Perempuan yang Dihancurkan

Krisis perempuan paruh baya

•••


Identitas buku:

Judul: Perempuan yang Dihancurkan

Penulis: Simone de Beauvoir

Penerbit: Narasi

Tahun: Cetakan ke-3: 2024

Jumlah: 341 halaman

ISBN: 9786237586654

Kategori: Fiksi, kumpulan cerpen, perempuan


•••


Blurbnya:

Tiga kisah panjang ini menyeret kita dalam kehidupan tiga perempuan, melewati masa-masa muda, menghadapi krisis yang tak terduga-duga. Ada perempuan tercabik-cabik perselingkuhan suaminya, ada yang lambat laun tertekan karena perilaku sang anak, dan ada yang frustasi serta gusar dalam kesendiriannya.


Apakah menjadi perempuan berarti menjadi masalah itu sendiri? Bahkan jika sang perempuan meraih sukses dalam karier, keuangan, dan kehidupan intelektual? Sebagai fiksi, kisah-kisah ini memikat, menggelar wawasan yang luar biasa dari de Beauvoir untuk perempuan. Inilah persembahan terbaik penulis legendaris tentang perempuan.


Cerdik, cakap luar biasa.. Inilah tiga perempuan yang ditampilkan dengan sebuah perasaan campur aduk antara simpati dan kegusaran. -The Atlantic


Sebuah langkah besar empati. - Times Literary Supplement


•••


Garis besarnya:

Menggunakan sudut pandang orang pertama (Aku), buku ini terdiri dari 3 (tiga) buah cerita yang keseluruhannya berlatar belakang kehidupan pernikahan.


  1. “Masa Penuh Pilihan”

Seorang wanita berusia senja (Aku) memiliki kecintaan pada dunia kepenulisan dan pemikiran, sama halnya dengan sang suami (Andre) yang berdedikasi penuh sebagai ilmuwan. Keduanya memiliki putra semata wayang (Philippe) yang penurut dan penuh kasih sayang yang telah berumah tangga dan hidup mandiri. Selama tiga puluh tahun, Aku selalu bangga tatkala sang anak mengikuti jejaknya hingga membuatnya merasa berhasil dalam menjalani kehidupan.


Percikan konflik bermula tatkala Andre curhat jika pekerjaannya tergeser oleh generasi muda yang membuat komunikasi keduanya tersendat. Makin membuncah ketika Philippe mengatakan memilih jalan hidup berbeda: mengubah karirnya dengan menjadi bagian pemerintah yang menganut ideologi politik berbeda dengan sang ibu.


Hal tersebut membuat Aku mengalami kekecewaan dan kehilangan. Pertengkaran dengan Philippe merembet ke hubungan pernikahannya dengan Andre sebab sang suami alih-alih mendukung, justru membela anaknya. Perasaan kesendirian membuatnya tidak terima atas pengkhianatan orang-orang yang dia cintai dan perjuangkan. Lebih-lebih pada saat bersamaan, buku keduanya tidak mendapatkan apresiasi yang diharapkan.


Harga diri yang terluka, putus asa karena faktor usia, membuatnya mulai menyalahkan banyak hal: mengeluhkan cara Andre mendidik anak yang–menurutnya–tidak sejalan, menuding Philippe salah pilih pasangan, hingga menuduh keluarga sang menantu telah mendesak dan memengaruhi Philippe untuk tidak sejalan dengannya; padahal sang anak hanya ingin terbebas dari bayang-bayang ibunya.


  1. “Monolog”

“Monolog ini adalah bentuk balas dendamnya.” (Flaubert)

Menghadirkan percakapan diri sendiri seorang wanita 40 tahun (Aku)–pada malam tahun baru, sendirian di apartemen–yang mengalami guncangan mental usai anak perempuannya (Sylvie) memutuskan bunuh diri lima tahun lalu.


Aku pun memiliki trauma masa kecilnya, kala mengalami ketimpangan dan ketidakadilan dari sikap ibunya. Tatkala berumah tangga, alih-alih agar tidak merasakan pengalaman serupa dengannya, Sylvie justru memilih mengakhiri hidup.


Semua orang mendakwa Aku sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Suami dan keluarga pun meninggalkannya. Penghakiman itu membuatnya terpuruk, larut dalam penyesalan dan amarah. Dalam kesendiriannya, Aku tidak memercayai seorang pun, memandang hidupnya sebagai kegagalan besar.


Pada malam tahun baru itulah, Aku mengurung diri dalam kamar dan bermonolog. Dengan kegeraman, dia mencerca kehidupannya dan mengamuk kepada siapa pun yang pernah hadir dalam kehidupannya dan berkeinginan untuk mati.


  1. “The Woman Destroyed”

Seorang wanita paruh baya (Aku), ibu rumah tangga, menuliskan ceritanya dalam bentuk buku harian perihal kegiatannya seatap bersama suaminya (Maurice), seorang dokter—kedua anak perempuannya telah hidup mandiri dan terpisah (Colette–si sulung–menikah muda dan Lucienne–si bungsu–bersekolah di Amerika).


