Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga

Cuplikan kehidupan keluarga petani cengkih.

•••

Identitas buku:

Judul: Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga

Penulis: Erni Aladjai

Penerbit: KPG

Tahun: 2021

Jumlah: 146 halaman

ISBN: 9786024815271

Kategori:  Pemenang Ketiga DKJ 2019, novel, fiksi, penggalan hidup


•••


Blurbnya:

Haniyah mencintai pohon-pohon cengkih, karena tanaman ini bisa berbagi kehidupan dengan tanaman-tanaman lainnya.



“Tubuhmu harum cengkih,” kata Ala.

“Saya dilahirkan dan mati di dalam hutan cengkih.”



Di luar Rumah Teteruga, angin utara berembus dingin, kering, dan kencang, menggoyangkan ranting-ranting pohon gandaria dan matoa, menimbulkan suara gesekan di dinding rumah. Ala teringat kata-kata Ido, “Ada orang-orang yang tumbuh kejam dalam kehidupan ini, mereka tidak digelayuti rasa bersalah dan memiliki hasrat melahap yang tak pernah surut, mereka sungguh menakutkan ketimbang hantu dan hewan-hewan buas.”


***


Dengan pelukisan suasana dan tradisi lokal yang kuat, pemerian karakter yang wajar dan hidup, naskah ini mengedepankan warga desa yang sederhana dalam hidupnya, di tengah pelbagai masalah yang merundung mereka. Novel etnografis ini tidak terjebak untuk sok eksotis, tetapi tampil wajar, termasuk tuturan bahasa Indonesia rasa lokal khas masyarakat setempat.

—Catatan juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2019


•••


Garis besarnya:

Berlatar tahun 1990 di sebuah Desa Kon, buku ini menggambarkan kehidupan sehari-hari Haniyah, seorang petani cengkih, dan anak perempuannya, Ala, yang bermata juling dan berwarna merah yang duduk di kelas lima SD. Mata tersebut membuatnya mampu melihat makhluk tak kasatmata sekaligus sasaran perundungan teman sekelas dan juga gurunya.


Selain itu, novel ini menceritakan kisah Naf Tikore yang misterius dan diduga memiliki ilmu hitam sehingga diasingkan oleh masyarakat; kemeriahan saat panen cengkih; hantu bernama Ido yang kerap datang ke rumah Ala; misteri rumah Teteruga; kedatangan pertunjukan akrobat di desa; dan lainnya.


•••


Resensinya:

Karena koverlah saya mengambil buku ini. Warnanya cakep dengan nuansa cokelat dan ada ilustrasi pohon dan mata yang terkesan unik. Saya sempat menaruh ekspektasi cukup tinggi pada novel ini mengingat saya telah membaca dua pemenang DKJ 2019 yang lain: Aib dan Nasib (karya Minanto, baca resensinya di sini) dan Sang Keris (Panji Sukma, baca resensinya di sini). Dan … bagaimana respon saya sewaktu menamatkannya? Di satu sisi saya merasakan buku ini cukup oke untuk sebuah kisah penggalan hidup, tetapi harapan saya mendapatkan cerita yang meletup-letup atau njlimet semacam buku juara DKJ 2019 lainnya … tidak ada, wkwkwk.


Haniyah dan Ala di Rumah Teteruga merupakan novel yang mengangkat kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Kon pada tahun 1990 dengan tokoh utamanya: Ala.


Novel ini mengajak pembacanya untuk menjelajahi sekaligus menikmati latar tahun 1990 di sebuah perdesaan yang dihuni oleh petani-petani cengkih: seperti apa kehidupan bermasyarakatnya, perabotan dalam rumah yang masih jauh dari kecanggihan, mengakrabi siaran radio, suka-cita sewaktu panen raya cengkih, pengetahuan ekologi seputar cengkih, relasi perempuan dengan alam, hingga mitos-mitos yang menyertai. Layaknya kita bertetangga, sudah pasti Erni tidak lupa menyisipkan kebiasaan warga kampung yang senang bergosip, main tuduh terhadap salah satu warganya yang dalam buku ini ditujukan kepada Naf Tikore. 


Meski sempat ada nuansa horor misteri tatkala Ala bertemu dengan Ido, arwah yang tubuhnya terpisah menjadi dua, tetapi buku ini tetap menyajikan tema-tema sosial juga pengetahuan seputar cengkih yang sayang untuk dilewatkan begitu saja.


Sebut saja perundungan verbal yang dialami Ala di sekolah karena matanya yang juling dan itu dilakukan oleh teman-temannya di sekolah. Bahkan sang guru kalau kesal pun juga ikut merundung. Ironi, kan. Ketika sekolahan menjadi tempat menyenangkan untuk belajar malah terjadi perundungan bahkan cenderung melakukan pembiaran. Jika terus-menerus demikian, sudah pasti berdampak terhadap kesehatan mental korban, bukan?


