Vegetarian

Kisah vegetarian yang makin menjauhi kehidupan

•••

Identitas buku:

Judul: Vegetarian

Penulis: Han Kang

Penerbit: Penerbit Baca

Tahun: Cetakan ketiga: 2021

Jumlah: 221 halaman

ISBN: 9786026486547

Kategori: fiksi, novel, kekerasan


•••


Blurbnya:

Novel laris ini mengisahkan jalinan cerita yang kuat, mencekam, sekaligus indah meski menyiratkan kepedihan.


Kim Yeong Hye, seorang perempuan biasa, berubah perilakunya setelah menjadi vegetarian gara-gara diganggu mimpi buruk berkepanjangan. Obsesi menjadi vegetarian ini membuat hubungannya dengan sang suami bermasalah. Namun, obsesi itu berkembang makin ganjil hingga membuahkan beragam kisah mencekam dalam buku ini dan berujung pada peristiwa-peristiwa tak terduga.


Lewat novel ini Han Kang menampilkan dirinya sebagai salah satu pengarang terdepan Asia, bahkan dunia, saat ini. Buku ini memang amat layak meraih Man Booker International Prize, penghargaan internasional bergengsi.


•••


Garis Besarnya:

Kim Yeong Hye, perempuan sangat biasa dengan kehidupan yang juga biasa-biasa saja, berubah perilakunya setelah memutuskan menjadi vegetarian gara-gara terus-terusan bermimpi buruk. Obsesinya menjadi vegetarian, pada awalnya, membuat hubungannya dengan sang suami bermasalah dan makin melebar ke keluarga besar Yeong Hye hingga membawanya ke peristiwa tidak terduga.


Terdiri tiga bagian

Bagian 1: Vegetarian

Diceritakan dari sudut pandang suami Yeong Hye, yang merasa sangat terganggu dengan perubahan istrinya. Sebagai orang konvensional dan mengutamakan rutinitas, suami Yeong Hye, yang sebelumnya merasa tenang memiliki istri yang biasa-biasa saja, mendadak cemas tidak keruan. Kehidupannya ikut berantakan semenjak sang istri berubah menjadi vegetarian.


Bagian 2: Tanda Lahir Kebiruan

Bagian ini diceritakan dari sudut pandang kakak ipar Yeong Hye, seorang seniman tidak sukses yang terobsesi dengan tubuh Yeong Hye usai mengetahui ada tanda lahir kebiruan dalam tubuh sang adik ipar dan melihatnya sebagai inspirasi artistik.


Bagian 3: Pohon Kembang Api

Bagian terakhir diceritakan dari sudut pandang kakak perempuan Yeong Hye, Im Hye. Dia mencoba memahami keadaan sang adik dan merasakan beban besar sebagai satu-satunya anggota keluarga yang masih peduli pada Yeong Hye.


•••

Resensinya:

Membicarakan karya Asia, saya lebih akrab dengan Jepang ketimbang negara Asia lainnya. Termasuk Korea pun, saya sangat jarang sekali menonton dan membaca karya-karya mereka. Boleh dibilang Vegetarian ini merupakan novel pertama Korea yang saya baca dan—entah mengapa—sama muramnya dengan penulis-penulis Jepang. Ada apa, ya, dengan penulis Asian Lit, hahaha.


Bahkan, ketika membaca ceritanya, saya sempat menduga novel ini bergenre thriller karena salah satu dialog pada bagian pertama menyebut, “Bau daging. Tubuhmu bau daging.” dan “(Aromanya muncul) dari semua pori-pori.” Ternyata makin ke belakang bukan menegangkan yang saya peroleh, melainkan mencengangkan.


Vegetarian bukanlah kisah perihal tip dan trik menjalani kehidupan ala seorang vegetarian atau kampanye antimakan daging sekalipun judulnya demikian. Alih-alih menyenangkan, cerita novel ini justru meresahkan, menggelisahkan, dan menyiratkan banyak kepedihan, seolah memaksa pembacanya mempertanyakan pilihan menjadi manusia.


Saya memandang kisah ini tidak sekadar berhenti pada Korea semata, meskipun latar kehidupan dan karakter-karakternya di sana, tetapi pembaca bisa menarik lebih jauh pesan yang coba Han Kang sampaikan kepada siapa pun yang hidup di dunia ini.


Ada yang menyebutkan bahwa novel ini berkisah tentang patriarki. Sistem itu memang tergambarkan dalam buku ini. Saya pun mendapatkan kesan hadirnya nuansa patriarki, tetapi itu tipis-tipis. Saya memiliki pandangan lain, ada banyak lapisan dalam buku ini yang saya dapatkan. 


