Yellowface, sebuah novel yang kaya akan sindiran dan memberikan gambaran yang bagus perihal obsesi penulis, industri penerbitan, dan pengaruh media sosial.
•••
Identitas buku:
Judul: Yellowface
Penulis: R. F. Kuang
Penerbit: GPU
Tahun: 2023
Jumlah: 336 halaman
ISBN: 9786020672793
Kategori: fiksi, drama, satire, rasis, thriller (?), horor (?)
•••
⭐: 3.5/5
Blurbnya:
June Hayward dan Athena Liu sama-sama penulis. Athena, keturunan Asia, ternyata lebih ngetop. Sementara June berpendapat tak ada yang akan tertarik pada karyanya, gadis kulit putih biasa.
Ketika Athena mendadak meninggal, June mencuri manuskrip Athena lalu menyerahkannya sebagai karyanya.
Penerbit membuatkan citra baru bagi June, lengkap dengan foto yang ambigu mengenai etnik dirinya.
Di luar dugaan, buku itu sukses besar.
Namun, June tidak bisa lolos dari bayangan Athena, dan bukti-bukti bermunculan, mengancam kesuksesan June.
Saat berpacu untuk menutupi rahasianya, June jadi tahu seberapa jauh ia berani bertindak untuk mempertahankan apa yang menurutnya layak ia dapatkan.
•••
Resensinya:
Saya tidak membuat garis besar novel ini, ya, sebab blurb sudah memberikan gambaran ceritanya seperti apa, maka saya langsung meluncur ke resensinya saja. Bagaimanakah pengalaman saya tatkala menyelesaikan buku ini? Setidaknya ada dua reaksi yang muncul dari novel ini. Pertama, saya tertawa usai menamatkannya. Novel ini jelas-jelas disengaja. Sengaja dibuat oleh R. F. Kuang (selanjutnya saya tulis RFK, ya) sebagai bahan sarkas bagi isu-isu yang ingin diangkat dalam tulisannya. Kedua, saya jenuh. Teman-teman tidak salah membaca dan saya tidak salah tulis. Saya merasakan kejenuhan tatkala membaca bagian tengah hingga akhir buku ini. Nanti akan saya jelaskan alasan kebosanan saya membaca paruh kedua buku RFK tersebut.
Bagi yang belum tahu apa itu Yellowface, barangkali tulisan ini bisa memberikan gambaran atau kalau penasaran bisa langsung ketik sendiri di mesin pencarian.
Secara umum, Yellowface mengangkat tema-tema berkaitan dengan literasi dan media sosial. Lebih terinci lagi membahas tentang penulis, industri penerbitan beserta komoditasnya, menyinggung rasisme antara kulit putih dengan kulit berwarna—lebih tepatnya ras Mongoloid, obsesi dan ambisi, dan media sosial. Yellowface mengajak pembacanya untuk mengeksplorasi dinamika kekuatan industri penerbitan dan pengaruh media sosial dengan cara satire dan penuh humor gelap di sana-sini.
Saya senang tatkala membaca bab-bab awal buku ini. Dengan tempo cerita yang bergulir cepat, membuat saya betah menikmati setiap pergerakan sang tokoh utama: June alias Juniper Song, seorang penulis berkulit putih yang berteman dengan Athena, penulis berdarah Asia. RFK membenturkan secara nyata Athena yang sukses gemilang dan June yang belum berhasil. Mengisahkan tragisnya (atau konyol?) kematian Athena—karena menelan pancake dan makanan itu tersangkut di lehernya—pada saat perayaan bukunya akan dialihwahanakan oleh Netflix dengan seseorang yang lain, June, yang mencuri draf awal naskah Athena dan mengklaim karya tersebut sebagai milik sendiri dan … dirinya pun tenar, sukses sebab bukunya laku keras.