Perubahan ritme berumah tangga Aku terjadi tatkala Maurice secara terbuka, dan tiba-tiba, mengakui dirinya berselingkuh. Aku pada awalnya mengabaikan fakta tersebut, meyakini bahwa sang suami dalam fase kebosanan sementara–layaknya usia pernikahan yang berjalan puluhan tahun–dan mengizinkannya untuk terus berhubungan dengan kekasih barunya (Noellie, pengacara muda) sambil memercayai Maurice akan kembali kepadanya setelah jenuh dengan petualangan asmaranya.


Namun, tidak disangka-sangka, Maurice kian lama kian sering menghabiskan waktu bersama Noelie ketimbang dirinya bahkan nampak memperoleh semangat baru. Aku mulai mengalami pergolakan batin dan mempertanyakan banyak hal kepada dirinya–kualitas dirinya sebagai perempuan dan istri, penampilannya, usianya, cara mendidik anak, kesehariannya, pernikahannya–yang lambat laun menggerogoti kesehatan mentalnya.


Rasa percaya dirinya memudar dan kehilangan kemampuan melihat kebenaran jika perselingkuhan tersebut merupakan hal serius, terlebih–sekali lagi–Maurice berkata jika bukan sekali ini berselingkuh, melainkan sejak delapan tahun silam dengan beberapa perempuan berbeda. 


•••


Resensinya:

Sungguh sangat melelahkan membaca buku ini. Serius! 


Perlu waktu lamaaa buat saya untuk menamatkannya. Saya bahkan sempat menyerah pada cerita kedua, ngos-ngosan dengan jalan kisahnya.


Jika teman-teman mencari kisah tentang perempuan yang mandiri, maka tidak akan menemukannya di sini. 


Cerita-cerita Perempuan yang Dihancurkan begitu personal, mengungkap kompleksitas dan kegundahan perempuan paruh baya. Tiap-tiap perempuan dalam ketiga kisah lebih banyak bergulat dengan dirinya serta berusaha terlepas dari cengkeraman ketidakberartian tatkala tidak dibutuhkan, tidak dicintai, dan ditinggalkan dalam perjalanannya sebagai istri sekaligus ibu dengan ragam persoalan pernikahan-suami-anak-masa depan.


Penulis cukup baik menguak kehidupan puluhan tahun pernikahan seorang perempuan dalam situasi yang tidak muluk-muluk, cenderung apa adanya: hubungan dengan pasangan melambat, minim percakapan, kesepian, hampa, gairah seksual yang tereduksi seiring berjalannya waktu, tanggung jawab domestik perempuan, hingga krisis identitas akibat penuaan.


Melalui narasi yang melimpah, penulis ingin menghadirkan kemelut perempuan dengan dirinya sendiri, menegaskan upaya para tokoh utama dalam melakukan kontemplasi terus-menerus, bernegosiasi untuk menerima kenyataan meski berakibat destruktif bagi dirinya.


Selain berkaitan dengan pasangan, buku ini turut mendeskripsikan relasi ibu-anak melalui gambaran ideal bagaimana seharusnya anak-anak mereka tumbuh dewasa, mandiri, dan sukses. Alih-alih gayung bersambut, justru membawa anak pada perilaku yang tidak sesuai harapan. 


Lihat saja, pada cerita pertama, Aku menginginkan Philippe seperti dirinya, termasuk dalam pandangan politik. Sayangnya, upaya tersebut berujung pertengkaran hebat. Karakter Aku melupakan bahwa tiap anak memiliki hak secara otonom dalam menentukan hidupnya tanpa tendensi siapa pun. Kisah “Monolog” menggambarkan upaya Aku yang tidak sejalan dengan harapan. Keinginan agar sang anak tidak merasakan hal yang sama dengan trauma masa kecil Aku justru membuat sang anak rentan dan memilih bunuh diri. Pun dengan kisah ketiga, karakter Aku menjadi pribadi yang datar, minim apresiasi.


Ketiga cerita tersebut cukup mampu untuk menyeret emosional dan menarik empati para pembacanya. Meski tokoh dan latar setiap kisah berbeda, ketiganya memiliki benang merah yang sama.


Yang perlu menjadi perhatian sebelum menamatkan buku ini yakni banyaknya tokoh yang berserak (terutama bagian kedua, sungguh!), alur yang melompat-lompat tidak teratur, penuh narasi, kalimat-kalimat panjang dan detail, akhir cerita berupa penerimaan emosional tokoh dengan dirinya sendiri–jadi memang tidak detail harus adegan apa atau gimana–dan terjemahannya cukup sulit dipahami, membuat harus baca perlahan-lahan agar mengerti konteksnya apa supaya bisa terbaca dengan mulus.


