Identitas buku:
Judul: The Stranger
Penulis: Albert Camus
Penerbit: Penerbit Mizan
Tahun: 2022
Jumlah: 156 halaman
ISBN: 9786024413002
Kategori: novel, fiksi, filosofi.
•••
Blurbnya:
Meursault, seorang Prancis yang tinggal di Aljazair, menerima telegram tentang kematian ibunya di wisma lansia di luar kota. Dia menghadiri pemakaman ibunya, tetapi tanpa tangisan dan kesedihan.
Beberapa hari kemudian, dia menembak seorang pria Arab di pantai tanpa alasan yang jelas. Meursault ditangkap dan diadili. Dia dijatuhi hukuman mati, tidak hanya karena membunuh pria Arab, tetapi juga atas kegagalannya menunjukkan kesedihan di pemakaman ibunya.
Melalui kisah Meursault, Camus mengeksplorasi apa yang disebutnya ketelanjangan manusia ketika dihadapkan pada yang absurd. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia dan dianggap sebagai salah satu maha karya sastra abad ke-20. Novel ini menempati peringkat ke-1 dalam 100 buku paling berkesan abad ke-20 versi Le Monde.
•••
Resensinya:
Hari ini Ibu meninggal. Atau mungkin kemarin, aku tak tahu. Aku menerima telegram dari wisma lansia: “Ibu meninggal. Dimakamkan besok. Turut berdukacita.” Tak ada penjelasan lebih lanjut. Mungkin Ibu meninggal kemarin. (Hal. 7)
Saya berhenti cukup lama sewaktu membaca paragraf pertama The Stranger sebelum membacanya kembali kali kedua. Aneh, batin saya. Si Aku tidak yakin kapan ibunya meninggal bahkan menyimpulkan sendiri ibunya meninggal kemarin usai membaca telegram. Kesan saya dengan paragraf tersebut membuat saya menebak-nebak kalau kisah The Stranger bakal absurd dengan tokoh utama yang cenderung bodoh amat. Yah, memang begitulah cerita tersebut bergulir, meski kata bodoh amat tidaklah tepat untuk mendeskripsikan karakter utamanya.
Sebelumnya saya mau menyampaikan bahwa The Stranger merupakan perkenalan pertama saya kepada Albert Camus meski sesungguhnya nama Camus sudah kerap saya dengar. Dalam meresensi buku ini saya tidak akan menyinggung filsafat yang Camus yakini—meskipun banyak resensi yang menuliskan demikian—sebab saya awam dengan hal tersebut. Saya akan meresensi berdasarkan pengalaman membaca bukunya saja. Jika kesimpulannya adalah salah satu-dua-tiga aliran filsafat … silakan simpulkan sendiri, ya.
The Stranger, dalam pandangan saya, merupakan sebuah karya yang mengulik alienasi seseorang dalam bermasyarakat. Buku ini penuh dengan hal-hal fundamental atas hidup dan kehidupan, eksistensi manusia, Tuhan, dan kematian.
Melalui tokoh utamanya, Meursault, Camus mengajak pembacanya untuk menilik kembali kehidupan sosial manusia yang berada di antara norma-norma kemasyarakatan yang kerap kali dituntut—secara langsung/tidak langsung, secara sadar/tidak sadar—untuk berperilaku seperti yang masyarakat biasa lakukan atau harapkan.
Dalam buku ini diceritakan jika Meursault tidak bersikap layaknya orang-orang lakukan atau dia menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Sebut saja alih-alih bersedih/meneteskan air mata tatkala ibunya meninggal, dia malah memikirkan cuaca panas, merokok, minum kopi, tertidur, dan sesegera mungkin perkara pemakaman itu selesai. Tidak cukup keesokan harinya Meursault malah pergi berenang dan bercinta dengan teman perempuannya alih-alih berduka. Lantas Meursault membunuh orang Arab bukan karena orang tersebut merupakan musuh temannya, melainkan karena silaunya matahari.
Apakah aneh sikap yang ditujukan Meursault?
Coba kita menengok sekeliling, barangkali ada seseorang yang melakukan hal yang sama. Misal, alih-alih bersedih dengan kematian seseorang, dia malah terlihat tenang-tenang saja atau biasa saja. Hanya saja, kebanyakan masyarakat merasa sikap tersebut sebagai anomali. Mungkin mengecamnya karena tindakan tersebut tidak mengikuti tindakan masyarakat umumnya. Tidak berperilaku sebagaimana yang mereka asumsikan sebagai hal yang seharusnya, yang dianggap benar. Bahkan besar kemungkinan orang tersebut jadi bahan pembicaraan di belakang layar, hahaha. Meski demikian, perhatikan lebih teliti lagi, seseorang yang menjalani hidup dengan lempeng-lempeng saja, tanpa memedulikan makna atau apa pun yang terjadi di sekitar hampir selalu ada.
