Nyai Gowok

Panduan membahagiakan perempuan.


•••


Identitas buku:

Judul: Nyai Gowok

Penulis: Budi Sardjono

Penerbit: DIVA Pres

Tahun: 2014

Jumlah: 330 halaman

ISBN: 9786022557210

Kategori: novel, fiksi sejarah, seksualitas


•••


Blurbnya:

Dalam tradisi masyarakat Jawa tempo dulu, seorang remaja lelaki yang sudah disunat akan menjalani beberapa prosesi. Salah satunya adalah nyantrik pada seorang gowok. Gowok adalah perempuan yang akan mendidik remaja lelaki agar mengenal tentang seluk-beluk tubuh perempuan.


Konon, sebelum sampai di Jawa, gowok adalah tradisi dari istana di Tiongkok. Di Jawa, seorang wanita bernama Goo Wook Niang-lah yang mula-mula memperkenalkan cara mendidik remaja lelaki yang akan beranjak dewasa dengan diajak tinggal di rumahnya. Karena lidah orang Jawa sulit untuk melafalkan nama Goo Wook Niang, akhirnya mereka menemukan istilah yang mudah diingat, yaitu gowok.


Bagus Sasongko, seorang remaja lelaki yang baru saja disunat, anak seorang wedana di Randu Pitu, akan “diserahkan” pada Nyai Lindri. Seorang gowok. Melalui wanita inilah, Bagus Sasongko akan dididik menjadi lelaki dewasa.


Perjalanan Bagus sasongko bersama Nyai Lindri membawa keduanya pada hubungan yang unik, penuh kasih, juga intrik yang datang dari seorang lelaki teman ayah Bagus Sasongko. Laki-laki yang sangat menginginkan Nyai Lindri.


Sebuah novel yang memotret budaya Jawa tempo dulu.


•••


Resensinya:

Sebagai orang yang tinggal di Jawa Tengah, apalagi sempat cukup lama di pesisir selatan Jawa, terus terang saya baru tahu ada tradisi gowokan. Dari beberapa literatur yang saya baca, profesi gowok pernah ada di Purworejo dan Banyumas pada tahun 1930-an. Kemudian makin ke sini pekerjaan tersebut seolah lesap tergerus waktu. Entah. Mungkin masih ada, bisa juga tidak. Setahu saya dari sejumlah literatur tersebut menyebutkan kalau gowok tenggelam oleh nilai-nilai sosial masyarakat (seksualitas menjadi hal tabu, menyamakan gowok dengan pelacur) serta berkembangnya agama Islam.


Makanya ketika saya membaca Nyai Gowok ini, saya lebih banyak manggut-manggut, wkwkwk, karena selain baru ngeh ada profesi tersebut pada masanya, saya mendapat pembelajaran perihal tubuh perempuan yang terkadang perempuan sendiri kurang memahaminya serta cara menyenangkan perempuan. Bisa jadi buku panduan, nih, besok buat pasangan, hahaha.


Nyai Gowok sebuah novel yang mengangkat tradisi masyarakat Jawa tempo dulu, yakni nyantrik atau proses belajarnya remaja laki-laki akil balig pada seorang wanita (gowok) perihal tubuh wanita dan seksualitas. Boleh saya katakan bahwa novel yang mengangkat tema-tema pembelajaran seksualitas/serba-serbi seksual (bukan erotis, lho. Tolong dibedakan!) termasuk ranah yang jarang disentuh penulis. Selain itu, jika biasanya objek seksualitas adalah kaum perempuan, dalam buku ini justru laki-lakilah yang menjadi objeknya.


Barangkali sejumlah pembaca akan mengernyit jika mengetahui kalau dulu … ada seorang wanita yang mengabdikan dirinya untuk menjadi guru seksualitas bagi remaja yang barusan disunat. Terdengar ganjil mungkin, soalnya kalau kaitannya dengan hubungan seksual, kayaknya laki-laki dan perempuan lebih banyak mengikuti nalurinya, deh, jadi semacam sudah tahu apa yang harus dilakukan.


Namun menariknya, novel ini justru banyak mengulik perihal cara-cara menjadi lelananging jagad atau lelaki sejati alias pejantan tangguh. Yang bagaimanakah itu? Mereka yang disebut lelananging jagad adalah laki-laki yang bertanggung jawab kepada istrinya, tidak hanya menafkahi secara lahir (sandang, pangan, papan), melainkan juga batin (membahagiakan sang istri). Oleh karenanya, laki-laki harus tahu dan paham cara menyenangkan wanita, membahagiakannya lebih dulu baru kepuasan dirinya terpenuhi. Di situlah peran gowok dibutuhkan. Dan dalam buku ini pula dibeberkan sejumlah tip dan trik membuat wanita puas dan bahagia.


Wah, berarti sesuai dengan subjudul, dong: Kamasutra. Oh … tidak, tidak. Meski menyematkan subjudul yang terbaca legit dan bikin pikiran melayang-layang kalau bukunya bakal berisi sebelas dua belas kayak kamasutra India, tetapi novel ini tidak demikian. Novel ini cukup santun untuk label Kamasutra dari Jawa, hahaha. Trik pemasaran penerbit. Anggap saja demikian.