Dalam novel ini pembaca bakal mendapati perasaan merana Ala dengan julukan yang disematkan kepadanya. Meski demikian, saya menyukai bagaimana Ala mengalihkan energi negatif karena perundungan tersebut dengan membayangkan hal-hal lucu menimpa para pelakunya dan seketika perasaannya kembali semula. Selain itu pula Ala bisa tumbuh menjadi pribadi yang tetap baik dan tidak pendendam karena didikan sang ibu. Bahkan, saya salut dengan Haniyah yang menyelesaikan perundungan dengan langsung menegur dan mengingatkan sang guru.


Berikutnya ada pelabelan yang diberikan masyarakat kepada Naf Tikore. Sejak laki-laki tersebut membunuh ayahnya, saat dia berumur 19 tahun, karena melakukan kekerasan terhadap ibunya dan memutuskan mengasingkan diri di tengah hutan di lahan kebun cengkih milik ayahnya, masyarakat Desa Kon dengan mudahnya memberikan pelabelan negatif kepada Naf Tikore: punya ilmu kebal, tidak percaya Tuhan. bersekutu dengan gurita raksasa di lautan, dan masih banyak lainnya. Bahkan Naf Tikore yang nyata-nyata mengasuh seorang anak yang ditinggal wafat ibunya pun tidak serta-merta menyebabkan tuduhan-tuduhan tersebut berkurang maupun menghilang. Malah masyarakat melakukan penolakan secara terang-terangan kepada Naf Tikore, menjauhinya, bahkan menggunjingnya dengan beragam cerita yang tidak pernah mereka klarifikasi kebenarannya


Hal berikutnya yang saya dapatkan dari novel tipis ini yakni perlunya tenaga pendidik atau guru yang adaptif dan inovatif. Dalam hal apa? Metode belajar-mengajarnya pastinya. Buku ini mengambil latar tahun 1990-an dan saat itu sebagian besar guru masih berpedoman pada buku pelajaran (Kok tahu? Ya karena saya juga merasakan masa-masa tahun 1990-an). Hanya saja, guru dalam cerita ini terlalu kaku, saklek, dan pertanyaan-jawaban hanya terbatas pada lingkup materi saja, tidak menerima jawaban lain. Sudah begitu, cara penyampaiannya pun terlalu serius, tidak diselingi humor, kolot, ortodok, galak, dan kejam (seperti guru SD-nya dulu) … duh. Sudah begitu juga ikut menghina kekurangan muridnya dan cenderung melakukan pembiaran terhadap aksi perundungan. 


Kritik tajam mencuat pada lembar-lembar akhir novel ini yakni tatkala para petani cengkih dihadapkan pada peraturan baru pemerintah terkait penetapan harga cengkih melalui BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran cengkih), sebuah lembaga pengumpul dan pemasaran cengkih Indonesia yang didirikan oleh Tommy Soeharto pada masa itu. Monopoli tersebut menyebabkan Haniyah dan sesamanya kecewa dan marah sebab harga cengkih menjadi turun drastis dan tidak masuk akal sehingga beberapa dari mereka memilih membakar kebun mereka sendiri.


Sebenarnya masih ada kisah perselingkuhan, tapi saya rasa tidak terlalu signifikan karena kisahnya hanya sepenggal dan itu menyambung menjadi latar belakang Naf Tikore membesarkan seorang anak angkat. Hanya saja yang perlu menjadi perhatian mengapa perselingkuhan laki-laki yang disorot adalah pelakornya, kok tidak duduk bersama dulu sang suami-istri, padahal belum tentu yang bermasalah sang pelakor bisa saja pasangannya. 


Tidak hanya sejumlah konflik sosial yang tersebar merata di seluruh halaman, pembaca juga bakal menemukan informasi berupa narasi-narasi pengetahuan yang ada kaitannya dengan alam, di antaranya:

  • Mengandalkan alam dan memanfaatkannya sebagai bahan alami untuk memenuhi kebutuhan keluarga, misalkan kelapa diolah menjadi minyak kelapa, ampasnya digunakan untuk membersihkan lantai, membuat lantai mengkilap

  • Mengelola hasil alam menjadi sajian lezat dan bergizi tinggi

  • Memanfaatkan tumbuhan (seperti cengkih, kemiri, dll.) sebagai produk kecantikan alami: obat kumur, eyeliner, minyak rambut

  • Memanfaatkan tumbuhan sebagai obat tradisional/herbal sebagai warisan turun temurun, seperti untuk ramuan awet muda, obat masuk angin/perut kembung, dst.

  • Tumbuhan berpotensi memberikan kebutuhan manusia, misal pohon bambu dibuat tangga agar memudahkan memetik cengkih, pohon sagu sebagai atap dan tikar, kancing baju dari daun nanas yang sudah tua, dst.

  • Dan-masih-banyak-lainnya.


