Seratus Tahun Kesunyian

Kisah generasi yang terkurung dalam lingkaran kesunyian takdir itu sendiri

•••

Identitas buku:

Judul: Seratus Tahun Kesunyian

Penulis: Gabriel García Márquez

Penerjemah: Djokolelono

Penerbit: GPU

Tahun: Cetakan kedua: 2022

Jumlah: 488 halaman

ISBN: 9786020613550

Kategori: fiksi, novel, realisme magis


•••


Blurbnya:

Bertahun-tahun kemudian, saat menghadapi regu tembak yang akan mengeksekusinya, Kolonel Aureliano Buendía jadi teringat suatu sore, dulu sekali, ketika diajak ayahnya melihat es.


Riuh rendah pipa dan drum panci yang berisik mengiringi kedatangan rombongan Gipsi ke Macondo, desa yang baru didirikan, tempat José Arcadio Buendía dan istrinya yang keras kepala, Úrsula, memulai hidup baru mereka. Ketika Melquíades yang misterius memukau Aureliano Buendía dan ayahnya dengan penemuan-penemuan baru dan kisah-kisah petualangan, mereka tak tahu-menahu arti penting manuskrip yang diberikan lelaki Gipsi tua itu kepada mereka.


Kenangan tentang manuskrip itu tersisihkan oleh wabah insomnia, perang saudara, pembalasan dendam, dan hal-hal lain yang menimpa keluarga Buendía turun temurun. Hanya segelintir yang ingat tentang manuskrip itu, dan hanya satu orang yang akan menemukan pesan tersembunyi di dalamnya…


•••


Garis Besarnya:

José Arcadio Buendía dan istrinya, yang juga sepupunya, Úrsula, beserta sejumlah orang, memutuskan membuka tempat baru setelah melalui perjalanan tidak sebentar dan tidak masuk akal dan menamai wilayah tersebut dengan nama Macondo. Di tempat itu, Buendía dan Úrsula serta yang lainnya tinggal dan menjalani kehidupan yang semula sunyi dan sepi, perlahan memudar akibat tersentuh dunia luar. Sejak kedatangan kaum Gipsi dengan ragam keajaiban mereka—magnet, karpet terbang, es, makhluk-makhluk aneh, dan masih banyak lainnya; pendeta yang bisa melayang, kunjungan hantu-hantu, wabah, kereta api, bioskop, dan seterusnya. Dari semula dua puluh rumah sampai akhirnya bermunculan ratusan bangunan. Mulai dari ketertarikan terhadap ilmu pengetahuan lalu ke perang saudara hingga pemogokan buruh pekerja sampai pembantaian massal sebelum tersapu angin. 


Sebuah kisah tentang keajaiban berpadu kenyataan yang merasuki kehidupan Macondo dilihat dari sudut pandang tujuh generasi keluarga Buendía—yang anggotanya memiliki karakter luar biasa sekaligus bernasib tragis—selama seratus tahun lamanya.


•••

Resensinya:

Sewaktu pertama kali membaca buku ini … saya gagal pada halaman ke seratus. Saya putuskan untuk menutupnya terlebih dahulu dan mengganti novel lainnya. Saat itu, saya membaca asal membaca. Maksudnya, saya tidak mencoba memahami dan akhirnya pusing sendiri dengan nama-nama yang serupa, diulang-ulang, dan menyerah juga, hahaha. 


Berbekal pengalaman tersebut, pada kali kedua saya mengupayakan kembali dengan lebih perlahan. Pelan-pelan. Saya bahkan menyiapkan tiga sticky notes berbeda untuk melabeli quotes-kejadian-nama tokoh. Dua minggu kemudian, saya menamatkannya dengan perasaan puas.


Deskripsi Gabo

Seratus Tahun Kesunyian, karya masterpiece Gabriel García Márquez mengisahkan kebangkitan dan kejatuhan sebuah keluarga besar, setidaknya 7 (tujuh) generasi, keluarga terkemuka, penemu dan pendiri sebuah kota kecil bernama Macondo yang diatur dalam jangka waktu selama 1 (satu) abad.

