Aksioma Sosiologi Kosmik:
- Bertahan hidup adalah kebutuhan dasar peradaban,
- Peradaban akan terus berkembang, namun jumlah zat dalam alam semesta tidak berubah. (Ye Wenjie, halaman xiii)
•••
Sebelum membaca buku kedua Three-Body Problem, baca resensi buku pertamanya dulu yang berjudul Trisurya tentang rencana invasi alien ini.
Identitas buku:
Judul: Belantara
Penulis: Liu Cixin
Penerbit: KPG
Tahun: 2022
Jumlah: xx + 627 halaman
ISBN: 9786024815509
•••
⭐⭐⭐⭐⭐/5
Blurb:
Apa yang bakal terjadi bila manusia tahu Bumi akan diinvasi alien empat abad lagi?
Sesudah mengetahui keberadaan Bumi, peradaban Trisurya mengirimkan armada penyerbu, dan pengintai berupa proton cerdas—sofon—yang bisa mengetahui semua informasi di Bumi kecuali apa yang ada di dalam pikiran manusia. Itulah dasar Proyek Penghadap Tembok, di mana sejumlah ahli siasat ditugasi untuk membuat strategi dalam kepala mereka sendiri tanpa bisa diketahui Trisurya. Sementara itu, Bumi harus membangun armada antariksa, tapi apakah manusia bisa mengatasi perpecahan antarnegara dan antarideologi untuk melakukannya?
Inilah langkah peradaban manusia dalam persiapan untuk Perang Terakhir.
•••
Garis besarnya:
Invasi Trisurya dimulai. Sofon terus memata-matai manusia dan membatasi segala kemajuan teknologi serta sains yang dikembangkan manusia. Bumi mengalami tahun-tahun Krisis Trisurya.
Sebagai persiapan perang melawan Trisurya, selain ekspansi militer, Proyek Penghadap Tembok dijalankan. Empat orang terpilih bertugas untuk merencanakan dan mengembangkan cara-cara melawan Trisurya yang hanya diketahui mereka sendiri, kalau perlu menipu seluruh manusia. Mereka adalah harapan. Keempatnya juga diberikan akses ke semua sumber daya PBB. Tiga di antaranya merupakan sosok berprestasi, tetapi tidak untuk orang keempat, Luo Ji, seorang ahli sosiologi Tiongkok yang malas dan tidak ambisius. Secara terang-terangan Luo Ji memanfaatkan posisinya sebagai Penghadap Tembok untuk hidup hedon, berfoya-foya, alih-alih menggunakan kemampuannya untuk proyek.
Organisasi Bumi Trisurya (OBT) pun tidak kalah cerdik. Mereka juga membentuk Proyek Pendobrak Tembok yang tujuannya adalah menggagalkan Proyek Penghadap Tembok dan memberitahukan kepada dunia rencana yang tengah dilakukan para Penghadap Tembok.
Di lain waktu dan tempat, Zhang Beihai diangkat menjadi perwira pada Angkatan Luar Angkasa. Dia memiliki kepercayaan dan keyakinan tinggi atas kemanusiaan dan tanggung jawab yang besar pada masa depan dirinya dan dunia. Dia menjalankan rencana evolusi secara diam-diam, selangkah demi selangkah agar berhasil.
Seiring berjalannya waktu, manusia mulai dibenturkan dengan perbedaan ideologi dalam menyikapi kedatangan Trisurya: ada yang ingin menyambutnya, ada yang ingin umat manusia musnah saja, ada yang ingin melarikan diri meninggalkan Bumi selamanya, dan ada pula yang ingin tetap tinggal dan berjuang.
•••
Resensinya:
Membaca buku ini membuat saya tidak berhenti penasaran, membayangkan luas-gelap-suram-kejam-brutal-dinginnya antariksa, sampai bergidik ngeri jika semua yang di Belantara ini nyata.
