Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi

Bukan sekadar novel tentang penyelamatan sebuah kerajaan dan pembalasan dendam semata.


•••


Identitas buku:

Judul: Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi

Penulis: Yusi Avianto Pareanom

Penerbit: baNANA

Tahun: Cetakan ke-3: 2020

Jumlah: 468 halaman

ISBN: 9789791079525

Kategori: Dewasa: novel, fiksi sejarah, aksi, fantasi, drama, roman, kekerasan, erotis


•••


Blurbnya:

Sungu Lembu menjalani hidup yang membawa dendam. Raden Mandasia menjalani hari-harinya dengan memikirkan penyelamatan Kerajaan Gilingwesi. Keduanya bertemu di rumah dadu Nyai Manggis di Kelapa. Sungu Lembu mengerti bahwa Raden Mandasia yang memiliki kegemaran ganjil mencuri daging sapi adalah pembuka jalan bagi rencananya. Maka, ia pun menyanggupi ketika Raden Mandasia mengajaknya menempuh perjalanan menuju Kerajaan Gerbang Agung.


Berdua, mereka tergulung dalam pengalaman-pengalaman mendebarkan: bertarung melawan lanun di lautan, ikut menyelamatkan pembawa wahyu, bertemu dengan juru masak menyebalkan dan hartawan dengan selera makan yang menakjubkan, singgah di desa penghasil kain celup yang melarang penyebutan warna, berlomba melawan maut di gurun, mengenakan kulit sida-sida, mencari cara menjumpai Putri Tabassum Sang Permata Gerbang Agung yang konon tak pernah berkaca—cermin-cermin di istananya bakal langsung pecah berkeping-keping tak sanggup menahan kecantikannya, dan akhirnya terlibat dalam perang besar yang menghadirkan hujan mayat belasan ribu dari langit. 


Meminjam berbagai khazanah cerita dari masa-masa yang berlainan, Yusi Avianto Pareanom menyuguhkan dongeng kontemporer yang memantik tawa, tangis, dan maki-makian Anda dalam waktu berdekatan—mungkin bersamaan.


•••


Garis besarnya:

Sungu Lembu memendam dendam terhadap Kerajaan Gilingwesi, tidak tanggung-tanggung ia mendambakan kepala Raja Watugunung tergantung di tangannya. Ia bahkan tak peduli seandainya nyawanya nanti harus melayang asalkan tujuannya tercapai. Dendamnya adalah dendam Banjaran Waru, kampung halamannya, kerajaan kecil yang dijajah Gilingwesi, tempat sebagian besar keluarganya ditangkap atau dibunuh karena dituduh memberontak. Namun di tengah misinya itu, garis nasib mempertemukannya dengan Raden Mandasia, salah satu anak Watugunung, yang memiliki kesenangan nyeleneh: mencuri daging sapi ternak untuk disantap. Bersama-sama mereka terlibat dalam petualangan seru sampai ke negeri yang jauh di seberang samudra.


•••


Resensinya:

Buku ini saya beli sewaktu acara Patjar Merah di Solo tahun lalu (2023) dan kebetulan pada sesi Yusi Avianto Pareanom yang berbayar itu saya bisa dapat tiket gratis karena memenangkan satu tantangan tertentu pada salah satu akun buku. Jadi … baru hampir satu tahun berselang saya bisa membaca buku ini. Dan sebenarnya, nih, saya membaca ini sebagai selingan Kura-Kura Berjanggut, lumayanlah tiga hari menuntaskan si Raden sebelum kembali fokus dengan buku bantal itu.


Bagaimana kesan saya terhadap novel ini? Boleh saya katakan sangat menyenangkan, seru, sekaligus membagongkan. 


Dalam pandangan saya, Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi (selanjutnya saya singkat RMSPDS) menawarkan pengalaman membaca yang berbeda dari kebanyakan buku yang sudah pernah saya baca, khususnya penulis asal Indonesia. Saya cukup menyukai bagaimana Yusi memaparkan kisahnya begitu mengalir, mulus, matang, mendebarkan, dan dengan pilihan diksi yang sederhana, tetapi kaya padanan kata.


RMSPDS merupakan sebuah kisah perihal proses pendewasaan, cerita perjalanan manusia yang menaklukkan dirinya sendiri dari motivasi atau keinginan besar lagi negatif seperti dendam kesumat yang kemudian mendewasakannya, membuatnya bisa berdamai kembali dengan dirinya sendiri. Dalam buku ini Yusi mengeksplorasi luapan emosi Sungu Lembu atas Prabu Watugunung sampai dia rela berkelana bersama Raden Mandasia demi ambisinya yang perlahan-lahan, usai melewati banyak kejadian, terkikis pemaafan dengan sendirinya secara sadar, tertempa dengan pelajaran dan perjalanan hidup yang berharga.


