Salt to the Sea: Tragedi mengerikan pengungsi Jerman saat Perang Dunia II

  

Salt to the Sea, sebuah fiksi sejarah yang terinspirasi dari satu tragedi maritim yang tidak banyak diketahui dan terlipat dari sejarah dunia: tenggelamnya kapal Wilhelm Gustloff saat Perang Dunia II.

•••

Identitas buku:

Judul: Salt to the Sea

Penulis: Ruta Sepetys

Penerbit: Elex Media

Tahun: cetakan kedua, 2023

Jumlah: 369 halaman

ISBN: 9786020454153


•••

⭐: 4.8/5


Blurbnya:

Tahun 1945. Perang Dunia II merambah Prusia Timur. Jutaan pengungsi pergi mencari tempat aman. Di antara mereka terdapat empat orang dengan kisah dan rahasia yang berbeda.


Takdir mempertemukan keempatnya di Wilhelm Gustloff, kapal megah yang menjadi tempat mereka menggantungkan harapan bersama lebih dari sepuluh ribu penumpang lainnya.


Tapi sebelum kebebasan sempat diraih, tragedi besar pun terjadi. Tak peduli dari negara mana mereka berasal dan status apa yang mereka sandang, ribuan penumpang kapal harus berjuang keras melakukan satu hal: bertahan hidup.


•••


Resensinya:

Kami, para penyintas, bukanlah saksi yang sesungguhnya. Para saksi sesungguhnya, yang tahu kebenaran yang tak terungkapkan, adalah orang-orang yang tenggelam, mati dan menghilang. (Primo Levi, Salt to the Sea)


Apabila ditanya perihal peristiwa kapal tenggelam kemungkinan besar akan menjawab Titanic atau Van Der Wijck. Tidak salah, kok, memang keduanya termasuk kapal yang hit. Nah, sekarang kalau Wilhelm Gustloff? Ada yang pernah mendengarnya? Mungkin ada yang pernah, ada yang belum. Saya sendiri termasuk yang golongan kedua sampai saya menemukan buku ini. 


Salt to the Sea, sebuah fiksi sejarah yang terinspirasi dari satu tragedi maritim yang tidak banyak diketahui dan terlipat dari sejarah dunia: tenggelamnya kapal Wilhelm Gustloff saat Perang Dunia II.


Tepatnya pada tanggal 30 Januari 1945, sekitar pukul 13.30, Wilhelm Gustloff, kapal pesiar yang telah alih fungsi itu seharusnya hanya bisa membawa 1.500 orang, berangkat dari pelabuhan dengan menampung lebih dari 10.000 pengungsi (9.000 di antaranya warga sipil yang setengahnya merupakan wanita, bayi, dan anak-anak; sementara sisanya adalah pasukan Jerman). Sekitar pukul 21.15 di tanggal yang sama, sebuah torpedo Uni Soviet menghantam yang disusul dengan torpedo kedua dan ketiga. Kurang dari satu jam, Wilhelm Gutsloff tenggelam sepenuhnya bersama lebih dari 9.000 jiwa penumpangnya di Laut Baltik di bawah suhu minus 20 derajat celsius.


Gustloff hanya punya dua belas sekoci. Sepuluh lainnya hilang. (Halaman 116)


Wilhelm Gustloff. Ayah memberitahuku tentang pria itu. Gustloff pernah menjadi pemimpin Partai Nazi di Swiss. Dia tewas dibunuh. Kapal ini lahir dari kematian. (Halaman 207)


Lewat novel ini, penulis mencoba membuka tabir mengerikan tersebut melalui perjalanan empat remaja berusia belasan sampai awal dua puluhan yang membawa rahasia masa lalunya masing-masing: Joana, seorang perawat berkebangsaan Lituania yang memiliki darah Jerman dari pihak ayah; Florian, seorang warga Jerman misterius yang berbakat dalam seni; Emilia, gadis lima belas tahun asal Polandia yang tengah hamil tua; dan Alfred, pelaut Jerman yang bertugas di Wilhelm Gustloff, izinkan saya menyebutnya sebagai seseorang yang senantiasa optimis dan nasionalis sejati, seorang pendukung Hitler alih-alih Kang Halu yang narsistik.