Sebagaimana telah saya tulis di awal, melalui novel ini, pembaca bakal menemukan referensi singkat tentang gowok yang, konon, berasal dari Tiongkok maupun tip dan trik seks yang baik, ada ramuan tradisional, makanan tertentu, gaya bercinta, mantra dan tembang perihal cinta dan Tuhan.


Selain itu, dari buku ini pula, pembaca akan mendapati dua sudut pandang perihal hubungan seksual dari dua tokoh penting yang ada dalam buku ini:


Yang pertama dari Bagus Sasongko selaku tokoh utamanya. Dia diajarkan untuk menghormati wanita dan memandang seksualitas bukan sekadar nafsu semata yang pas kepingin langsung tancap-eksekusi-selesai. Oleh Nyai Gowok, Bagus Sasongko belajar untuk tidak menuruti hawa nafsu, menahan nafsu dan mengontrolnya, menghormati tubuh wanita, belajar melayani dan memuaskan wanita untuk mencapai kebahagiaan. Lelananging jagad.


Sementara yang kedua datangnya dari Lurah Juwiring sebagai tokoh antagonis. Oleh Budi Sardjono, Lurah satu ini digambarkan sebagai laki-laki yang lebih menuruti nafsunya, menggunakan beragam cara agar gairahnya tersalurkan, termasuk menggunakan klenik. Wanita dalam kacamata Lurah Juwiring hanyalah objek pemuas semata dan hubungan seksual bersifat transaksional, sebatas untuk bersenang-senang.


Meski demikian, ada beberapa hal yang membuat saya cukup terganggu untuk menamatkannya. Pertama, saya sempat mengalami kejenuhan pada bab-bab awal sebab alurnya yang lambat dan berputar-putar pada gejolak pasca-sunat Bagus Sasongko sewaktu nyantrik


Kedua, pengulangan-pengulangan kata dan kalimat yang dalam pandangan saya terlalu berlebihan dan kebanyakan membuat saya bosan dan akhirnya melompati narasi dimaksud. Contohnya Bagus Sasongko yang terobsesi pada titik kepuasan wanita berkulit hitam ada pada paha. Sedikit-sedikit paha-paha-paha. Lain halaman paha-paha-paha lagi. Novel ini mencantumkan beberapa tembang Jawa dan itu diulang-ulang lagi sampai satu halaman. Lirik-liriknya, mantra-mantranya tertulis plek ketiplek tiplek atau copas.


Ketiga, saya kurang menyukai penggunaan “He he” sebagai pengganti tawa. Entah mengapa rasanya wagu. Saya tidak paham mengapa Budi Sardjono tidak menuliskan: tawa si anu, kekeh si ini, senyum si ono alih-alih “He he he”. Duh … momen yang sejatinya serius berubah menjadi aneh. Saya merasakannya demikian. Berikutnya, kisah selipan tentang Nyai Bayak Abang dan Pangeran Diponegoro yang menyita beberapa halaman dan itu tidak berkaitan dengan cerita. Saya rasa seandainya kisah tersebut dihapus pun novel ini masih pada plot utamanya dan tidak terpengaruh.


Terlepas dari kekurangannya, novel ini tetap asyik untuk dinikmati. Banyak selipan-selipan budaya Jawa serta makna dari tembang-tembang Jawa di dalamnya. Menggunakan diksi yang sederhana membuat buku ini ringan dan tidak sulit dipahami sekalipun ada istilah Jawa, tetapi penulis memberikan catatan kaki di bawahnya.


Novel ini saya rekomendasikan untuk usia dewasa. Yang masih remaja, tahan diri dulu, ya.


Tertarik baca?


•••


Kutipannya:

Tidak baik orang sudah berumah tangga tetapi masih tinggal bersama orangtua. (Hal. 20)


Seorang lelaki harus pintar-pintar memperlakukan istrinya supaya memperoleh kepuasan saat menerima nafkah batin itu. (Hal. 20)


Karena setiap inci dari tubuh seorang wanita harus diperlakukan berbeda dengan bagian tubuh yang lain. Dengan mengetahui katuranggan wanita, maka seorang lelaki tidak akan semena-mena memperlakukan pasangan hidupnya kelak. (Hal. 92)


Lelaki selalu begitu. Tidak pernah jujur, Apalagi lelaki yang sudah punya istri. Jika ia sampai memberi barang berharga kepada wanita lain, pasti ada maunya. Di dunia ini, tidak banyak lelaki yang tulus. Jauh lebih banyak yang culas. (Hal. 150)


Dalam hal asmara, wanita jangan hanya bisa mlumah dan mekakah. Telentang dan mengangkang. Kalau suaminya mau dan bisa mengajari, maka wanita boleh pegang kendali. (Hal. 321)


Posting Komentar

0 Komentar