Romansa cinta dan luka.
Identitas buku:
Judul: Lelaki yang Membunuh Kenangan, Mengingatnya hanya Menambah Rasa Bersalah (dari judul asli: Cinta Hari-Hari Rusuhan)
Penulis: Faisal Tehrani
Penerjemah: Ary Nur Azizah
Penerbit: Penerbit Bentang
Tahun: 2017
Jumlah: 282 halaman
ISBN: 9786022915928
Kategori: fiksi, novel, drama, sejarah
•••
Blurbnya:
“Orang selalu mengatakan bahwa cinta itu buta. Namun, sebenarnya cinta itu penipu yang cerdik. Sesering apa kita mendekati orang yang kita cintai, sesering itu pula dia menjauhi kita."
Sejak demonstrasi mahasiswa yang dipimpinnya berakhir rusuh, Basri terpaksa lari dari kejaran pemerintah dan menjalani hidup seperti orang buangan selama berpuluh tahun. Kini seorang gadis belia datang dan memaksanya pulang, Basri pun gamang. Siapkah dia kembali ke negara yang pernah memburunya? Masih adakah alasan baginya untuk mengingat kembali masa lalunya?
Faisal Tehrani adalah penulis Malaysia yang banyak melahirkan karya-karya sastra yang penuh perlawanan terhadap kemapanan. Beberapa bukunya bahkan dilarang beredar di Malaysia. Lelaki yang Membunuh Kenangan mengawali perjalanan Faisal Tehrani mewarnai kancah dunia literasi Melayu. Siapa pun yang berani mencintai patut membaca novel ini.
•••
Resensinya:
Lelaki yang Membunuh Kenangan (seterusnya saya tulis dengan LyMK), dalam pandangan saya, merupakan novel drama roman picisan yang sesungguhnya sudah jamak ditulis banyak orang: sepasang sejoli yang saling mencintai dengan perbedaan kelas sosial di antara mereka. Cerita yang berakhir tragedi ini turut serta membawa kisah gerakan mahasiswa di Malaysia dalam rentang waktu 1970-an. Para tokoh sentral dipertemukan di sebuah universitas, dipersatukan karena sama-sama terlibat sebagai aktivis, dan dipisahkan pada saat demonstrasi besar-besaran terjadi kala itu.
Meski sesungguhnya romansa bukanlah bacaan yang saya sukai, tetapi saya tertarik dengan isu-isu seputar kejadian Malaysia tahun 1970-an maupun peran mahasiswa yang disindir habis-habisan oleh penulis.
Dalam romantika LyMK, pembaca akan mendapati sebuah nilai cinta yang dibuat memilukan oleh penulis, alih-alih sekadar perbedaan kelas sosial maupun hubungan yang tidak direstui. Kisah cinta yang tidak bisa dimiliki membawa kemalangan bagi para tokohnya, meninggalkan jejak trauma bagi diri. Meski terasa pahit, tetapi begitulah salah satu sifat cinta, bukan? Cinta tidak melulu membawa kebahagiaan bagi pemiliknya.
LyMK juga memuat perjuangan dan perlawanan mahasiswa sebagai agen ideologis yang menjadi tonggak keadilan melawan kebijakan pemerintahan. Barangkali teman-teman bisa berselancar di internet untuk informasi lebih lanjut tentang kejadian Malaysia sekitar tahun 1970-an, ya.
Lewat LyMK, penulis cukup baik membawa isu-isu kemasyarakatan dan kenegaraan melalui peran mahasiswa sebagai agen kontrol sosial, agen perubahan, sekaligus kekuatan moral dalam penegakan kebijakan negara yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat. Penulis juga menggambarkan sejauh mana efisiensi pergerakan yang dilakukan mahasiswa Malaysia kala itu melalui pemikiran-pemikiran tokoh-tokohnya, diskusi-diskusi untuk menyikapi kebijakan pemerintah, orasi dan aksi para mahasiswa, memobilisasi dukungan dari pihak eksternal, sampai pemerintah yang bertindak agresif berujung penangkapan-penangkapan kepada pihak-pihak yang terlibat.
Tidak ketinggalan, penulis turut mengkritisi mereka-mereka yang dulunya mahasiswa, yang bersuara pro-rakyat, kini setelah sekian tahun dan duduk dalam pemerintahan pun bersikap anti-rakyat, tidak ada keberpihakan karena kekuasaan. Sistem pendidikan yang mematikan daya kritis mahasiswa serta semangat untuk menyalakan kembali gerakan mahasiswa dijelaskan dengan baik dan menarik.
Dalam buku ini, khususnya lewat tokoh Basri, penulis piawai menuangkan kompleksitas emosi manusia dalam menghadapi kenangan dan masa lalu yang membentuk identitas seseorang (ketakutan, kecemasan, penolakan penerimaan) bahkan mungkin memengaruhi pilihan hidupnya. Bagaimana menerima dan berdamai dengan masa lalu, pentingnya rekonsiliasi diri dan mencari makna dalam penderitaan, menghadapi kenyataan hidup dengan lebih berani, serta menyadari bahwa melarikan diri dari kenangan tidak selalu membawa kedamaian menjadi perluasan tema utama LyMK.
