Tahun Penuh Gulma


Ketika pemerintah bertindak layaknya gulma.

•••

Identitas buku:

Judul: Tahun Penuh Gulma

Penulis: Siddhartha Sarma

Penerjemah: Barokah Ruziati

Penerbit: Marjin Kiri

Tahun: 2018

Jumlah: 247 halaman

ISBN: 9786020788104

Kategori: novel, fiksi, konflik agraria, lingkungan


•••


Blurbnya:

Peraih Neev Book Award 2019 kategori Young Adults


Korok hidup di desa kecil suku Gondi di negara bagian Odisha, India. Bocah putus sekolah yang masih berusia belasan ini sehari-hari bekerja sebagai tukang kebun yang terampil. Sedangkan Anchita, putri seorang pejabat pindahan, menempati rumah tempat kebun yang dirawat Korok berada.


Suatu hari mereka berdua mendengar rencana perusahaan dan pemerintah untuk menambang bukit yang disakralkan oleh suku Gondi. Orang-orang desa menentang rencana penambangan ini, tetapi mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan.


Apakah yang bisa diperbuat tukang kebun remaja yang tak tahu banyak tentang dunia luar, bersama seorang gadis remaja dengan komputer, untuk menghadapi orang-orang dewasa yang paling berkuasa ini?


•••


Resensinya:

Pada awalnya saya tidak punya ekspektasi apa pun terhadap novel ini tatkala membaca blurb. Bahkan tulisan peraih Neev Book Award 2019 kategori Young Adults pun saya abaikan (saya sebenarnya cenderung kurang menyukai genre YA). Namun, karena penerbitnya Marjin Kiri saya meyakini bahwa ceritanya pasti bagus. Dalam pikiran saya sebelum membaca halaman demi halaman, novel ini menyinggung perkara isu lingkungan atau konflik agraria. Dan ternyata … usai menamatkan buku ini sang penulis sukses membuat saya tercengang akan dua hal. Yang pertama, saya merasa ceritanya yang bergenre YA ini malah kurang pas sebab kisah di dalamnya sangat-sangat-sangat kompleks lagi penuh intrik. Hal kedua … nanti saya tuliskan di akhir-akhir resensi saya, ya.


Tahun Penuh Gulma, sebuah novel remaja India yang kaya akan intrik dan polemik khas negara berkembang. Ceritanya tidak sekadar berpusat pada isu lingkungan yakni penambangan bukit, melainkan juga permasalahan sosial, struktur kuasa, politik birokrasi, kepercayaan, sampai konflik agraria.


Kisah pemerintah yang berencana menambang suatu kawasan yang disakralkan oleh suatu suku sebenarnya jamak terjadi dan terasa sangat dekat dengan kita-kita juga, kan. Barangkali kita akrab dengan pemberitaan sengketa lahan oleh pemerintah dengan masyarakat. Nah, konflik agraria inilah yang menjadi tema besar novel ini.


Sepanjang membalik halaman demi halaman, pembaca bakal menyelami situasi suku Gondi yang pada awalnya tidak berdaya melawan pemerintah kemudian dengan segala keterbatasan yang dimiliki tetap berjuang melawan ketidakadilan. Siddhartha piawai menuliskan betapa pentingnya tanah bagi masyarakat setempat dan kehilangan atau penambangan itu dapat memengaruhi kehidupan mereka. Seperti kehilangan bumi pertiwi, tempat tinggalnya, sebab di sanalah mereka dilahirkan hingga menjadi tempat kepercayaan suku asli. 


Di sisi lain, pembaca juga bakal menemukan cara-cara licik pemerintah untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ketika birokrasi bertemu dengan pengusaha maka yang terjadi hanya satu: kapitalisme. Para penguasa benar-benar saling bahu-membahu menghalalkan segala cara agar tujuan mereka tercapai dan tidak peduli akan nasib masyarakat terdampak. Kebobrokan birokrasi bahkan sudah terjadi di lembar-lembar awal novel ini. Sebut saja ayah Korok yang dipenjara tanpa putusan sidang yang jelas; kepolisian yang abai dan tidak hadir sebagai pengayom dan pelindung keamanan, malah menciptakan hukum suka-suka gue; lembaga pengadilan yang bisa dipesan; hukum yang bisa dibeli; polisi menindak masyarakat sipil tanpa alasan yang jelas; bahkan Siddhartha dengan baik menguraikan skenario-skenario yang digunakan pemerintah untuk mendapatkan perbukitan seperti menjanjikan mereka pekerjaan dan penghidupan layak, menghubungkan dengan kelompok ekstremis agar simpati publik meredup dan menjadi antipati; menangkap orang-orang berpengaruh dalam suku tersebut lalu memenjarakan mereka tanpa persidangan; memanipulasi data permukaan air agar tidak mendapat bantuan dari pemerintah saat kekeringan, sampai menggunakan kekuatan media. 


Semua itu demi mendapatkan keuntungan yang bahkan tidak perlu repot-repot meninjau bahkan memikirkan kerusakan ekologinya atau ketidakseimbangan siklus makhluk hidup di dalamnya. Tidak ketinggalan Siddhartha juga menyentil para politikus yang mendadak hadir untuk menyampaikan dukungannya kepada suku Gondi, pun para relawan yang sesungguhnya tidak berarti-arti amat bagi masyarakat suku.


