Pralaya

Pralaya: Akhir kematian alam semesta

•••

Identitas buku:

Judul: Pralaya (Death’s End)

Penulis: Liu Cixin

Penerjemah: Oni Suryaman

Penerbit: KPG

Tahun: 2023

Jumlah: 768 halaman

ISBN: 9786231340030

Kategori: novel, fiksi ilmiah, fantasi, luar angkasa, alien


•••


Blurbnya:

Manusia Bumi mulai menjelajah ke luar tata surya dan menyadari bahwa alam semesta lebih besar dan berbahaya daripada yang dibayangkan. Dan sepertinya bukan hanya satu peradaban luar Bumi—Trisurya—yang harus dikhawatirkan manusia. Tetapi Teori Belantara Gelap telah memungkinkan Bumi mencegah Trisurya menyerbu dan membuat kedua peradaban mengadakan gencatan senjata. Manusia bisa kembali memajukan sains berkat pengetahuan yang didapat dari Trisurya dan Trisurya mulai mengenal budaya Bumi. Tampaknya kedua peradaban akan hidup berdampingan dalam damai … tapi apakah benar demikian? Akankah umat manusia berhasil mencapai bintang-bintang atau musnah tertelan kegelapan antariksa?


Pralaya adalah novel ketiga dan terakhir dalam trilogi Trisurya karya Liu Cixin, penulis fiksi sains terlaris di Tiongkok. Trilogi ini telah diadaptasi dalam berbagai media, termasuk komik web, seri animasi, serta dua serial TV karya Tencent dan Netflix yang dirilis pada 2023.


•••

Resensinya:

Sebenarnya saya memiliki buku ini setahun yang lalu, sewaktu KPG mengunggah materi promosi seri terakhir trilogi Trisurya (baca resensi “Trisurya” di sini, dan resensi buku keduanya “Belantara” di sini), tetapi entah mengapa saya masih merasa belum move on dari Belantara yang, dalam pandangan saya, memiliki akhir cerita pas dan bagus ban-get. Kayak belum rela saja harus di akhir perjalanan. Makanya saya eman-eman sampai tahu-tahu sudah setahun (tepat bulan April lalu saya juga unggah resensi kedua buku sebelumnya. Baca juga resensi Trisurya dan Belantara).


Sangat menyenangkan membaca Pralaya (Death’s End). Saya sendiri cukup terkejut bisa menamatkan seri ketiga ini hanya dalam waktu dua minggu. Saking serunya dan banyak adegan yang membuat saya bergumam: Woow! Haah? Haaaah? What the! 


Liu Cixin benar-benar mampu mengembangkan ide-ide baru serta menjadikan alam semesta, yang begitu dingin-brutal-menakutkan pada buku keduanya, menjadi lebih menakjubkan. Hebatnya lagi kisah-kisah dalam trilogi ini tidak memiliki konsep fiksi ilmiah yang sama, atau kalau saya boleh katakan dalam Pralaya ini fiksi ilmiahnya berkali-kali lipat lebih baik, lebih banyak, lebih seru.


Pralaya, novel fiksi ilmiah perihal nasib manusia dan alam semesta. Plot cerita buku ini tidak sekadar melampaui beberapa dekade melainkan berabad-abad tahun lamanya, melompati jarak ruang dan garis waktu hingga kedalaman sifat manusia. Cakupannya makin ke belakang makin meluas; terus mengeksplorasi Bumi hingga tata surya dan semesta; dan puncaknya konflik antarbintang yang membawa nasib alam semesta dalam kondisi bahaya menuju kepunahannya.


Novel ini tidak melulu memuat peristiwa-peristiwa kosmik yang belum pernah terjadi sebelumnya (di buku pertama maupun kedua) dalam balutan fisika dan astrofisika, melainkan juga membenturkan kepentingan politik dengan kemanusiaan. Sungguh-sangat-menguras-emosional.


Secara garis besar plot cerita dalam buku ketiga ini merupakan kelanjutan dari seri keduanya, Belantara, tetapi Liu Cixin menuliskannya dalam periodisasi sebelum Trisurya-selama krisis Trisurya-kejadian Belantara-dan sesudahnya. Sangat panjang, bukan. Mengingat kejadian setelah Belantara tersebut pun manusia mengalami beberapa era sebelum akhirnya alam semesta musnah, termasuk bumi beserta manusia dan isinya.