Buku ini banyak mendeskripsikan pergulatan psikologi perempuan senja secara intens, ruwet, kompleks, dan berputar-putar. Sudah barang tentu, kumpulan cerpen ini bakal melelahkan dan bukan bacaan bagi perempuan–dan laki-laki–tatkala kondisi hati dan pikirannya sedang tidak baik-baik saja.


Perempuan yang Dihancurkan cocok untuk usia dewasa maupun yang telah berumah tangga. Bukan buku menyenangkan, memang, tetapi patut dibaca setidaknya sekali seumur hidup.


Tertarik baca?


•••


Kutipannya:

Aku tumbuh begitu cepat dari aspek-aspek yang dulu berbeda sehingga tampak bukan menjadi suatu perubahan bagiku. (Hal. 6)


Apa yang bisa diperbuat ketika dunia sudah kehilangan kenikmatannya? Yang tersisa hanyalah waktu yang akan terus berlari. (Hal. 13)


Manusia mesti mengikuti jalan hidupnya sendiri. (Hal. 27)


Sejauh yang aku ketahui, seksualitas tidak lagi ada. Aku biasa menyebutnya kedamaian yang tidak berarti; seketika itu juga aku telah melihatnya dari sudut pandang yang berbeda—seksualitas adalah perusakan tubuh; hilangnya suatu rasa. Ketiadaan seks menjadikan diriku buta akan kebutuhan, rasa sakit, dan kenikmatan dan mereka yang masih memilikinya.(Hal. 29)


Manusia harus menjadi bebas. (Hal. 29)


Tenanglah. Kemarahan tidak akan menghasilkan sesuatu yang baik. (Hal. 39)


Setiap orang mempunyai hak untuk mempertimbangkan pendapatnya sendiri. (Hal. 39)


Sungguh melelahkan membenci seseorang yang kamu cintai. (Hal. 55)


Sisi tragis dari bertambahnya usia menjadi tua bukanlah pada perubahan yang terjadi di sekelilingnya, tetapi perubahan yang terjadi di dalam dirinya sendiri. (Hal. 58)


Jiwa muda dan apa yang disebut orang Italia sebagai stamina, vitalitas, dan semangat membara memungkinkan dirimu untuk mencinta dan mencipta. Ketika dirimu kehilangan itu, maka kamu akan kehilangan segalanya. (Hal. 58–59)


Hidup berpasangan memang selalu melibatkan berbagai keputusan dan kesepakatan. Kapan kami mesti makan? Apa yang mesti kami makan? Apa saja rencana yang harus dilaksanakan? Ketika seseorang sendirian, segala hal terjadi tanpa suatu rencana; sungguh hidup terlihat tanpa gejolak. Aku bangun terlambat; terlelap dalam kehangatan sprai, mencoba untuk mencerna kilatan-kilatan mimpi yang datang berurutan. (Hal. 65)


Sejak awal seseorang tidak berhak memengaruhi pikiran orang lain dalam hal masa depannya. (Hal. 76)


Aku bertanya-tanya bagaimana orang-orang berhasil melanjutkan kehidupannya ketika tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari kehidupan itu. (Hal. 78)


Kehidupan dipenuhi dengan ketergesa-gesaan, secara menyedihkan berlomba untuk menggapai tujuan. Namun demikian, pada waktu yang sama kehidupanku berjalan begitu lambat, sangat lambat sekarang, jam demi jam, menit demi menit. (Hal. 80)


Sejauh yang kuketahui, kehidupan secara bertahap akan mengambil kembali segala sesuatu yang telah diberikannya kepadaku: itu sudah berlaku sejak lama. (Hal. 91)


Seseorang harus menjadi ada untuk sesuatu. (Hal. 91)


Kematian adalah makna lain dari bertambahnya usia menjadi tua. Terlalu banyak kematian yang sudah terjadi, ditangisi, dan kemudian dilupakan. (Hal. 92)


Sepasang manusia yang hidup bersama semata-mata karena itulah cara mereka memulai, tanpa alasan lain: apakah kami sedang menuju ke arah itu? Apakah kami akan menghabiskan lima belas atau dua puluh tahun lagi tanpa ada keluhan berarti dan kebencian walau masing-masing dari kami menutupi dunianya sendiri-sendiri, semuanya memikirkan masalahnya sendiri-sendiri, menyesali kegagalannya sendiri-sendiri, sementara kata-kata terucapkan tanpa arti? (Hal. 95)


Manusia tidak mesti terus menerima dan semestinya juga harus tahu bagaimana bisa memberi. (Hal. 128-129)


Para ayah tidak dapat sepenuhnya memiliki anak perempuan sebagaimana yang mereka kehendaki sebab mereka telah menetapkan suatu rencana masa depan bagi putri-putri mereka di mana putri-putri mereka harus menaatinya. Sementara para ibu bisa menerima anak-anak perempuan seperti apa adanya. (Hal. 218)


Dan perempuan yang sudah menikah tidak akan suka dengan para perempuan yang melakukan perselingkuhan dengan suami mereka.



Posting Komentar

0 Komentar