Sebelum lanjut ke resensi, Belantara ini kerap dikaitkan dengan Paradoks Fermi (Luo Ji menyinggung konsep peradaban kosmik untuk alam semesta sebagai penjelasan/jawaban paradoks dimaksud). Singkatnya, Paradoks Fermi ini mempertanyakan apakah manusia merupakan makhluk paling cerdas di alam semesta atau paling terbelakang alias primitif sehingga makhluk lain di alam semesta tidak melihat Bumi? Paradoks ini memiliki kemungkinan tinggi adanya kehidupan ekstraterestrial/alien di luar Bumi dan alam semesta, tetapi faktanya manusia belum memiliki buktinya. Intinya, pada ke mana itu alien? Kok enggak pernah silaturahmi ke Bumi atau kasih tanda-tanda kehidupan? Kita yang terlalu canggih sampai-sampai kehidupan luar belum mampu menerima komunikasi kita, atau kita paling terbelakang, paling pinggir, dan justru mereka yang paling canggih sehingga mereka tidak menganggap kita ada atau teknologi kita belum mampu menerima kode mereka. Sekian.
Kembali ke resensi, yuk.
Sekuel kedua ini menurut saya jauh lebih seru, lebih gelap, lebih horor, dan lebih menegangkan dari yang pertama. Masih terdiri dari tiga bab besar dengan alur maju meski tempo ceritanya lambat, plotnya bergantian antara Luo Ji dan Zhang Beihai. Kisahnya berpusat pada perjalanan Luo Ji sebagai seorang Penghadap Tembok dan perjalanan Zhang Beihai hingga menjadi perwira Angkatan Luar Angkasa.
Bagian prolog, menurut saya, menjadi poin penting dari keseluruhan cerita. Ye Wenjie tidak mungkin muncul begitu saja dan meninggalkan pesan terkait Aksioma Sosiologi Kosmik tanpa ada maksud apa pun. Pada bab pertama pembaca sudah dijejalkan ragam informasi: tokoh, situasi Bumi, motif, dll. Banyak banget. Jadi siap-siap otaknya untuk menerima semua sekaligus, belum lagi tentang alam semesta dan rentetan peristiwa fisikanya. Kemudian pada bab kedua dan ketiga cerita bergulir makin seru dan mendebarkan.
Belantara ini tidak sekadar berkisah tentang strategi menghadapi Trisurya, melainkan juga ideologi manusia, kelicikan manusia, dan keberlangsungan hidup manusia. Liu Cixin, menurut saya, mampu memainkan grafik cerita dan karakter dengan baik: naik-turun, konflik-subkonflik, klimaks-antiklimaks. Berbanding terbalik dengan buku pertamanya yang cenderung ke perkembangan plot cerita, pada sekuel kedua ini condong pada perkembangan karakternya.
Secara keseluruhan, novel ini sulit ditebak. Ada banyak kejutan alias plot twist bertebaran di sepanjang cerita. Sangat tidak terduga, Ges! Saya saja sampai melongo pas membacanya dan berkaca-kaca di tengah-tengah cerita.
Belantara ini penuh dengan hal teknis terkait fisika dan jagat semesta. Sekali lagi, buku ini termasuk hard sci-fi. Narasinya panjang-panjang dan detail, belum lagi dengan jumlah halamannya. Kalau tidak terbiasa, apalagi tidak sabaran memang cenderung membuat ngantuk dan jenuh.
Untuk penikmat bacaan ringan bisa jadi kurang cocok. Namun, bagi penyuka fiksi ilmiah, astrofisika, dan alam semesta, novel ini sangat-sangat-sangat layak buat dibaca.
•••
Kutipannya:
Ada hal yang memang butuh waktu (Shi Qiang, halaman 174)
Sekarang, hambatan terbesar bagi kelangsungan hidup umat manusia adalah manusia itu sendiri. (Rey Diaz, halaman 359)
Lahirnya peradaban baru adalah lahirnya moralitas baru. (Zhang Beihai, halaman 557)
Alam semesta sesungguhnya memang segelap itu. Alam semesta adalah suatu hutan gelap, belantara. Setiap peradaban adalah seorang pemburu bersenjata yang mengintai di balik pohon seperti hantu, perlahan menyibakkan ranting yang menghalangi jalannya dan mencoba berjalan tanpa bunyi. Dia bahkan bernapas dengan hati-hati. Dia harus hati-hati, karena di seluruh hutan terdapat pemburu yang mengendap-endap seperti dirinya. Jika dia bertemu makhluk lain hanya ada satu hal yang bisa dia lakukan: menembak atau membunuhnya. (Luo Ji, halaman 592-593)

0 Komentar