Seseorang dalam merespon sesuatu itu, kan, macam-macam. Manusiawi saja Meursault memilih bersikap demikian, bereaksi terhadap hal-hal yang terjadi dalam hidupnya. Orang-orang nantinya tiada, lantas apa istimewanya? Mati merupakan hal wajar. Kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Semua kejadian juga biasa saja, tidak berarti apa-apa, kok. Seseorang bisa digantikan oleh keberadaan orang lain. Toh, hidup bakal terus berjalan. Dunia itu absurd, mau berusaha apa pun dunia juga tidak akan berbeda, masih sama, tidak berpengaruh. Jalani hidup dengan biasa saja, tidak perlu dimaknai yang berlebihan. Dunia ini penuh dengan ketidakbermaknaan.
Saya beranggapan itu bukan sikap apatis terhadap hidup atau putus asa atas dunia atau tidak memiliki pegangan dalam menjalani hidup atau abai dengan nilai-nilai sosial. Saya menyukai cara sang tokoh utama yang memilih hidup sesuai dengan dirinya, memaknai hidup berdasarkan asumsinya sendiri, memilih untuk tidak terlalu peduli pada apa pun sebab semua itu tidak ada artinya. Meski demikian, dirinya menyadari jika pilihan tersebut membawa konsekuensi dianggap aneh oleh sekitar, dianggap asing dalam masyarakat, dianggap memisahkan diri.
Meursault adalah gambaran manusia yang mengesampingkan emosinya, dingin, lagi teguh pendirian. Dia benar-benar terbebas dari nilai atau norma sosial, tidak memusingkan harus bersikap seperti apa demi ekspektasi masyarakat, tidak perlu berbicara atau berperilaku dengan cara tertentu menurut standar sosial. Sebab dunia tidak bermakna, maka dirinyalah yang harus hidup menurut versi dirinya, berada dalam kendalinya, memilih dan memikul tanggung jawab atas pilihannya. Bukan orang lain.
Kehidupan Meursault yang terkesan berbeda dan asing bagi kebanyakan orang pun dalam pandangan saya kurang tepat. Toh, pada lembar-lembar akhir cerita dituliskan jika dia memikirkan sejumlah nama yang melintasi hidupnya serta teman perempuannya yang setia menjenguk dan memikirkannya. Saya berpendapat jika Meursault sebenarnya juga memiliki ikatan sosial juga.
Kejanggalan dunia dalam The Stranger juga terjadi tatkala Meursault diadili bukan karena pembunuhan, melainkan karena karakternya yang tidak biasa: tidak menangis di pemakaman ibunya, tidak berduka malah nonton bioskop, berteman dengan orang yang dinilai jahat oleh sekelilingnya. Bayangkan, penghukuman yang diberikan karena sikap yang tidak menunjukkan sebagaimana masyarakat biasa lakukan. Perilaku yang berbeda membuat Meursault dianggap orang asing bagi sekitar, dianggap liyan dan tidak logis.
Selain absurdnya hidup di dunia, Camus turut menyoroti kehidupan manusia yang paradoks: mencintai sekaligus membenci sesuatu. Kalau dalam buku ini dikisahkan salah satu tetangga Meursault yang memiliki seekor anjing. Dia menyiksanya, tetapi tatkala anjingnya hilang, sang tetangga merindukan anjingnya. Manusia kerap melakukan hal-hal demikian, bukan? Menjalani sesuatu secara kontradiktif dalam kehidupan sehari-hari.