Selain kisah cintanya yang klise sekali, saya menyayangkan pergantian sudut pandang yang cepat tanpa aba-aba, juga banyaknya karakter yang berpotensi pembaca menjadi mudah lupa serta penokohan yang kurang tergali. Adegan kematian sejumlah tokoh hanya ditulis dalam paragraf singkat (kecuali Nakamura yang cukup panjang), ada karakter yang dibuat begitu saja dan, menurut saya, jika dihapus pun tidak mengapa.
Meski buku ini berasal dari Malaysia, saya mengapresiasi terjemahannya yang bagus. Tidak ada nuansa melayu sama sekali di dalamnya. Pilihan diksinya oke layaknya membaca novel-novel Indonesia pada umumnya.
Buku ini tidak cocok untuk penggemar cerita romansa berakhir bahagia (ya, karena ini memang drama, sih). Akan tetapi, bagi pencinta fiksi sejarah, kemungkinan akan tertarik. Sebab setidaknya pembaca genre tersebut jadi mengetahui sekeping sejarah Malaysia yang rupa-rupanya serupa dengan negara kita.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Selama bangsa kita tidak membuang jauh-jauh otak feodal yang terpatri dalam jiwa raga ini, selama itu pula kita tak akan mampu menyaingi bangsa lain. Ketaatan dan kesetiaan begitu mudah ditukar dengan materi. Inilah ciri otak feodal yang membuat kita bodoh dan kotor. Penyebab begitu rendahnya martabat bangsa kita. (Hal. 2)
Cinta adalah puncak dunia. (Hal. 10)
Beranikan diri dan lakukanlah apa yang kau anggap benar. (Hal. 11)
Kadang kala kejujuran itu menakutkan, Nak. (Hal. 15)
Cinta bisa membuat manusia gila. Cinta itu menyiksa. (Hal. 15)
Orang selalu mengatakan bahwa cinta itu buta. Namun, sebenarnya cinta itu penipu yang cerdik. Sesering apa kita mendekati orang yang kita cintai, sesering itu pula dia menjauhi kita. Dari cinta sebenarnya kita tak menemukan apa-apa kecuali igauan semata. Bahkan, mungkin goresan luka sepanjang masa. Lantas, siapa yang akan merawat luka? Kita sendiri, dengan naluri sendu. Naluri haru … terluka? Apa sebenarnya makna semua ini? (Hal. 27-28)
Setelah merdeka, yang lahir hanyalah politikus yang sibuk mencari kesempatan, bukan negarawan. Musuh akan selalu mencari peluang kemudian tertawa senang. (Hal. 47)
Kadang-kadang kita menentang tanpa berpikir rasional. (Hal. 49)
Cinta adalah kewarasan. (Hal. 58)
Di tengah-tengah sejarah ini rasanya kita begitu kerdil, ya. (Hal. 65)
Bumi hanya satu, belajarlah untuk hidup bersama dengan rukun. (Hal. 79)
Hanya orang-orang tersakiti yang mengasingkan diri. Semua memiliki kenangan yang mengotori atau mungkin mempercantik kanvas hidup masing-masing. Semua orang pasti begitu. Mungkin dirinya sendiri juga telah lahir oleh warna-warni serupa. (Hal. 84)
Untuk apa memberi tahu seisi dunia tentang kepahitan hidup kita? (Hal. 88)
Hidup memang tak mudah. Karena susah itulah, maka kehidupan kita akan lebih bermakna. (Hal. 94)
Aku tahu bahwa hidup memang susah itu mengajarkan kepada kita untuk lebih menjadi manusia. (Hal. 95)
Tak ada salahnya jika kau membangun cinta baru di atas reruntuhan cinta lama. Siapa pun yang bersalah dulu, itu kan masa lalu. Sudah berlalu. (Hal. 95)
Semua orang mengejar jabatan dan sanggup berbuat apa saja untuk meraih tujuannya. Meski kejam dan kurang ajar, itu harus tetap dilakukan demi terus bertahan di puncak kekuasaan. Kisah saling menjatuhkan sudah sangat populer. Cerita tentang sekutu maupun lawan, atau rekan separtai, tetapi saling membantai. Persetan dengan rakyat jelata. Lagi pula, rakyat sudah kenyang dengan pembangunan, lalai dan tamak dengan segala jenis kemewahan. Sebagai seorang politikus dan bukan negarawan, ia bisa dengan mudah melakukan penipuan. Hal. 97)
Mahasiswa zaman dulu dan sekarang itu serupa. Hanya pemahaman mereka terhadap aksi yang berbeda. Menjadi mahasiswa itu harus peka. Peka, ya, bukan pekak! (Hal. 115)
Cinta paling agung adalah cinta kepada Ilahi. Itulah cinta yang abadi. (Hal. 125)
Rusak pemimpin, rusak pula pengikutnya. (Hal. 170)
Kadang, tangisan bisa melepas semua ketegangan. (Hal. 179)
Bahwa manusia bisa terus hidup jika masih berakal. (Hal. 189)
Dalam hidup ini, terkadang kita salah sangka, Nak. Salah sangka dan salah langkah. Sering kali ada yang harus kita korbankan. (Hal. 204)
Dunia memang tidak adil. Yang tertinggal hanyalah kenangan. (Hal. 212)
Benar apa kata orang, zaman sudah berubah. Saat manusia berubah, semuanya tak lagi sama. (Hal. 254)
0 Komentar