Pada tengah pertama buku ini, saya setidaknya mendapatkan cukup gambaran perihal obsesi June terhadap ketenaran sebab selama ini dirinya merasakan kesepian, kedengkian, dan kecemburuan atas pencapaian Athena dan ingin merasakan hal serupa—wajar, sih, karena novel debutnya gagal; ambisi June untuk selalu lebih dan lebih: pengikut meningkat, pendapatan melesat, kian sukses, mendapat pengakuan, dan banyak lagi lainnya seperti yang pernah dialami Athena.
Yellowface memberikan wawasan tentang dinamika kompleksitas industri penerbitan: peran editor, nama besar penerbit, kekuatannya, pengklasifikasian cerita-cerita yang masuk kemudian memetakannya apakah karya tersebut menguntungkan atau tidak, memberikan anggaran yang berbeda untuk buku-buku yang menguntungkan dengan yang tidak, menetapkan sebuah buku masuk kategori best seller tanpa melihat angka penjualan, sampai strategi pemasaran. Melalui kisah June, pembaca akan mengetahui tantangan-tantangan yang dihadapi oleh penulis—dan juga calon penulis dan yang berminat di dunia penerbitan—seperti kemampuan menulis, keaslian cerita, menemukan penerbit yang sesuai, berkomunikasi dengan editor, perlukah mengikuti selera pasar.
Itu saja? Oh, tidak. Tidak hanya itu yang membuat saya menyukai bagian ini. Di awal sudah dijelaskan bahwa June mengambil draf awal Athena dan mengaku-ngaku sebagai miliknya, buah pikirannya, hasil karyanya. Plagiat. Mungkin sebagian besar akan menuliskan demikian. Tidak salah, memang, kalau itu disebut demikian, tetapi saya akan menyoroti dari hal yang lain.
Teman saya bertanya: apakah saya ke-trigger tatkala membaca Yellowface. Saya jawab tidak. Dia komplain dan mengatakan kalau ada ide yang dicuri, ada naskah yang diklaim, bahkan tidak sepeser uang yang diberikan untuk pemilik asli tulisan maupun mencantumkan namanya. Saya sepakat dengannya, sungguh, tetapi perlu saya tekankan bahwa dalam dunia tulis menulis itu sudah tidak ada lagi ide-ide baru. Semua itu sudah ada, dan kebanyakan akan mengatakan: ATM (Amati-Tiru-Modifikasi) atau comot beberapa tulisan dan ambil ide-idenya lalu bikin yang baru. Yang membedakan hanyalah gaya kepenulisan satu penulis dengan yang lain serta etika penulis. Nah, June ini memang mengabaikan etika penulis itu sendiri dengan mencomot mentah-mentah ide Athena. Namun, jangan lupakan bahwa June sendiri melakukan riset, melakukan perbaikan dan penyesuaian di sana-sini dalam tulisannya, membuang yang tidak perlu, dan sering, kan, kita mendengar alih-alih plagiat, tetapi justru kata-kata: “Karya ini terinspirasi oleh ….”.
Selanjutnya, RFK juga menggambarkan karakter June sebagai manipulatif, obsesif, dan oportunis. June piawai membalikkan fakta, memelintir dan mengotak-otik kata-katanya sehingga terdengar meyakinkan. Kalau bahasa sekarang itu playing victim, hahaha. Nah, sangat menarik membaca seperti apa tingkah June saat bermain drama bahwa karyanya adalah nyata buatannya, bukan milik Athena. June rela melakukan berbagai hal untuk melindungi kesuksesan yang dia curi.
Masih berkaitan dengan komoditas penerbitan, yakni June menjalani reduksi identitas. Iya, June akhirnya direpresentasikan secara ambigu dengan nama Juniper Song hanya untuk “menenangkan” para pembaca Asia dan meredam suara-suara yang kemungkinan mempertanyakan mengapa kulit putih menulis perihal buruh Cina? Nah, kalau yang ini sudah menyinggung persoalan rasisme.