Ada hal yang membuat saya geregetan sewaktu membaca buku ini, yakni sewaktu proses persidangan Meursault dan selama dia di penjara. Pada persidangan, ada satu bagian tatkala Meursault menggugat (dalam pikirannya) ketika pengacara berbicara atas nama dirinya dan JPU tidak meminta pendapatnya terhadap kasus yang menimpanya. Di situ, saya menilai Camus ingin menyebut eksistensi manusia yang sengaja dikerdilkan, dimatikan, ditiadakan. Namun … namun, mengapa pula pada akhirnya Camus mengembalikan perasaan tidak terima tersebut menjadi tidak berarti apa-apa dan memilih bersikap pasif sebab protes pun tidak akan mengubah apa pun. Mengapa tidak memilih aktif membela diri. Duh! (Tapi saya lantas tersadar jika ini adalah kisah Meursault, maka … ya begitulah dia, hahaha)
Satu lagi, dan ini yang membuat saya sempat kesal: ketidakpercayaan Meursault terhadap Tuhan. Bagi saya, mau menjalani hidup ala Meursault yang antimainstream dalam bermasyarakat tidak jadi soal, tetapi jika tidak meyakini serta menolak Tuhan itu menjadi lain perkara. Yah, ini kembali ke masing-masing, ya, saya hanya menyesalkan saja. Dan sikap demikian benar-benar makin mengukuhkan jika hidup memang seaneh itu. Merasionalkan dunia dan keberadaan serta kebenaran Tuhan pun tetap tidak akan bisa. Semua bakal tetap tidak berarti apa-apa dan akan mati juga akhirnya.
Saya menyenangi Camus menyusun The Stranger dengan menggunakan sudut pandang orang pertama sehingga pembaca bakal lebih dalam menyelami seperti apa kehidupan Meursault, pola pikir, emosi, dan keputusan-keputusannya. Diksi yang digunakan dalam buku ini sederhana dan mudah dibaca. Gaya bahasanya pun mengalir sampai tahu-tahu sudah sampai lembar terakhir.
Novel ini sangat cocok untuk dewasa muda sebab memerlukan pemikiran mendalam maupun buat yang ingin memiliki pandangan lain terhadap hidup atau penggemar cerita dengan plot ringan, tetapi sarat filosofi.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Orang cuma punya satu ibu. (Hal. 8)
… kita tak boleh terlalu terbebani keadaan. (Hal. 45)
Bahwa manusia tak pernah bisa mengubah hidupnya, bahwa bagaimanapun juga semua kehidupan sama saja, dan aku sama sekali tak membenci hidupku di sini. (Hal. 56)
Semua manusia normal pasti pernah sedikit banyak berharap orang yang mereka sayangi meninggal dunia. (Hal. 84)
Tak ada manusia yang terlalu berdosa sehingga tak mungkin mendapat pengampunan-Nya, tapi untuk itu manusia harus melakukan pertobatan, menjadi seperti anak yang jiwanya kosong dan siap menerima segalanya. (Hal. 88-89)
Pada akhirnya kita akan terbiasa dengan apa pun. (Hal. 99)
Aku menyadari bahwa seorang manusia yang sebelumnya hanya hidup sehari dapat dengan mudah hidup seratus tahun di dalam penjara. Dia punya cukup banyak ingatan sehingga tak akan merasa bosan. Dalam makna tertentu, itu suatu keuntungan. (Hal. 102)
Dulu, sering kubaca bahwa di dalam penjara, pada akhirnya kita akan kehilangan kesadaran tentang waktu. (Hal. 103)
Aku tak paham mengapa kemampuan alamiah seorang manusia bisa menjadi bukti memberatkan bagi seseorang yang bersalah. (Hal. 127)
Manusia tak mungkin mengalami kenestapaan mutlak. (Hal. 143)
Pada dasarnya, aku paham bahwa tak ada bedanya mati umur 30 atau 40 tahun, karena pasti dalam kedua kasus itu, orang-orang lain akan terus hidup, dan seperti itulah yang berlangsung ribuan tahun. Sungguh, tak ada fakta yang lebih jelas. Entah sekarang atau dua puluh tahun lagi, tetap aku yang akan mati. (Hal. 144)
Jelas bahwa ketika kita mati, masalah bagaimana dan kapan tidaklah penting. (Hal. 144)
Menurutku itu wajar, karena aku tahu pasti, orang-orang akan melupakanku setelah aku mati. Mereka tak punya urusan lagi denganku. (Hal. 146)
Bagaimanapun, bisa saja aku tak yakin tentang apa yang menarik perhatianku, tapi aku sungguh yakin tentang apa yang tak menarik bagiku. (Hal. 148)
Aku tak mengharap pertolongan siapa pun dan aku benar-benar tak punya waktu untuk hal-hal yang tak menarik bagiku. (Hal. 148-149)
Keadilan manusia tak berarti apa-apa, sedangkan keadilan Tuhan adalah segala-galanya. (Hal. 150)
.webp)
0 Komentar