Setidaknya buku ini terbagi menjadi tiga plot utama yang saling berkesinambungan:

  1. Proyek Bintang Tujuan Kita pada awal krisis Trisurya. Proyek ini diinisiasi PBB sebagai upaya meningkatkan kekuatan PBB sekaligus mempopulerkan eskapisme. PBB melelang sejumlah bintang di angkasa (yah, mereka butuh sumber daya, termasuk untuk pertahanan antariksa yang kala itu proyek ini berjalan bersamaan dengan Proyek Penghadap Tembok pada seri kedua). Yun Tianming, salah seorang tokoh pendukung, membeli sebuah bintang untuk tokoh utama yang ke depan bakal berguna bagi pengembangan cerita.

  2. Proyek Anak Tangga. Sebuah proyek yang mengantarkan pembaca pada sang tokoh utama: Cheng Xin, seorang insinyur perempuan, yang bekerja dalam sebuah lembaga intelijen. Proyek ini menyusun strategi mengirimkan mata-mata (berupa otak manusia) ke armada Trisurya dan memberikan informasi bagi umat manusia. Program ini pada awalnya gagal sebab otak Yun Tianming melesat menjauhi koordinat yang seharusnya. Berawal dari kejadian inilah, kisah Cheng Xin dimulai.

  3. Pengejaran Gravity terhadap kapal antariksa Lantian setelah Armada Tata Surya berhasil mengadili armada Bronze Age sebagai kejahatan pembunuhan tingkat satu dan kejahatan melawan kemanusiaan usai kejadian peperangan antariksa pada novel Belantara. Meski kisah pengejaran ini terkesan berdiri sendiri, tetapi pada paruh ketiga Pralaya, salah seorang awak Gravity terhubung dengan Cheng Xin.


Sebagaimana telah saya singgung sebelumnya di atas jika novel fiksi ilmiah ini berisi tentang nasib manusia dan semesta, Pralaya memang menghadirkan nuansa muram tidak berkesudahan sekalipun beberapa peristiwa menggaungkan harapan khususnya terhadap keberlangsungan hidup umat manusia, tetapi pada akhirnya buku ini tetap menuju ke arah kematian: manusia, peradaban, alam semesta. Sebuah buku menyedihkan tentang pra-apokaliptik, pasca-apokaliptik, dan intra-apokaliptik sekaligus.


Melalui buku ini, Liu Cixin ingin mengajak pembaca untuk memikirkan hakikat alam semesta dan bagaimana alam semesta dapat dipengaruhi dan dibentuk oleh kehidupan (manusia maupun entitas lainnya). Melalui konsep-konsepnya, saya menyukai cara Liu Cixin mengurai kemajuan ilmu pengetahuan serta lompatan-lompatan teknologi. Sesungguhnya saya bergidik ngeri sewaktu membayangkan peristiwa-peristiwa kosmik yang terjadi di antariksa seperti runtuhnya tata surya menjadi bidang dua dimensi saat dilihat dari Pluto; dunia empat dimensi yang tidak terjangkau; peradaban-peradaban alam semesta mini di dalam bentangan alam semesta antah-berantah (yang entah seperti apa dunianya tidak dijelaskan oleh sang penulis); serta tatkala alam semesta mulai terbuka dan mati perlahan dengan mengembang sebelum restart atau penyetelan ulang dirinya sendiri. Sungguh menakutkan. Penutup trilogi yang baik seperti judul bukunya: Death’s End. Akhir kematian.


Lebih mendebarkan lagi tatkala kemajuan tersebut rupa-rupanya harus dikaitkan kembali dengan kemanusiaan. Salah satu contohnya tatkala alarm palsu pertama kali berbunyi yang menimbulkan kepanikan massal hingga sejumlah manusia lebih memilih meninggalkan Bumi, mengabaikan mereka yang ada di Bumi. Belum lagi dalam satu adegan manusia dipaksa untuk kembali melakukan aktivitas purba (memakan atau dimakan) untuk bertahan hidup dalam penguasaan Trisurya, sesaat setelah Cheng Xi gagal menjalankan tugas pertamanya. Setidaknya, nuansa-nuansa pesimistis cukup mendominasi meskipun kemajuan teknologi melesat sampai pada kemampuan pesawat berkecepatan cahaya. 


