Paya Nie

Kehidupan perempuan Aceh dalam jaring-jaring peperangan

•••


Identitas buku:

Judul: Paya Nie

Penulis: Ida Fitri

Penerbit: Marjin Kiri

Tahun: 2024

Jumlah: 196 halaman

ISBN: 9786020788562

Kategori: Fiksi, novel, juara III Sayembara DKJ 2023, kekerasan


•••

Blurbnya:

Aceh semasa perlawanan Gerakan Aceh Merdeka. Empat orang perempuan sedang turun ke rawa bernama Paya Nie untuk mengumpulkan purun danau buat dijadikan tikar. Kilas balik-kilas balik dalam obrolan mereka membawa kita ke masa lalu paya, masa lalu kampung-kampung sekitarnya, masa lalu militerisme, serta masa lalu diri mereka masing-masing. Desas-desus, legenda lokal, laporan saksi mata, dan mungkin juga bualan-bualan bercampur aduk dengan memukau. Tanpa mereka sadari, seregu marinir Indonesia sedang menyiapkan serangan skala besar ke rawa yang diduga menjadi tempat persembunyian gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka itu.


•••

Garis besarnya:

Mengambil latar beberapa bulan sebelum perdamaian terjadi, saat bentrokan antara GAM dan TNI masih berlangsung, empat orang perempuan—Mawa Aisyah, Cuda Aminah, Kak Limah, dan Ubiet—tengah mencari purun danau (binyeut) di rawa Paya Nie. 


Bergiliran, keempatnya bercerita tentang kejadian-kejadian, pengalaman-pengalaman, maupun keinginan-keinginan yang terjadi pada sekeliling maupun diri mereka masing-masing: Ubiet yang berencana membawa sang ayah menjalani operasi mata sebab mengalami gangguan penglihatan; Kak Limah menceritakan tetangganya, Mail, yang meresahkan karena polahnya yang tanpa malu-malu memamerkan penisnya; Cuda Aminah mengisahkan pengalaman hidupnya yang malang hingga sebatang kara dan bagaimana dirinya akhirnya menikahi sang suami; dan Mawa Aisyah yang mengaku pernah memberi makan pimpinan GAM. 


Dan ketika asyik bercengkerama, tanpa mereka sadari, beberapa jam kemudian, keempatnya terjebak baku tembak yang berlangsung di rawa Paya Nie.


•••


Resensinya:

Paya Nie, novel yang menawarkan cerita lain sebuah konflik senjata panjang di Aceh. Tidak sekadar sengitnya benturan antara GAM dan negara induk (Indonesia) di lapangan, melainkan dampaknya pada pihak-pihak rentan, yakni masyarakat sipil yang tidak memiliki kepentingan konflik maupun politik, terutama perempuan.


Melalui obrolan-obrolan para tokohnya, buku ini memberikan gambaran kehidupan perempuan Aceh yang menjalani keterbatasan mata pencaharian akibat kemiskinan, terjebak peperangan, sedikitnya ruang aman yang memungkinkan perempuan menjadi korban pelecehan dan kekerasan atas nama operasi keamanan, hingga tidak pernah benar-benar keluar dari jaring-jaring patriarki yang berkelindan.


Ida Fitri mampu membeberkan lapisan-lapisan ketakutan dan kekerasan dengan apik dan menjembatani suara yang selama ini tidak terdengar agar pembaca lebih memahami memori traumatik pribadi maupun trauma kolektif masyarakat Aceh semasa konflik.


Selain kisah pelemahan perempuan, buku ini memuat elemen-elemen yang menjadi ciri khas Aceh, seperti kebiasaan para warga desa, budaya, sampai legenda magis nan mistis yang terjadi di Kampung Salamanga. Tidak cukup, Paya Nie turut serta membawa isu kesehatan mental melalui salah satu karakternya bahkan mengisahkan bagaimana kebiasaan laku seorang mata-mata, serta tangguhnya kombatan perempuan Inong Balee.


Buku yang menggunakan sudut pandang orang ketiga ini beralur campuran, terdiri atas bab-bab pendek, dan memiliki akhir yang tidak semuanya terceritakan. Barangkali Ida Fitri ingin menggambarkan bahwa kondisi pertempuran kala itu begitu suram tanpa ada kepastian dan kejelasan bagi masyarakat sipil.


Hitung mundur pada setiap akhir bab memiliki daya tarik dan membuat pembaca menunggu-nunggu, tetapi kisahnya yang berputar-putar membuat tempo pada paruh pertama novel ini melambat. Diksinya mudah dipahami dan daftar istilah Aceh telah disematkan pada lembar awal buku.


Paya Nie ini saya rekomendasikan untuk mereka yang berusia dewasa muda serta mereka yang ingin mengetahui kehidupan perempuan selama pecah konflik Aceh.


Tertarik baca?


•••


Kutipannya

Setiap orang cenderung ingin menghapus hal-hal buruk dari ingatannya. (Hal. 29)


Kadang hubungan antara lelaki dan perempuan memang terlihat sangat sederhana, begitu kenal, membuat lamaran dan menikah. Pada kasus lain menjadi rumit seperti labirin yang tak pernah berujung. (Hal. 43)


Peluru memang tak pernah mengenal siapa korbannya terlebih dahulu, karena bila diperkenalkan, bisa saja ia menjadi tersentuh dan tidak tega untuk membunuh, yang membuat derajatnya sebagai pembunuh mematikan meluncur turun. Ia tak mau tahu apakah itu pekerja kemanusiaan, wanita hamil, atau anak-anak—begitu keluar dari moncong senjata ia menjadi setan yang tak terkendali. (Hal. 59)


Terlalu banyak kebetulan itu bukanlah kebetulan. (Hal. 73)


Ikan-ikan terkadang menuju ke daratan, seperti juga manusia yang menuju ke rawa—untuk hidup. (Hal. 82)


Keinginan adalah salah satu setan yang merasuki darah, harus dilawan dengan lebih sering menyebut nama Tuhan. (Hal. 83)


Tapi takdir tak pernah ditebak hendak akan ke mana muaranya. Andai takdir bisa ditebak, mungkin kehidupan akan lebih teratur atau sangat membosankan. (Hal. 85)


Orang baik berkumpul bersama orang baik, orang jahat bersama orang jahat. (Hal. 87)


Banyak cerita menyebutkan, para tentara akan sedikit lebih baik jika di depan perempuan. Jika ada yang mengetuk pintu tengah malam, para istri yang harus membukanya. Jika itu tentara, mereka akan lebih ramah, begitu pula jika yang datang orang GAM. Di sini perempuan seperti tidak punya ruang untuk memiliki rasa takut. Itu harus dilakukan untuk melindungi keselamatan para suami, ayah anak-anak mereka. (Hal. 128)


Jika kamu diajari sedemikian banyak cara mencuri, maka kamu bisa saja lebih gesit dari gurumu. (Hal. 155)


Setiap orang bisa sesumbar, aku pemberani, aku hebat, hanya jika mereka tidak sedang berada di medan perang, berhadapan dengan senjata-senjata yang menyalak melebihi anjing galak. (Hal. 169)


Bukankah memikirkan apa mereka akan membiarkanmu hidup atau mati lebih menakutkan dari hukuman mati itu sendiri? (Hal. 171)


Dunia ini memang tak lebih dari tawar-menawar dalam banyak hal. (Hal. 196)


Posting Komentar

0 Komentar