Diskriminasi atau rasisme cukup kental terasa dalam buku ini. Beberapa kali muncul kalimat atau dialog yang menyatakan bahwa penulis bebas untuk menulis apa saja, tetapi pada lembar-lembar selanjutnya, melalui Twitter maupun saat June melakukan tur buku yang mempertanyakan tahu apa, sih, orang kulit putih soal kulit berwarna. Enggak cocok nulis. Harusnya kulit putih menulis tentang sejenisnya, bukan kulit yang lain.
RFK ingin menyoroti sekaligus mempertanyakan sampai batas mana seorang penulis bisa menceritakan sebuah kisah dari sudut pandang liyan dan mempertanggungjawabkan tulisannya, dan siapa yang boleh mengisahkan sebuah tulisan. Apakah harus orang Jawa yang boleh menulis kisah tanah Jawa? Apakah hanya orang Minang yang diperkenankan menuturkan sejarah Minang?
Saya jelas tidak bisa menjawabnya. Sepertinya rumit, hahaha. Saya memandang bukankah setiap penulis memang memiliki kesempatan yang sama untuk apa pun jenis tulisannya. Kalau memiliki kemampuan untuk bercerita dengan baik, bukankah penulis bisa mengisahkan apa saja yang menarik minatnya, tanpa harus membatasi dengan identitas tertentu. Toh, kemajuan zaman sudah memperpendek sekat-sekat ruang dan waktu. Sekali pun bukan orang Belanda, apakah Iksaka Banu dilarang mengisahkan perihal kisah-kisah orang Belanda? Bukankah sejak duduk di bangku sekolah, kita diajarkan yang namanya riset (baik secara literatur maupun mendatangi langsung ke lokasi atau bertanya), dan tentunya hal tersebut sangat membantu memperkuat sebuah tulisan, bukan?
Meski demikian, jangan lupakan peran media (dalam hal ini penerbitan) yang sejak awal telah menyiapkan komodifikasi untuk penulisnya. Mereka juga melakukan branding kepada para penulisnya kepada para pembacanya dan sebisa mungkin tidak mengizinkan menulis di luar branding tersebut. Penerbit bisa mereduksi identitas penulis menjadi sesuatu yang dekat atau ingin dilihat seperti novelnya. Contoh dalam buku ini yakni Athena yang dicitrakan sebagai gadis Asia yang khas oleh penerbitan maupun pembacanya sehingga penerbit menolak gagasan Athena untuk menulis di luar Asia (padahal bisa saja penulis sebenarnya ingin mengeksplorasi/mencoba ke genre lainnya, bukan?)
Selain itu, RFK sempat menyinggung bagaimana penerbitan memilih dan menjual kisah-kisah terpinggirkan. Menelisik cerita-cerita dari orang-orang minoritas dan menjualnya sebagai sebuah realita sosial, yang termarjinalkan, yang terlupakan, tetapi sangat dekat dan nyata dengan kita. Terdengar familiar, tidak? Sebagian besar pembaca sangat menggemari kisah-kisah yang berbeda dan penerbit juga meraup untung dengan cerita-cerita semacam itu.
Nah, bagian tengah pertama novel inilah yang saya sukai. RFK seperti menelanjangi industri penerbitan melalui penulis yang cenderung antihero, yang karakternya rumit dan terkadang mengesalkan (karakter-karakter dalam novel ini sengaja dibuat tidak menyenangkan sama sekali. Semuanya! Dan RFK memang tidak bermaksud untuk mengubah penilaian pembaca terhadap tokoh-tokohnya). Ketika kapitalisme bertemu oportunis itu menjadi kombinasi yang luar biasa, hahaha.