Meski demikian, saya menikmati tiga dongeng yang diceritakan Yun Tianming sebagai kode rahasia alam semesta untuk eksistensi dan kelangsungan hidup manusia. Menarik sekali membaca ketiga kisahnya sekaligus menyaksikan upaya manusia menerjemahkan arti dalam cerita tersebut, sebab ada gagasan konsep-konsep ilmiah yang terkandung di dalamnya. 


Selain penggambaran alam semesta yang luas dan teknologinya, buku ini juga menyoroti empati, cinta, dan kemanusiaan melalui tokoh utama: Cheng Xin. Dibandingkan dengan dua buku sebelumnya, perkembangan karakter dalam novel ketiga ini membuat saya geregetan: nyaris stagnan dan tidak ada perkembangan yang berarti. Tidak ada satu pun tokoh yang saya senangi dalam buku ini, berbanding terbalik dengan buku kedua saya menyukai karakter Zhang Beihai. Akan tetapi, karena kepiawaian Liu Cixin dalam menarasikan ilmu-ilmu fisika dasar serta astrofisika, saya memaafkan tokoh utamanya, hahaha.


Pembaca bakal mendapati bagaimana kemampuan manusia (lewat tokoh Cheng Xin tersebut) dalam merespon situasi untuk kepentingan kolektif atau atas nama seluruh umat manusia. Perlahan-lahan dan penuh kehati-hatian, Liu Cixin mampu mengurai sifat kemanusiaan dalam beberapa kejadian. Di sini (yang bikin saya gemasnya bukan main karena sikap Cheng Xin yang dua kali membuat keputusan dua kali pula Bumi dalam kondisi mencekam) saya memandang sang tokoh utama sebagai manusia pada umumnya yang memiliki kelemahan, sisi emosional dalam hatinya, serta kerentanan terhadap bias baik yang melekat dalam kerangka berpikirnya sendiri maupun pengaruh pihak lain. Seberapa banyak dari kita yang terkadang lebih mendengarkan apa kata hati ketimbang pikiran? Seberapa jauh kita mementingkan orang lain ketimbang diri sendiri? Sangat manusiawi sekali.


Nah, ini bisa menjadi bahan renungan kita bersama dalam memilih pemimpin nantinya. Terkadang ada saja orang yang mencalonkan diri menjadi pemimpin itu karena masyarakat sekitar yang berharap dia menjadi pemimpin. Ketika sudah berhasil dan memiliki kekuasaan besar untuk mengubah kehidupan umat manusia lantas satu keputusannya dianggap tidak tepat, sering kali masyarakat lupa jika dulu mereka jugalah yang memilih orang tersebut. 


Dalam buku ini, Liu Cixin menggambarkan situasi dalam warna abu-abu. Tidak hitam maupun putih. Satu sisi menjadi sebuah kebenaran, tetapi di lain pihak bisa menjadi kesalahan. Tergantung sudut pandang. Saya sebut saja sesaat setelah Luo Ji menyerahkan tanggung jawabnya sebagai Pembawa Pedang kepada Cheng Xin, dirinya ditahan oleh pihak yang mengatasnamakan Jaksa Penuntut Tribunal Internasional dengan tuduhan melakukan tindakan mundisida, membunuh dunia. Padahal selama sekian abad dirinya bertahan dalam perang dingin dengan Trisurya sebagai tindak lanjut deterensi belantara gelap, menjaga kesetimbangan dua dunia, tetapi umat manusia zaman itu melihatnya sebagai monster sekalipun mereka juga mengakui bahwa berkat Luo Ji umat manusia mengalami perkembangan peradaban teknologi yang pesat.