Melalui fragmen-fragmen singkat tanpa bab, dengan sudut pandang pertama dari empat remaja secara bergantian, pembaca akan berkelana mengikuti perjalanan pengungsian rombongan, mencari tempat aman dari serangan militer Tentara Merah, melewati laguna es yang siap retak dan pecah kapan saja, pos pemeriksaan, hingga beriringan dengan puluhan pengungsi lainnya setelah Operasi Hannibal dikeluarkan menuju Pelabuhan Gotenhafen untuk menaiki kapal Jerman yang menjanjikan kebebasan. 


Seorang wanita di dekat sana jatuh berlutut, terisak. "Mereka bilang aku hanya bisa memilih satu anakku untuk naik kapal. Bagaimana bisa aku memilih? Kumohon jangan paksa aku memilih." (Halaman 148)


Para ibu mencoba melempar bayi mereka ke para penumpang di dek, tapi tidak bisa melempar cukup tinggi. Bayi-bayi itu menabrak sisi kapal dan jatuh ke laut. Para wanita menjerit dan melompat ke air mengejar anak-anak mereka. (Halaman 282)


Dalam buku ini, selain sisipan-sisipan fakta sejarah yang bertebaran di sepanjang narasi dan percakapan antartokoh, pembaca akan lebih banyak mendapati sisi emosional alih-alih prosesi karamnya kapal, menjumpai sengkarutnya jiwa manusia yang terjebak dalam carut-marut peperangan, keputusasaan manusia akan masa depan, tetapi di sudut hatinya masih menyimpan sisa-sisa harapan atas kehidupan.


Sejak lembar pertama, cerita bergulir cepat dengan kengerian perang dan diakhiri dengan Wilhelm Gustloff yang mengenaskan. Banyak kematian dan kepedihan sepanjang cerita. Akhir kisahnya pun tidak terlalu menyenangkan. Menurut saya plot pada seperempat akhir buku cenderung terburu-buru, seolah ingin menuturkan berakhirnya nasib kapal sesegera mungkin, padahal kisah perjalanan darat Joana dkk. lebih panjang dan perlahan. Oh iya, buku ini juga ada bumbu pemanisnya: cinta. Namun, pelan sekali, hanya kode-kode sudah nampak dari awal pertemuan.


Didukung dengan riset yang tidak main-main, penulis berhasil mendeskripsikan keseluruhan cerita dengan baik. Para tokohnya pun terinspirasi dari narasumber-narasumber yang menjadi saksi tenggelamnya kapal kala itu. Penulis mengisahkan prosesi karyanya pada akhir buku: riset, perjalanan menelusuri jejak-jejak sejarah Jerman, wawancara dengan banyak saksi hidup, dst.


Novel ini tidak sekadar mengisahkan tentang nasib korban perang yang di mana saja selalu sama: terpinggirkan, teraniaya, dan tidak berdaya; melainkan juga perjuangan untuk bertahan hidup. Pembaca dapat melihat semua itu dari keempat tokohnya: Joana mewakili ketulusan, Florian merepresentasikan keteguhan, Emilia menggambarkan keberanian dan ketegaran, dan Alfred perwujudan dari keyakinan.


Salt to the Sea, sebuah kisah kelam sejarah yang terlupakan dan terbungkam yang mengajarkan kita rasa syukur atas kesempatan hidup di era saat ini. 


Tertarik membacanya?


•••


Kutipannya:

Kukatakan kepada mereka bahwa tanda kehormatan hanya bagus untuk orang mati. Kita harus berjuang selama kita masih hidup. (Alfred, halaman 7)


Terkadang menjalani hidup bisa jadi lebih mendidik ketimbang sekadar mempelajarinya. (Ayah Joana, halaman 114)


Kita harus selalu waspada, Hannelore. Hanya karena seseorang mengetuk pintu tidak berarti kau harus membukanya. (Alfred, halaman 162)


Ada pepatah yang berlaku di sini. 'Aku menangis karena tidak punya sepatu, sampai kulihat ada seseorang yang tidak punya kaki'. (Si Pujangga/Tukang Sepatu, halaman 186)


Bisakah sejarah menghilang jika ditulis dengan tinta darah? (Florian, halaman 282)


Tepat saat kau berpikir perang ini telah merenggut semua yang kau cintai, kau bertemu seseorang dan menyadari bahwa entah bagaimana kau masih memiliki banyak hal yang bisa diberikan. (Si Pujangga/Tukang Sepatu, halaman 299)


Posting Komentar

0 Komentar