Pertama, Vegetarian nampaknya mendedah tema tentang kebebasan pribadi dan menemukan kebahagiaan darinya. Bagaimana pilihan yang kita buat memiliki dampak bagi orang-orang sekitar; bagaimana ketika kita memilih untuk berbeda, tetapi tidak sesuai dengan norma-norma sosial pada umumnya. Novel ini melemparkan kritik kepada masyarakat yang menentang upaya seseorang ketika memutuskan untuk berbeda, memotret gambaran kebanyakan pribadi yang ada di masyarakat—khususnya perempuan—yang berusaha meraih kebahagiaannya. Seseorang yang mencoba menemukan jalannya sendiri, demi kebebasan dan kebahagiaannya sendiri—meski dengan pilihan yang terbilang antimainstrem, tetapi mendapat tekanan dari pihak lain. Ada penindasan dan kekerasan yang dilakukan untuk menjawab harapan sosial kemasyarakatan, ke aturan-aturan patriarkal. 


Keputusan Yeong Hye ingin menjadi vegetarian berkembang menjadi persoalan lebih besar tatkala sang suami dan keluarga menentang, menolaknya, menganggap aneh/gila, dan memaksa mengembalikan ke jalan yang seharusnya, ke sosok Yeong Hye yang dulu.


Kedua, adanya komunikasi yang tersendat. Selain Yeong Hye yang sedari awal sudah ditampilkan sebagai tokoh yang biasa-biasa saja dan cenderung pendiam, hampir semua karakter dalam novel ini memiliki persoalan komunikasi, entah kesulitan berkomunikasi atau memang telah menempatkan diri pada ketidakmungkinan berkomunikasi. Han Kang terlihat sengaja tidak memberikan Yeong Hye suara dalam novel. Meski demikian, pembaca tetap bisa merasakan kesunyian Yeong Hye, membuatnya di satu sisi tidak mudah dipahami sekaligus sengaja agar orang lain tidak memahaminya.


Ketiga, selain berkisah tentang pengalaman menjadi perempuan, novel ini turut mengisahkan luka batin yang tertimbun lama tidak kunjung sembuh—malah berkelanjutan menjadi persoalan kesehatan mental—yang menimpa perempuan melalui tokoh kakak beradik. Sang adik kerap mendapatkan gangguan mimpi buruk, kenangan buruk masa kecil, dan mengalami kecemasan. Sementara sang kakak kelelahan dalam menjalani hidupnya. Sialnya, keduanya memiliki suami yang tidak menghargai perempuan, bahkan pasangan sang kakak malah menciptakan masalah-masalah baru. 


Ada hal yang membuat saya bertanya-tanya perihal mengapa Han Kang menuliskan keinginan Yeong Hye untuk menjadi pohon—pada bagian ketiga. Saya menduga bahwa maksud dari ketiga bagian dalam novel ini memiliki keterkaitan dengan identitas sebagai manusia. Pelepasan. Kebebasan. Melepaskan diri dari kebiasaan hidup yang monoton dan keharusan untuk hidup sebagaimana ekspektasi masyarakat berperilaku, terbebas dari hasrat—saya malah berpandangan bahwa dalam bab kedua inilah sang tokoh utama merasakan menjadi diri sendiri, lepas, bebas—dan memutuskan ikatan terdekat: hubungan darah dan kasih sayang (atau malah menjauhi kehidupan?)


Barangkali ini juga ada kaitannya mengapa Vegetarian yang menjadi pilihan judul. Menjadi vegetarian adalah metafora akan kebebasan untuk menjadi diri sendiri, memilih apa adanya, menghormati keputusannya tanpa terbebani struktur masyarakat yang kerap kali tidak fleksibel alias kaku.


Menjadi vegetarian berarti melakukan pantangan, menghentikan satu-dua hal. Namun, seiring berjalannya waktu, Vegetarian, melalui karakter Yeong Hye, tidak lagi menolak daging, melainkan menghindar dari aktivitas manusia dan hingga akhirnya benar-benar menolak status manusia itu sendiri. Lebih memilih menyatu dengan alam, sebagai makhluk hidup serupa pohon, dan meninggalkan eksistensinya sebagai manusia.


Itu dalam pandangan saya, lho ….


Terjemahannya oke dengan diksi yang mudah dipahami membuat buku ini bisa dinikmati. Sayangnya mengandung banyak unsur kekerasan termasuk adegan dewasa yang harus disikapi dengan bijak. 


Buku ini saya rekomendasikan untuk pembaca dewasa.


Tambahan …. Sayangnya, saya tidak memberikan rating tinggi untuk novel ini. Saya merasa buku ini kurang menggigit. Jika mengambil tema perihal eksistensi manusia, kedalaman jiwa sang tokoh utama (meski tidak diberikan kesempatan berbicara, ya) masih kalah kelam ketimbang Yozo pada No Longer Human. Kemudian, jika membicarakan kebebasan dan norma masyarakat, masih ada yang lebih nyeleneh: Albert Camus dengan karyanya The Stranger. Oleh sebab itu, skor untuk novel ini cukup-cukup saja.


Tertarik baca? Sudah baca?


•••


Kutipannya:

Ia selalu merasa bebas ketika berkarya sehingga ia tidak pernah menyangka bahwa kebebasan tanpa batasnya ini bisa saja tak direstui orang lain. (Hal. 72)


Saat wanita menyia-nyiakan nyawanya, hidup sudah tak berarti apa-apa baginya. (Hal. 79)


Posting Komentar

0 Komentar