Lebih jauh, Liu Cixin juga cukup baik merepresentasikan perubahan sosial dan beragam tanggapan manusia yang senantiasa muncul dalam tiap-tiap era, terutama saat menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan alam semesta dan nasib Bumi. Hanya saja, saya kurang nyaman dengan perwujudan laki-laki feminim dalam salah satu era: berambut panjang, langsing, meninggalkan otot serta maskulinitasnya. Entah rasanya kok aneh, meski pada zaman setelahnya laki-laki feminim berganti kembali menunjukkan maskulinnya.


Novel Pralaya ini sejak lembar pertama hingga terakhir terus-menerus mengajak pembacanya untuk menikmati sekaligus berpikir tentang banyak hal. Tempo cerita bergerak cepat sehingga tidak pernah membiarkan pikiran pembaca beristirahat barang sejenak. Ada banyak kejutan dan hal-hal menakjubkan yang tersebar di sepanjang cerita seperti dunia dua dimensi-tiga dimensi-empat dimensi bahkan sampai sepuluh dimensi atau pereadaban era-era yang dialami manusia Bumi yang dikisahkan sangat-sangat detail: Era Krisis, Era Deterensi, Era Transmisi, dan Era Bunker.


Secara keseluruhan (mengabaikan beberapa kata salah ketik yang cukup mengganggu), Pralaya maupun triloginya merupakan satu cerita fiksi ilmiah terbaik yang pernah ditulis dan saya baca. Saya benar-benar menikmati Liu Cixin menggabungkan imajinasi dan konsep-konsep fisika serta astrofisika menjadi sesuatu yang menarik dan tidak biasa. Tentunya bagi penggemar fiksi ilmiah, buku ini sayang untuk dilewatkan sebab buku ini mengisahkan tentang kita, umat manusia. Bagi yang penasaran, tenang tidak ada teori apa pun, murni narasi dan dialog. Apalagi Pralaya banyak menggunakan bab-bab pendek, tidak seperti dua saudaranya.


Terima kasih kepada penerjemah yang telah bekerja keras membuat hal-hal yang bersifat ilmiah, baik teoritis maupun teknis, dapat dimengerti dengan mudah melalui diksi-diksinya yang sederhana.


Tertarik baca?


•••

Kutipannya:

Seberapa besar alam semesta telah diubah oleh kehidupan? (Hal. 27)


Kemanusiaan bukan hanya abstraksi. Untuk mencintai kemanusiaan, kita harus mulai mencintai orang tertentu, dan memenuhi tanggung jawab kepada orang yang dicintai. (Hal. 96)


Neraka bukan berada di bumi, tapi di antariksa. (Hal. 98)


Saya beritahu, saat manusia kehilangan arah di antariksa, mereka hanya membutuhkan waktu lima menit untuk mencapai totalitarianisme. (Hal. 131)


Karena alam semesta bukanlah negeri dongeng. (Hal. 224)


Bisa hidup saja sudah merupakan keberuntungan yang luar biasa, Itulah yang terjadi di Bumi pada masa lampau, dan begitulah yang terjadi di alam semesta yang kejam ini. Namun pada suatu titik, manusia mulai merasa bahwa mereka berhak hidup, bahwa kehidupan bisa dianggap sewajarnya. Itulah alasan mendasar kekalahan kalian. Bendera evolusi telah berkibar sekali lagi di dunia, dan kalian sekarang akan bertarung untuk bertahan hidup. (Hal. 261)


Kematian ibarat mercu suar yang selalu menyala. Tak peduli sejauh apa pun kamu berlayar, pada akhirnya, kamu akan kembali kepadanya. Semua hal akan memudar di dunia, tapi kematian akan tetap bertahan. (Hal. 467)


Persaingan dibutuhkan untuk bertahan hidup. (Hal. 484)


Aku hanyalah satu di antara begitu banyak manusia yang telah mati dan akan mati. Apa yang harus diceritakan? (Hal. 573)


Tidak ada meja dalam pesta yang belum disentuh, dan tak ada perawan yang belum disentuh di alam semesta. (Hal. 609)


Jangan sombong. Kelemahan dan ketidaktahuan bukanlah penghalang untuk bisa bertahan hidup. Penghalangnya adalah kesombongan. (Hal. 610)


Waktu adalah kekuatan yang paling kejam di antara semuanya. (Hal. 718)


Posting Komentar

0 Komentar