Yellowface juga tidak luput menyoroti dampak media sosial. RFK mengeksplorasi karakteristik platform online (di sini Twitter) yang sulit ditebak dan opini publik yang dapat membangun atau menghancurkan reputasi. Pengaruh media sosial tidak sekadar mampu membuat seseorang mendapatkan kesuksesan (melalui identitas diri, eksistensi diri, jumlah pengikut), melainkan juga eksposur, serta sangat mudah menyuburkan kemungkinan-kemungkinan informasi palsu dan mengukuhkan stereotip berbahaya yang berkaitan dengan budaya melalui komentar-komentar sosialnya. Oh, iya, jangan lupakan media online juga membawa reaksi online yang cepat berubah tatkala terjadi sedikit kesalahan atau tindakan yang dapat merusak citra, karier, dan kehidupan pribadi seseorang.
Melalui obsesi June terhadap Twitter, pembaca akan memahami ketergantungannya pada media sosial sebagai sarana promosi diri, mendapatkan validasi kepada masyarakat, dan bagaimana dia mempertahankan eksistensinya tersebut. RFK dengan baik menunjukkan sifat adiktif atau kecanduan media sosial tatkala seseorang berkeinginan meraih like, follower, retweet sebanyak-banyaknya sampai-sampai berpengaruh terhadap pengambilan keputusan pribadi. (Dua paragraf terakhir ini kalau jadi bahan penelitian kuliah oke banget, hahaha).
Paruh kedua buku ini lebih banyak menuliskan perihal efek Twitter terhadap karier June maupun pribadinya. Hal ini yang membuat saya jenuh, bosan, dan kenikmatan saya membaca menurun drastis. Perubahan tiba-tiba dari gempita kesuksesan June menjadi persoalan drama hatters. Saya memahami bahwa media sosial jelas berkontribusi terhadap apa pun, termasuk dunia kepenulisan maupun penerbitan. Akan tetapi, saya cukup terkejut tatkala mendapati setengah ceritanya berkutat pada cuitan kritik yang terus-terusan muncul (dengan ragam bukti plagiarisme, sentimen pribadi, hoaks, dll.) dan bagaimana upaya June mengatasi serangan reaksi online yang negatif tersebut … sendirian pula.
Saya berharap Yellowface ini lebih jauh mengulik perihal isu-isu penerbitan seperti skandal dalam proses penerbitan hingga pemasaran atau yellowface-nya itu sendiri, deh, misal rasisme dalam industri penerbitan dan dibenturkan dengan bukti-bukti dari orang-orang Cina yang bisa saja komplain bahwa tidak seperti itu ceritanya. Sayangnya saya tidak mendapatkan itu. Rasanya seperti tanggung. Seolah ada banyak kesempatan, tetapi dibiarkan begitu saja dan hanya ditulis mungkin paling banyak lima lembar halaman saja, dan … lebih banyak mengisahkan drama Twitter sehingga saya cuma bergumam, “Ya sudahlah.”
Minat baca?
•••
Kutipannya:
Semua kisah kita amatlah istimewa dalam cara pentingnya sendiri. (Juniper Song, halaman 133-134)
Kau akan mendapatkan beberapa pembenci. Sudah satu paket dengan ketenaran. (Brett Adams, halaman 152)
Memangnya seperti apa sih kemenangan online itu? (Juniper Song, halaman 161)
Kapan kita akan belajar untuk tidak memberi hujatan dalam situasi yang tidak kita ketahui sama sekali? (Juniper Song, halaman 200)
Menulis adalah kegiatan yang paling mirip dengan ilmu sihir. Menulis adalah menciptakan sesuatu dari ketiadaan, membuka pintu ke dunia-dunia lain. Menulis memberi kita kekuasaan untuk membentuk dunia sendiri ketika dunia nyata terasa terlalu menyakitkan. Berhenti menulis berarti kematian untukku. (Juniper Song, halaman 237)
Apa lagi yang kita inginkan sebagai penulis selain keabadian? Bukankah hantu hanya ingin diingat? (Juniper Song, halaman 282)
.webp)
0 Komentar