Tidak cukup berkisah tentang penerimaan diri, buku ini juga menunjukkan jika roda kehidupan memang berputar begitu adilnya: kejayaan dan keruntuhan. Pembaca akan menemukan betapa luar biasanya Kerajaan Gilingwesi, tetapi akhirnya hancur karena perseteruan orang-orang dalam; dendam membara dalam hati Sungu Lembu yang luruh di bab-bab akhir; termasuk kisah cinta tokoh utama yang menggelora pun usai juga, hahaha.


Lebih jauh lagi, dalam buku ini, konsep kepemimpinan suatu wilayah (raja dan kerajaannya) tidak berdasarkan dari keturunan atau darah biru seperti pada umumnya yang sudah kita ketahui bersama, bahkan simbol-simbol yang melingkupi kerajaan seperti penentuan raja dari weton/ramalan/penanggalan sama sekali tidak ada. RMSPDSmelalui tokoh Watugunung yang asalnya rakyat biasamengubahnya dengan kepemimpinan yang dipilih karena seseorang itu rajin berlatih, bekerja keras, tekun menempa dirinya dengan ragam pelatihan yang baik sehingga layak menjadi penguasa.


Sebagaimana yang tersemat dalam kovernya, RMSPDS “Sebuah Dongeng Karya …” maka benarlah jika buku ini merupakan kumpulan potongan-potongan dongeng atau kisah dunia yang berada di negeri antah berantah yang terlalu samar jika hendak memetakan latar waktu dan tempatnya. Saya menduga jika waktu yang digunakan dalam buku ini saat nama nusantara belum ada, hanya berupa Kepulauan Rempah-Rempah yang boleh jadi sekitar masa Kerajaan Hindu-Buddha masih mendominasi Indonesia kala itu. 


Untuk kumpulan kisah-kisah populer dunia, Yusi piawai merombak dan menyusun kembali, menyesuaikan cerita utama petualangan Sungu Lembu tanpa terkesan dipaksakan sehingga memberikan warna tersendiri. Saya sangat yakin pembaca dengan mudah mengaitkan kisah seseorang dalam buku tersebut dengan salah satu kisah dunia. Coba saya daftar unsur cerita apa saja yang bisa saya temukan di Raden Mandasia: Babad Tanah Jawi, Petualangan Sinbad, kisah Nabi Yunus, Nabi Isa, Mahabharata, Ramayana, Legenda Tangkuban Perahu, film Jaws/Meg, Pinokio, Pandemi Black Death, hingga Presiden Jokowi.


Yusi sendiri juga tidak lupa memberikan unsur budaya dalam buku ini. Setidaknya ada sejumlah budaya lokal seperti Jawa, India, Cina, kemudian penari sufi pun ikut mewarnai lembar-lembar RMSPDS. Serunya lagi, penunjukan waktu tidak menggunakan jam melainkan memakai padanan yang selaras dengan latar tempo dulu, seperti sepenanakan nasi, sepenggalan matahari. Untuk ukuran jarak pun juga sama, menggunakan satuan yang umum dipakai zaman kerajaan, misalkan sekian depa atau jaraknya sekian tombak. Oh, tidak ketinggalan, penghadiran kuliner dalam buku ini bisa bikin pingin makan makanan enak yang ada di dalamnya, hahaha.


Sekalipun memuat banyak genre (fiksi sejarah, aksi, fantasi, drama, komedi, roman), Yusi menuturkan ceritanya dalam plot yang asyik untuk dinikmati meski alur yang digunakan maju-mundur serta dialog dan narasi yang sederhana, jenaka, ringan, penuh celetukan konyol, sarkas, serta banyak umpatan-umpatan semacam anjing (sesekali tapir) di sana-sini seolah-olah novel ini layaknya seorang laki-laki yang tengah nongkrong bersama teman-temannya kemudian saling bercerita dan melempar canda dan menanggapinya dengan ha-ha-hi-hi yang diselipi maki-makian nama binatang. 


