 3)


Buku-buku merangsek ke sekujur rumah, diam-diam, tanpa rasa bersalah. Tak ada cara buat menghentikannya. (Hal. 9)


Aku kerap bertanya-tanya mengapa kusimpan buku yang mungkin baru ada gunanya jauh di masa mendatang, judul-judul yang tak terkait dengan minatku pada umumnya, buku-buku yang pernah kubaca sekali dan tidak akan kubuka-buka lagi selama bertahun-tahun, (Hal. 9)


Jauh lebih sulit membuang buku ketimbang memperolehnya. Dengan mereka kita terikat pada pakta kebutuhan dan pengabdian, seolah-olah mereka menjadi saksi bagi momen hidup kita yang takkan pernah terjumpai lagi. Namun selama buku-buku itu masih ada, momen itu pun tetap menjadi bagian dari diri kita. (Hal. 9)


Tak ada orang yang mau lupa menaruh buku. Kita lebih suka kehilangan cincin, arloji, payung, ketimbangn buku yang halaman-halamannya takkan pernah bisa kita baca lagi, namun yang tetap terkenang, seperti bunyi judulnya, sebagai emosi yang jauh dan lama dirindu. (Hal.10)


Pada akhirnya, ukuran perpustakaan itu ternyata memang penting. Kita pajang buku-buku kita ibarat otak kita sedang dikuak lebar-lebar untuk diteliti, sambil mengutarakan alasan-alasan omong kosong dan basa-basi sok merendah soal jumlah koleksi yang tak seberapa. (Hal. 10)


Sebagai pembaca kita saling memata-matai perpustakaan kawan satu sama lain, sekalipun hanya di waktu senggang. Kadang kita berharap menjumpai buku yang ingin kita baca tapi tidak kita punya, atau mencari tahu apa yang sudah dilahap oleh kutu buku di seberang kita ini. (Hal. 10)


Ada suatu momen tertentu saat kita sudah mengumpulkan begitu banyak  buku sampai mereka menembus garis batas tak kasat mata. Yang dulunya kebanggaan kini menjadi beban, karena sejak saat itu ruang akan senantiasa menjadi masalah. (Hal. 11)


Tapi orang suka mengarang-ngarang kalau ada sesuatu yang tak lumrah terjadi, dan tentunya hal itu membuat kita mustahil membedakan apa yang sungguhan dan apa yang khayalan. (Hal. 21)


Dunia orang hidup berisi cukup keajaiban dan misteri sebagaimana adanya–keajaiban dan misteri yang menindaki perasaan dan pemikiran kita dengan cara-cara yang begitu tak terjelaskan sampai-sampai nyaris membenarkan konsepsi tentang hidup sebagai suatu kondisi kena sirep. (Hal. 22)


Saya sadar bahwa buku tidak seharusnya bercampur dengan kehidupan rumah tangga. Mereka akan cenderung lekas kotor. (Hal. 26)


Membangun perpustakaan adalah mencipta kehidupan. Perpustakaan tak pernah menjadi kumpulan acak dari buku-buku belaka. (Hal. 26)


Seorang pembaca adalah pengelana dalam lanskap yang sudah jadi. Dan lanskap itu tak berkesudahan. (Hal. 31)


Perpustakaan adalah pintu masuk memasuki waktu. (Hal. 31)


Aku senggamai tiap-tiap buku, dan kalau belum ada bekasnya, berarti belum orgasme. (Hal. 32)


Kalau Anda punya koleksi buku, mau tidak mau Anda harus punya indeks. Seseorang bisa menaklukan banyak buku, tapi si penakluk kemudian sadar bahwa ia harus menata apa yang ditaklukkannya. (Hal. 37)


Kemudahan untuk menemukan buku-buku yang dicari itu satu hal, tapi menempatkannya berdekatan atau berjauhan itu soal lain. (Hal. 38)


Bagi seorang pecinta buku membayangkan kebakaran saja ibarat menghanguskan mimpi jadi abu. (Hal. 45)


Orang juga rupanya bisa mengubah takdir buku-buku. (Hal. 57)


Jambangan, teko dan pesawat teve jauh lebih sering rusak ketimbang buku. Sebuah buku tidak akan hancur lebur kecuali pemiliknya menghendaki demikian, dengan merobek-robek halamannya, membakarnya. (Hal. 57)

 

Posting Komentar

0 Komentar