Realitas pahit banyak perempuan
•••
Identitas buku:
Judul: Perempuan di Titik Nol
Penulis: Nawal el-Saadawi
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia
Tahun: Edisi ke-9: 2006
Jumlah: 156 halaman
ISBN: 9796410402
Kategori: Fiksi, novel, patriarki, kekerasan, perempuan
•••
Blurbnya:
Dari balik sel penjara, Firdaus—yang divonis gantung karena telah membunuh seorang germo—mengisahkan liku-liku kehidupannya. Dari sejak masa kecilnya di desa, hingga ia menjadi pelacur kelas atas di Kota Kairo. Ia menyambut gembira hukuman gantung itu. Bahkan dengan tegas ia menolak grasi kepada presiden yang diusulkan oleh dokter penjara. Menurut Firdaus, vonis itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati. Ironis.
Lewat pelacur ini, kita justru bisa menguak kebobrokan masyarakat yang didominasi kaum lelaki. Sebuah kritik sosial yang amat pedas!
Novel ini didasari pada kisah nyata. Ditulis oleh Nawal el-Saadawi, seorang penulis feminis dari Mesir dengan reputasi Internasional.
•••
Resensinya:
Kali kedua saya membaca buku ini. Dulu, saya membaca novel tipis ini sewaktu masih kuliah, rasanya … nano-nano cenderung marah, hahaha. Ada yang berbeda sewaktu kedua kalinya. Meski sama-sama ada perasaan geregetan juga, sih.
Perempuan di Titik Nol secara spesifik mendeskripsikan ketimpangan perempuan Mesir bernama Firdaus dan perempuan-perempuan di seluruh dunia pada umumnya.
Saya meyakini, tidak jarang kita mendengar perihal perempuan yang menjadi korban pemerkosaan, kekerasan, bahkan pembunuhan. Dan tokoh sentral dalam novel ini sangat mewakili kisah-kisah nestapa perempuan—khususnya di Mesir kala itu—yang tumbuh besar di lingkungan sosial yang mengakrabi budaya patriarki.
Memang saya tidak menampik bahwa cerita dalam buku tipis nan mungil ini suram dan sangat kuat penggambaran patriarki dan seksisme atas perempuan. Firdaus telah mengalami manifestasi ketidakadilan gender pada dirinya sejak kecil hingga pada titik akhirnya dia dijatuhi hukuman mati. Sepanjang tarikan napas dan usia, Firdaus terus-terusan menelan kepahitan melalui pelecehan-kekerasan-diskriminasi-eksploitasi tatkala menjadi anak-keponakan-istri-teman-rekan kerja dari setiap lelaki terdekat dalam hidupnya, tiada seorang pun yang menolongnya.
Beragam pengalaman membuat Firdaus memilih melawan dan memutuskan merekonstruksi diri dengan melacur sebagai upayanya memberontak dan menunjukkan eksistensi, memperjuangkan harga diri, serta memilih kematian sebagai caranya merdeka dari dominasi laki-laki.
Cerita yang diambil dari kisah nyata ini jelas menyuarakan kritik sosial atas hak-hak perempuan yang—sampai saat ini—masih timpang di masyarakat. Namun, saya tidak akan menyoroti hal tersebut dalam resensi kali ini. Saya ingin memberikan sudut pandang lain, perihal pembelajaran yang bisa pembaca ambil dari tema-tema yang diangkat dalam novel ini.
Membaca Perempuan di Titik Nol seperti mendengar curhatan teman dekat yang tidak sekadar mengisahkan nasibnya yang kurang menyenangkan, melainkan juga memberikan nasihat agar sebagai perempuan harus mampu menjalani kehidupan dengan penuh kebahagiaan.
Buku ini bisa memotivasi pembaca untuk lebih banyak peduli atas hak-hak perempuan, untuk menghormati dan dihormati saat menjalankan peranannya sebagai anak-keponakan-istri-teman-rekan kerja, serta memberikan kesempatan yang sama untuk menjadi apa pun. Perempuan harus lebih menghargai dirinya sendiri, berani bebas, merdeka, dan bertanggung jawab.
Firdaus memberikan contoh bahwa perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya, perempuan bisa menggapai ruang-ruang publik dengan bekerja dan berkarya.
Firdaus mencerminkan tokoh intelektual. Dia amat gemar membaca, tidak satu-dua buku, tetapi banyak bidang yang kiranya bermanfaat untuknya. Baginya, ilmu pengetahuan bisa menunjang kehidupannya. Pendidikan benar-benar memberikan kesempatan kepada perempuan untuk terbebas dari keliyanan. Yakinlah bahwa pendidikan adalah kunci perubahan yang diperlukan perempuan, sekalipun memutuskan menjalani profesi sebagai ibu rumah tangga.
Melalui potret keluarga Firdaus, orang tua seharusnya menempatkan anak-anaknya secara adil, tidak berat sebelah hanya karena melahirkan anak laki-laki ketimbang anak perempuan. Selain itu, pembagian kerja dalam rumah tangga merupakan tantangan yang harus dihadapi pasangan suami-istri. Pekerjaan rumah tangga bukanlah tugas satu jenis kelamin tertentu. Berbagi tugas tentu membuat satu sama lainnya setara dan dihormati. Baik pula buat kesehatan mental. Toh, pekerjaan rumah memang dapat dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, bukan?
