Mabuk agama bisa menyebabkan kehilangan akal dan membunuh nurani.
Identitas buku:
Judul: Lusifer! Lusifer!
Penulis: Venerdi Handoyo
Penerbit: POST Press
Tahun: 2019
Jumlah: 126 halaman
ISBN: 9786026030450
Kategori: novela, fiksi, religi
•••
Blurbnya:
Malam itu banyak hal yang tak semestinya terjadi. Tetapi, apa boleh buat, Lusifer diyakini merasuki tubuh Mawarsaron, si gadis 16 tahun. Tidak ada pilihan lain: si Iblis Segala Iblis harus diusir.
Empat belas anggota Barisan Pendoa berseru-seru, menengking, berbahasa roh, dipadu gaduh suara gitar, mengusir semua kuasa kegelapan. Mawarsaron harus disucikan kembali, dengan cara apa pun. Malam itu, dengan senjata kekuatan iman, perang melawan setan dikobarkan.
Di tengah segala histeria itu, diam-diam, Markus Yonatan mengemban misi lain.
•••
Garis besarnya:
Mawarsaron, gadis berusia enam belas tahun, selain hamil di luar nikah juga menunjukkan manifestasi atau kerasukan setan. Orang-orang percaya jika Mawarsaron telah dihinggapi roh perzinaan dan mengandung anak Lusifer. Empat belas anggota Barisan Pendoa bermaksud melakukan pelepasan sebagai upaya mencegah bayi Lusifer lahir.
•••
Resensinya:
“Makaramata - rapatarapatrarapatara - patapata! Huuuriakaramatarapatapata …! Dalam nama Yesus!” (Hal. 114)
Pernah menonton (atau mendengar atau sekadar tahu) film The Exorcism atau The Conjuring? Kisahnya seputar pengusiran setan atau eksorsis. Nah, dalam novel yang akan saya resensi kali ini pun premisnya tidak jauh-jauh dari hal tersebut.
Luar biasa! Lusifer! Lusifer! merupakan buku pertama bernuansa religi selain Islam yang bisa saya selesaikan dalam sekali duduk. Ceritanya benar-benar mengingatkan saya perihal: mabuk agama alias fanatisme beragama.
Novel ini bisa saya sebut berbeda sebab menggunakan agama Kristen sebagai latarnya (jarang-jarang ada penulis yang mengambil sudut pandang agama selain Islam) dan tema yang digunakan pun sangat akrab di lingkungan sekitar bahkan gemanya barangkali bakal bertahan sampai tahun-tahun mendatang. Makanya, buku ini termasuk menarik dan berani. Buku yang sangat dekat dengan kita semua.
Lusifer! Lusifer! merupakan novel yang memotret fenomena ketaatan beragama yang secara spesifik memberikan gambaran atas perilaku fanatisme beragama sampai-sampai membuat seseorang melupakan kemanusiaannya. Melalui kisah Markus dan Mawarsaron pembaca dapat memikirkan sekaligus merenungkan kembali bagaimana cara kita dalam beriman dan berkeyakinan kepada Tuhan dan kepada sesamanya. Kerap kali agama masih menjadi standar moral sosial masyarakat atas baik dan buruk, benar dan salah.
Novel tipis ini menyajikan betapa orang-orang yang mabuk agama cenderung menggunakan identitas agamanya untuk melabeli dan membedakan dirinya dengan orang lain, mengabaikan pendapat orang lain yang berseberangan, tidak menyukai hal-hal yang bersifat keduniawian, kolot, sedikit-sedikit membawa surga, sedikit-sedikit yang tidak sesuai ajaran agama dianggap sesat, terus-menerus mengingatkan untuk kembali ke jalan yang benar, berhak mengadili satu sama lainnya dengan kompas hitam atau putih, bahkan memandang rendah orang lain padahal mereka seiman. Familiar sekali, kan … hahaha. Apa pun makanannya agamanya, permasalahannya ternyata sama saja.
Selain fanatisme, Venerdi Handoyo pun menyisipkan kritik sosial lain yang tidak kalah menamparnya. Sebut saja: adanya politik kepentingan siapa yang pantas menjadi pemimpin pada struktur jemaat gereja; doktrin-doktrin agama yang masif; pengabaian anak/remaja akibat orang tuanya yang terlalu sibuk dalam urusan agama sehingga sang anak memberontak, padahal anak tersebut hanya ingin diperhatikan dan didengarkan (lucunya, orang tua anak itu bukannya family time malah mendoakan dan memberinya ayat-ayat Al Kitab, meminta sang anak untuk bertingkah laku sesuai nama yang dimiliki, dan mengingatkan untuk menjaga nama baik orang tua); adanya orang yang tidak terlalu memedulikan agama dan bisa bersikap bijak atas banyak hal; ada juga orang yang masih mencari-cari atau bertanya-tanya atas keyakinannya malah diduga ketempelan roh jahat dan serta merta lantas didoakan.
Meskipun saya asing dengan agama Kristen, Venerdi Handoyo mampu menarasikan terminologi ajaran tersebut dengan kalimat yang mudah dipahami selain pilihan diksinya yang sederhana sehingga saya tidak mengalami kesulitan dan terus mengikuti kisahnya sampai akhir. Buku ini bisa dinikmati oleh siapa saja, tidak terbatas pada pemeluk agama Kristen semata. Sangat direkomendasikan untuk mereka yang merasa suci sementara yang lain tidak, hahaha.
Minat baca?
•••
Kutipannya:
Apakah menghindari bahaya adalah ciri-ciri penakut? Apakah semua penantang bahaya pasti pemberani? Apakah menaati tata tertib berarti pengecut? Apakah syarat menjadi jagoan adalah berbuat onar? (Hal. 12)
Saya berbeda karena kurang rohani, atau saya tidak bisa jadi lebih rohani karena saya berbeda sejak dulu? (Hal. 16)
Kalau mendoakan anak kalian sendiri saja gagal, bagaimana kalian bisa mendoakan orang lain dengan baik? (Hal. 24)
Saya berikan kamu ruang untuk mencoba, untuk melakukan kesalahan. Tanpa itu manusia tidak bisa bertumbuh. (Hal. 31)
Bahwa memaafkan diri sendiri memang sulit dilakukan Bahwa kalau tidak berdamai dengan diri sendiri, bagaimana mungkin kita bisa berdamai dengan orang lain? (Hal. 47)
Kalau tidak dipikirkan dan tidak dibanding-bandingkan dengan suasana ramai, sebenarnya kesepian itu tidak ada rasanya. Saya hanya sendirian. Sendirian tidak selalu berakibat kesepian. Sendirian, bukan berarti tidak bahagia. (Hal. 48)
Manusia bisa salah. Manusia sering salah. Semua begitu. Mereka, aku, kamu. Sama saja. Memang ada hukum negara dan undang-undang yang menentukan mana yang salah dan tidak. Tapi, di antara kita sendiri siapa yang punya hak buat menentukan benar dan salah? Siapa yang punya hak menjadi hakim? Apakah kamu atau aku berani bilang bahwa anak-anak pendeta yang todong-todongan pistol itu lebih banyak salahnya daripada kita? Apakah kita berani menggunakan diri kita sendiri sebagai tolok ukur kebenaran? (Hal 60-61)
Kalau iman membuat kita merasa tidak bercacat cela maka kita sudah jauh tersesat. (Hal. 61)
Kita memang bersaudara dalam Tuhan dengan mereka, tapi bukan berarti kita berhak mencampuri urusan keluarga mereka … Mendukung teman yang ada dalam masalah bukan berarti mencampuri urusannya. (Hal. 85)
.webp)
0 Komentar