Novel tebal ini menuturkan alegori kehidupan manusia, waktu, dan takdir dari sudut pandang generasi Buendia terhadap keluarga mereka sendiri juga Macondo. Sebuah kisah menarik yang tidak sekadar menuturkan perihal pengulangan, baik peradaban maupun karakter manusia—yang barangkali kalau tidak disapu angin akan terus berlanjut tanpa akhir seperti sebuah keabadian—melainkan juga mengeksplorasi gejolak-gejolak suatu wilayah: kepemimpinan, kekuasaan, pemberontakan, pergolakan politik dan sosial, cinta, kekerasan, bencana, wabah, sampai malapetaka.


Yang menarik dalam novel ini, Gabo mampu menceritakan seluruh pohon keluarga Buendia secara lengkap: sejak kelahiran hingga kematian, nama karakter dari generasi ke generasi yang serupa, karakterisasi atau sifat-sifat yang hampir sama, kesalahan yang tidak jauh beda. Para tokoh (Aureliano dan Jose Arcadio yang berulang, dibolak-balik saja, dikombinasikan, pokoknya Aureliano dan Jose Arcadio di mana-mana, hahaha) dengan kekhasan dan keunikan serta takdir masing-masing berhasil menghidupkan halaman-halaman novel secara seimbang dengan porsi yang tepat.


Aureliano, Jose Arcadio di mana-mana, wkwkwk.


Melalui lipatan waktu dengan pola berulang dalam wujud karakter yang turut mewarisi nama dan watak (yang memiliki nama Aureliano cenderung muram, pendiam, pemberani; sementara Jose Arcadio cenderung bersemangat, tidak mudah diatur), Gabo seakan ingin menyatakan bahwa manusia tidak pernah terlepas atau terbebas dari lingkaran sejarah. Sekalipun sesungguhnya kita bergerak maju, masa akan terus berputar-putar kembali, terulang lagi dan lagi; bagaimana masa lalu mampu memengaruhi masa kini juga masa depan, seperti para tokoh yang terjebak dengan pola yang sama seperti generasi sebelumnya.


Selain takdir menjalani siklus tanpa terputus, novel ini juga banyak berbicara perihal pasang surut peradaban Macondo. Pembaca bakal turut mengikuti bagaimana Macondo melalui siklus kemajuan dan kemunduran lewat kehidupan sosial masyarakatnya, pergerakan revolusi, drama politik ekonomi yang memikat dan penuh warna; bagaimana Macondo terus mencoba bertahan dalam keriuhan kedatangan orang baru-wabah-perang sebelum kelelahan hingga bencana menyelesaikan segalanya. Kehidupan tradisional yang bergeser ke kehidupan modern, cara-cara baru, ide-ide segar memudarkan ritual-ritual maupun kebiasaan-kebiasaan lama. Melalui sudut pandang keluarga Buendia, pembaca bakal memahami kesulitan masyarakat untuk terus mempertahankan kebiasaan tatkala dunia mulai bergerak maju dan selalu berubah.


Ada semangat perubahan beserta harapan yang dibawanya. Namun, terdapat pula kekerasan dan tragedi yang mewarnai setelahnya. Gabo menggali bagaimana sebuah konflik sosial politik dan konflik kepentingan mampu mengubah karakter seseorang, menelanjangi perbedaan sudut pandang tentang apa yang benar, merangsek rusak tempat tinggal mereka sendiri, serta menghancurkan kehidupan masyarakatnya.


Ngomong-ngomong, saya menyukai cara Gabo melibatkan dirinya sebagai penulis dalam novel ini. Sebagai pendongeng ulung, Gabo mengisahkan jalinan cerita tujuh turunan ini melalui perkamen yang sejak awal sudah menggariskan takdir tragis keluarga Buendia, tentang cara lahir sampai matinya. Seru sekali!


Menggunakan diksi yang mudah dipahami membuat novel ini seru untuk dibaca hingga akhir. Kejutan-kejutan yang tersebar, realisme magis dan realitas sungguhan berbaur dengan rapi membuat ceritanya menarik diikuti. Hanya saja, jenis dan ukuran tulisan tidak terlalu besar memungkinkan beberapa pembaca pada rentang usia tertentu mengalami kesulitan.