Sangat menarik dan seru sekali membaca buku ini. Pertarungan antara pemerintah dan suku Gondi tergambar begitu jelas dan rapi. Detail-detail saling melancarkan strategi antara dua kubu berseberangan tersebut tidak berlebihan. Porsi penceritaan antara sudut pandang suku Gondi dengan pemerintah pun seimbang, tidak tumpang tindih. Semua tokoh pun memiliki peran dan porsinya masing-masing. Kolaborasi antara dua remaja, Korok yang putus sekolah dan Jadob yang berpendidikan, terasa pas.


Saya senang dengan cara Siddhartha menyusun novel ini. Kisah ini ditulis dalam bab-bab berupa bulan demi bulan. Sebagaimana judulnya, upaya pemerintah dalam perebutan lahan diibaratkan sebagai serangan tanaman pengganggu dalam rentang satu tahun. Gulma yang lebih menyukai menggerogoti inangnya dengan menyerap unsur hara laksana perusahaan dan birokrasi parasit yang mencengkeram wilayah tertentu. Bahkan tatkala musim hujan atau dingin menerpa, gulma sekalipun telah dibasmi bakal tumbuh kembali. Sama halnya dengan kapitalisme yang bakal terus ada.


Lebih salut lagi dengan terjemahan bukunya yang sukses membuat tema konflik sosial yang begitu kompleks ditambah plot berlapis tetap bisa diceritakan dengan baik, dengan gaya yang ringan, diksi sederhana, dan enak dibaca. Membuat saya bisa menamatkannya dalam sekali duduk.


Nah, saya sudah menyampaikan hal pertamanya. Sekarang saya beberkan alasan kedua yang membuat saya tercengang.


Saya menanti-nanti aksi Korok dan Anchita sebab dalam blurb nama kedua tokoh tersebut muncul. Namun sayangnya, alih-alih saya mendapatkan duo tersebut beraksi, malah nyaris tidak ada selain perihal percakapan kue dan kue. Kebanyakan malah aksi Korok, Jadob, dan Anchita sendiri-sendiri. Kemudian saya terkejut dengan tokoh Korok yang telah putus sekolah itu sedari awal berkarakter mudah sekali bingung dan tidak paham dengan ucapan sejumlah tokoh mendadak bisa mengeluarkan ide cemerlang. Jelas saya kaget dengan perubahan yang mendadak. Rasanya ganjil. Kok seperti melihat film India pada umumnya, hahaha. Saya memahami Siddhartha hendak menyampaikan bahwa semangat Korok adalah semangat perlawanan menuntut keadilan serta semangat menempatkan demokrasi sebagaimana mestinya.


Meski demikian, mengesampingkan hal tersebut, secara keseluruhan novel ini bagus. Isu berat perihal perampasan lahan serta konflik sosial lainnya menjadi ringan dan bisa dinikmati serta mengajak pembacanya untuk menjadi lebih kritis. Buku ini bisa dibaca mulai dari remaja hingga dewasa.


Tertarik baca?


•••


Kutipannya:

“Terlambat” dan “lebih awal” adalah kata-kata yang hanya bisa digunakan jika kita punya jam tangan. (Hal. 1)


Kadang-kadang, yang terbaik adalah jika pemerintah melupakan kita. (Hal. 40)


Perusahaan-perusahaan seperti ini, mereka seperti gulma. Kita tidak bisa menghentikannya kalau mereka mau mengambil alih. Mereka kompak, penuh tekad, sangat kuat, dan punya banyak uang... Kalau mereka menginginkan petak bungamu atau desamu atau bukitmu, mereka akan mendapatkannya. Pemerintah akan memaksamu pindah dan memberikan tanahnya kepada mereka. (Hal. 49)


Gulma tak pernah menjadi kabar baik bagi sebuah kebun. (Hal. 50)


Itu kelakuan pemerintah, bukan? Menyembunyikan banyak hal dan berpura-pura tidak akan ada yang tahu. (Hal. 63)


Kalau ada yang menyakiti kita, kita harus membalas. Jangan malah duduk di pojok dan memandangi tembok. Kalau seperti itu, apa bedanya kau dengan kambingmu? (Hal. 91)


Betapa … ironis, tepatnya. Sumber daya paling berharga biasanya ditemukan di bawah kaki orang-orang yang sepertinya tidak membutuhkannya. Lebih buruk lagi, mereka biasanya orang-orang yang lebih membutuhkan tanah ketimbang apa yang ada di dalamnya. Dan tambah ruwet lagi, kadang-kadang tanah tersebut punya arti lebih bagi mereka daripada sekadar tempat bertani dan menjalani hidup. Kadang-kadang ada leluhur yang dikuburkan di sana, di lain waktu ada dewa-dewa dan legenda. Namun, dan tidak kurang ironisnya, urat-urat terbaik dari sumber daya ini berada di bawah tanah suku-suku adat. (Hal. 131-132)


Siapa saja bisa melawan pemerintah kalau mau. Namun tidak akan pernah ada yang menang melawan pemerintah. (Hal. 136)


Di penjara tidak sama dengan menjadi penjahat, bukan? (Hal. 154)


Orang tidak selalu melihat sesuatu dengan cara yang sama. (Hal. 189)


Satu-satunya orang yang benar-benar bisa mereka percaya dan selalu dapat diandalkan, adalah diri mereka sendiri. (Hal. 246-247)


Posting Komentar

0 Komentar