Sayangnya, saya kurang menyukai sampul novel ini yang cenderung kaku. Padahal saya sudah sangat berhati-hati, tetapi tetap saja tercetak garis melintang di tengah-tengah kover depan dan belakang. Ukuran tulisan serta font terlalu rapat dan kecil sehingga saya sedikit kesulitan saat membaca dalam cahaya yang kurang terang. Belum lagi detail-detail yang keterlaluan detailnya. Dalam pandangan saya, selain makanan, sejumlah bagian memiliki detail yang cukup berlebihan dan itu membuat saya bosan untuk membacanya.


Selain itu judulnya klik bait sekali. Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, tetapi narator utamanya (pov 1) justru tentang Sungu Lembu. Raden Mandasia yang kelakuannya nyentrik (maunya mencuri sapi hidup kemudian dia jagal dan potong-potong untuk mengambil bagian tertentu dan dimakan, selebihnya dia atur kembali seperti semula potongan-potongan daging lainnya dan meninggalkan sekeping koin emas sebagai ganti rugi. Harus sapi curian, tidak mau sapi milik sendiri atau beli) itu tidak terlalu mengambil cukup banyak peran, pencurian daging sapi pun juga tidak berkaitan dengan inti cerita walaupun latar belakang dan tujuan utama Sungu Lembu masih terpaut dengan keluarga kerajaan Raden Mandasia.


Tidak cukup dua hal itu, saya menambahkan jika saya mempertanyakan kemampuan Sungu Lembu. Pada bab-bab awal, dia dikisahkan mendapatkan banyak pelatihan dari sang paman, tetapi entah ke mana kemampuan tersebut, mendadak lenyap dan terus merasa inferior kepada Raden Mandasia. Selain kemampuan antiracunnya, Sungu Lembu tidak lebih dari seorang laki-laki yang beruntung saja di setiap peristiwa dalam novel tersebut.


Hal terakhir yang saya sayangkan yakni peran perempuan. Barangkali karena penulisnya laki-laki maka terkesan bias terhadap perempuan. Dalam buku ini, selain Nyai Manggis yang cukup berpengaruh dalam cerita serta cerdas dalam mengatur taktik untuk mencapai tujuan, sebagian besar perempuan diposisikan sebagai the other, pelengkap, pemuas nafsu. Mereka hanya memiliki satu karir atau peran saja: wanita penghibur. Menyedihkan lagi, Putri Tabssum yang kisahnya diceritakan sedemikian heboh (termasuk saat pencarian suami yang dikisahkan mirip Putri Drupadi saat pertandingan memanah) ternyata hanya sebagai maskot kerajaan semata dan malang sekali matinya konyol. Dewi Sinta pun definisi perempuan egois yang memilih menyelamatkan diri sendiri dengan menggiring suami dan keluarganya ke kematian. Aduh.


Ngomong-ngomong, buku ini penuh dengan bahasa kasar, unsur erotisme nakal, mengandung kekerasan gamblang, dan keganjilan-keganjilan liar lainnya. Oleh karenanya, memang benar jika buku ini menyematkan label dewasa. Bijak-bijaklah dalam membaca, ya.


Jadi … minat baca?


•••


Kutipannya:

Maut tak perlu ditantang, bila waktunya datang ia pasti menang. (Hal. 17)


Kemenangan terhebat dalam pertempuran justru ketika kita tak perlu mengangkat senjata. Masih ada lagi: tak ada senjata yang lebih tajam ketimbang akal, tak ada perisai lebih ampuh ketimbang nyali, dan tak ada siasat yang lebih unggul ketimbang hati. (Hal. 88)


Pengalaman telah mengajarkannya bahwa ia tak boleh merasa terlalu nyaman akan segala sesuatu karena ia tahu bahwa petaka, tanpa pemberitahuan atau persetujuan, bisa menyergap kapan saja. (Hal. 138)


Sesuatu yang sempurna tak punya hasrat lagi mencari. (Hal. 216)


Menulislah, agar hidupmu tak seperti hewan ternak, sekadar makan dan tidur sebelum disembelih. (Hal. 320)


Perasaan tak berdaya memang bisa membuatmu menghasilkan air mata yang cukup untuk mengisi kolam ikan hias. (Hal. 349)


Banyak orang paham memulai perang, tapi tak pernah benar-benar paham bagaimana mengakhirinya. Tujuan awal yang semula terdengar mulia menjadi tak jelas lagi di medan pertempuran. (Hal. 425)


Perang jarang membawa manfaat. (Hal. 430)


Tak ada kesedihan yang melebihi duka orang tua yang ditinggal anaknya. (Hal. 437)


Posting Komentar

0 Komentar