Buku ini saya rekomendasikan bagi mereka yang ingin mendapatkan cerita perihal takdir sebuah keluarga, juga untuk para pencinta Gabo. Yang ingin berkenalan dengan Gabo sebelum ke novel ini bisa baca lebih dulu kumpulan cerpennya (salah satunya ini). Tetap perlahan dan jangan terburu-buru untuk bisa menikmati jalinan kisahnya. Tidak ketinggalan, buku ini juga cocok buat calon penulis sebab detailnya yang oke banget.


Seratus Tahun Kesunyian sebuah novel yang merefleksikan siklus kehidupan manusia yang berulang dengan sendirinya, bahwa keberadaan manusia dalam siklus tersebut membawa pola yang juga diturunkan dari generasi ke generasi. Maka, jangan lupakan sejarah agar terhindar dari kesalahan yang sama.


Tertarik baca?


•••


Kutipannya:

Semua benda punya nyawa. (Hal. 10)


Ilmu pengetahuan telah menyusutkan jarak. Tak lama lagi kita bisa melihat apa saja yang terjadi, di mana saja di dunia ini, tanpa meninggalkan rumah. (Hal. 11)


Bumi itu bulat, seperti jeruk. (Hal. 13)


Orang tidak akan terikat pada suatu tempat sebelum ada keluarganya yang dikuburkan di tempat itu. (Hal. 23)


Anak-anak biasa mewarisi kegilaan orangtua mereka. (Hal. 53)


Mengapa orang sampai memperebutkan sesuatu yang tak bisa disentuh tangan. (Hal. 118)


… selama Tuhan memberi kita hidup, kami semua akan selalu menjadi ibu-ibu, dan tak peduli betapa revolusionernya kalian, kami semua berhak menurunkan celana kalian dan memukul pantat kalian begitu kalian menunjukkan sikap tidak hormat. (Hal. 191)


Yang membuatku khawatir, walaupun kau sangat membenci militer, walaupun kau terus membangkang kepada mereka dan memikirkan mereka, pada akhirnya kau jadi seburuk mereka. Dan tak satu pun idealisme dalam kehidupan, layak untuk sedangkal itu. (Hal. 192)


Dan justru keadaan normal itulah yang sangat ditakuti pada perang tanpa ujung itu: normal berarti tak ada kejadian apa pun. (Hal. 201)


Lebih mudah memulai perang daripada mengakhirinya. (Hal. 204)


Perang telah menghapus semuanya. (Hal. 209)


Kemujuranmu ini takkan berlangsung selama hidupmu. (Hal. 227)


Rahasia usia tua yang baik adalah sepakat untuk saling menghormati dengan kesendirian. (Hal. 239)


Sebab, kesendirian telah memilah-milahkan kenangan, membakar kenangan yang dianggapnya tak berguna, dan memurnikan, membesarkan, mengabadikan kenangan-kenangan menyakitkan. (Hal. 260-261)


Mereka memutuskan tidak lagi datang ke bioskop dan menangisi kehidupan yang ternyata hanya gambaran palsu, sementara kehidupan mereka sendiri sudah lebih dari layak untuk ditangisi. (Hal. 266)


Bahwa sungguh keliru menghentikan peperangan sebelum perang itu tuntas. (Hal. 282)


Seseorang pada usia tua pemikirannya terkadang lebih tajam daripada ramalan kartu. (Hal. 295)


Seseorang yang tidak memiliki beban pikiran akan mampu makan sebanyak-banyaknya sampai ia kelelahan. (Hal. 301-302)


Keruwetan jatuh cinta hanya bisa diselesaikan di tempat tidur. (Hal. 338)


Cinta di satu sisi akan mengalahkan jenis cinta di sisi lainnya, sebab sudah menjadi sifat lelaki untuk melupakan rasa lapar begitu nafsunya terpenuhi. (Hal. 338)


Bencana bukan berarti mereka boleh mengubah kebiasaan baik. (Hal. 371)


Kemiskinan adalah budak cinta. (Hal. 395)


Semua musim semi berlalu tanpa bisa diraih kembali, dan bahwa cinta paling liar dan paling gigih pun pada akhirnya tak pernah kekal. (Hal. 466)


Posting Komentar

0 Komentar