Sama halnya dengan pembagian peran yang terbentuk dalam masyarakat yang cenderung memandang laki-laki bertanggung jawab dengan bekerja dan perempuan bertanggung jawab dalam rumah tangga. Padahal peran sosial tersebut bisa dipertukarkan dan fleksibel.
Perempuan di Titik Nol memang banyak berbicara perihal ketimpangan gender. Namun, mari kita ubah pelabelan negatif terhadap perempuan, hentikan kekerasan terhadap perempuan, jangan ada marginalisasi terhadap perempuan, putus rantai subordinasi terhadap perempuan. Perlu kesadaran atas nama kemanusiaan, untuk memberikan kesempatan yang sama, memberikan ruang kehidupan yang sama dan aman bagi siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan.
Buku ini ditulis secara kronologis dan runut, memudahkan pembaca untuk terus mengikuti kehidupan tokoh sentralnya. Terjemahannya baik, hanya beberapa kalimat terbaca berputar-putar dan berlebihan (mungkin kalimat aslinya memang njlimeti kali, ya).
Novel ini cocok dibaca oleh remaja hingga dewasa, laki-laki maupun perempuan, sebab banyak pesan moral yang didapatkan dari kisahnya yang muram lagi menyesakkan.
Tertarik baca atau sudah baca?
•••
Kutipannya
Bukanlah benar bahwa mencuri itu perbuatan buruk, dan membunuh itu perbuatan jahat, dan merampas kehormatan wanita merupakan perbuatan jahat, juga ketidakadilan, dan memukul manusia lain itu jahat …? (Hal. 17)
Lagi pula siapa yang dapat membantah bahwa kepatuhan merupakan kewajiban, dan mencintai tanah air kita pun demikian. Cinta pada sang penguasa dan cinta kepada Allah adalah satu dan tak dapat dibagi. (Hal. 17)
Saya mulai mencintai buku, karena setiap buku memberikan pelajaran baru bagi saya. (Hal. 38)
Saya dapat pula mengetahui bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang penuh distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul uang, seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang menaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis, dan menembakkan panah beracun. Karena itu, kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati, dan akibatnya saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu. (Hal. 39)
Kau tahu betapa tingginya biaya hidup sekarang ini. Harga-harga seperti bertambah gila, dan gaji pegawai pemerintah hanya naik sedikit sekali. (Hal. 52)
Seorang yang tua tetapi yang dapat dipercaya masih lebih baik daripada seorang yang muda yang memperlakukannya dengan cara yang menghina, atau memukul. Anda tahu bagaimana orang muda zaman sekarang. (Hal. 53)
Tiada yang memalukan seorang lelaki kecuali kantongnya yang kosong. (Hal. 53)
Setiap orang harus mati. Saya akan mati, dan kamu akan mati. Dan yang penting ialah bagaimana untuk hidup sampai mati. (Hal. 77)
Kau harus lebih keras dari hidup itu. Hidup amat keras. Yang hanya hidup ialah orang-orang yang lebih keras dari hidup itu sendiri. (Hal. 77)
Hidup adalah ular. Bila ular itu menyadari bahwa kau itu bukan ular, dia akan menggigitmu. Dan bila hidup itu tahu kau tidak punya sengatan, dia akan menghancurkanmu. (Hal. 78)
Lelaki tidak tahu nilai seorang perempuan. Perempuan itulah yang menentukan nilai dirinya. Semakin tinggi kau menaruh harga bagi dirimu, semakin dia menyadari hargamu itu sebenarnya, dan dia akan bersiap untuk membayar dengan apa yang dimilikinya. Dan bila dia tidak memilikinya, dia akan mencuri dari orang lain untuk memberimu apa yang kau minta. (Hal. 79)
Kita bekerja, hanya bekerja. Jangan mencampuradukkan perasaan dengan pekerjaan. (Hal. 81)
Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan. (Hal. 126)
Yang paling sedikit diperdayakan dari semua perempuan adalah pelacur. Perkawinan adalah lembaga yang dibangun atas penderitaan yang paling kejam untuk kaum wanita. (Hal. 126)
Kini saya telah belajar bahwa kehormatan memerlukan jumlah uang yang besar untuk membelanya, tetapi bahwa jumlah uang yang besar tidak dapat diperoleh tanpa kehilangan kehormatan seseorang sebuah lingkaran setan yang berputar-putar, menyeret saya naik dan turun bersamanya. (Hal. 133)
Tidak sesaat pun saya ragu-ragu mengenai integritas dan kehormatan diri sendiri sebagai wanita. Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan oleh lelaki, dan bahwa lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang di alam baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar adalah tubuh sang istri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu atau lain bentuk. (Hal. 133)
Oleh karena dunia penuh dusta, ia harus membayar harganya dengan kematian. (Hal. 154)

0 Komentar