Relasi perempuan dan alam dalam novel ini kental sekali. Erni banyak menulis perempuan mampu membangun kesadaran untuk merawat dan menjaga alam sekitar; menjadi pencinta tumbuhan; memanusiakan tumbuhan/alam sebab jika memanfaatkan alam secara positif, memperlakukan dengan baik bisa berbalik positif pula: alam bakal memberikan kehidupan dan kebaikan bagi manusia.


Tidak ketinggalan Erni juga piawai mendeskripsikan panen raya cengkih menjadi momen yang meriah dan dinanti-nantikan. Cengkih, di tangan Erni menjadi bagian penting dalam hidup para petaninya, menjadi separuh napas mereka, selain sebagai komoditas yang layak diperjualbelikan dengan harga tinggi. 


Toleransi beragama yang bersahaja turut mewarnai novel ini. Rumah Teteruga merupakan satu-satunya keluarga Islam yang berada di perkampungan Kristen. Semua masyarakatnya menjalankan aktivitas ibadah sesuai keyakinannya masing-masing tanpa ada hambatan berarti. Indah dan damai, kan?


Semua hal yang saya sampaikan ini terjalin apik menjadi satu kesatuan kisah yang linier, saling terkait satu sama lainnya. Sayangnya, dalam pandangan saya, buku ini memiliki beberapa kisah yang terkesan berdiri sendiri sehingga tidak terlalu berpengaruh seandainya dihapus serta meninggalkan cerita yang tidak tuntas (seperti BPPC). 


Buku ini minim konflik, mungkin bagi penggemar kisah-kisah berkonflik besar dan rumit bakal kurang menyukainya atau tidak terlalu berkesan. Ya, karena buku ini memang slice of life banget. Seperti kita hidup sehari-hari yang terkadang hari ini bahas topik A besok sudah ganti topik B lalu kapan waktu balik lagi ke pembahasan A. Biasa saja. Sungguh.

Hal yang membuat buku ini tetap oke untuk dinikmati, ya, dari sudut pandang Ala sebagai tokoh pertama, diksinya yang sederhana sehingga terasa mengalir, dan ada berbalas pantun yang jenaka dan lucu. 


Buku ini saya rekomendasikan untuk penggemar kisah ringan maupun yang ingin mengetahui kehidupan petani cengkih. 


Tertarik baca?


•••


Kutipannya:

Begitulah peristiwa buruk lebih kuat membekas dalam benak-benak orang-orang, ketimbang peristiwa baik yang mudah lesap. (Hal. 2)


Jika semua anak yang ditindas di dunia ini tiba-tiba saja memiliki kekuatan istimewa, seperti bisa terbang, bisa menyihir orang-orang jahat menjadi hewan-hewan, alangkah dunia anak-anak yang terzalimi begitu menyenangkan. (Hal. 6)


Di kehidupan ini ada banyak hal yang tidak bisa dijelaskan. (Hal. 9)


Petani harus sekolah, untuk masa depan kebunnya, lahannya, untuk tahu cara bicara dengan pemerintah daerah supaya tidak ditipu-tipu. (Hal. 17)


Ada kalanya orang-orang merasa nyaman dan satu penanggungan berada di sekitar orang-orang yang sama dengan apa yang mereka anut. (Hal. 22-23)


Kenapa orang baik selalu cepat meninggal? Di kehidupan nyata seringkali begitu, Tuhan mencabut lebih dulu nyawa orang baik, sementara orang jahat dibiarkan hidup lebih lama dan lenggang kangkung. (Hal. 43)


Sulit juga menjalani kehidupan orang dewasa, beban mereka lebih berat dari sekadar mendapat olok-olok di sekolah. (Hal. 72).


… mengolok-olok tubuh orang lain itu kejam. Luka benda tajam bisa sembuh, tetapi trauma luka batin akan selalu kita bawa hingga dewasa, hingga kita tua. (Hal. 125)


Saya tidak merasa terhina dengan apa yang dia katakan. Jika saya turun ke desa dan mencarinya, berarti saya menyepakati hinaan itu, membutuhkan dua jiwa untuk menciptakan hinaan dan kemarahan, jiwa saya tidak ikut dalam bagian itu. (Hal. 129)


Manusia adalah makhluk kebiasaan, yang terbiasa berprasangka akan sulit berpikir jernih, yang terbiasa serakah akan sukar merasa cukup, dan yang terbiasa kesunyian akan sulit berada dalam kegaduhan. (Hal. 139)


Kau tahu benda-benda mati, sesungguhnya tidak benar-benar mati. Bubungan, kayu, kasau, atap, lantai papan, semuanya ‘bernyawa’, mereka bertahan, sementara kita yang hidup biasanya rapuh dan berakhir. (Hal. 142)


Ada orang-orang yang tumbuh kejam dalam kehidupan ini, mereka tidak digelayuti rasa bersalah dan memiliki hasrat melahap yang tak pernah surut, mereka sungguh menakutkan ketimbang hantu dan hewan-hewan. (Hal. 143)


Posting Komentar

0 Komentar