Drama intrik politik istana dalam melanggengkan sejarah kuasa Mataram.
Identitas buku:
Judul: Mangir
Penulis: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: KPG
Tahun: Cetakan kedelapanbelas: 2023
Jumlah: xlix + 141 halaman
ISBN: 9786026208804
Kategori: fiksi, sejarah, drama, tragedi, intrik, kekuasaan.
•••
⭐⭐⭐⭐/5
Blurbnya:
Setelah Majapahit runtuh pada 1527. Jawa kacau balau dan bermandi darah. Kekuasaan tak berpusat, tersebar praktis di seluruh kadipaten, kabupaten, bahkan desa. Perang terus-menerus menjadi untuk memperebutkan penguasa tunggal. Permata-permata kesenian, baik di bidang sastra, musik, dan arsitektur tidak lagi ditemukan. Selama hampir satu abad Jawa dikungkung oleh pemerintah teror (schrikbewind), yang berpolakan tujuan menghalalkan cara.
Salah satu bentuk pemerintahan teror itu diungkapkan secara jernih dalam buku ini. Panembahan Senapati, raja Mataram Jawa kurun 1575-1607, yang bercita-cita menjadi penguasa tunggal, menundukkan perlawanan gigih penduduk Desa Mangir dengan cara kotor dan keji. Wanabaya atau Ki Ageng Mangir, pemimpin desa yang letaknya kurang 20 km dari ibukota, dirayu putri kesayangan. Wanabaya dijebak, dan kemudian dibunuh dalam sebuah pertemuan keluarga.
Buku ini, yang ditulis Pramoedya di Pulau Buru dan sempat hilang beberapa tahun, membuka wawasan kita untuk melihat lebih seksama kelemahan dan ketimpangan sistem pemerintahan silam, serta pengaruhnya pada masa sekarang.
•••
Mangir merupakan sebuah wilayah perdikan atau daerah otonomi/merdeka lagi makmur yang merasa tidak perlu membayar pajak atau memberikan upeti atau tunduk kepada Mataram. Keberadaan Mangir bagi Mataram mengganggu sebab mereka mampu memberikan perlawanan keras dan dikhawatirkan akan memacu pergolakan serupa pada daerah-daerah lainnya.
Tidak juga berhasil mengalahkan Mangir sekaligus berambisi memperluas wilayah dan menjadi penguasa tunggal membuat Panembahan Senapati, atas usulan Tumenggung Mandaraka yang menyusun strategi untuk mengubah taktik, mengutus putrinya, Pambayun, menjadi telik untuk memperdaya Wanabaya, menjeratnya kemudian membawanya ke istana. Laki-laki itu jatuh cinta, pun siapa sangka, sebaliknya Adisaroh alias Pambayun juga balik terpikat. Keduanya menikah dan Pambayun hamil.
Sampai pada waktu yang telah disepakati tiba, Tumenggung Mandaraka mengingatkan Pambayun akan tugasnya dan meminta kehadiran mereka berdua ke istana untuk pertemuan keluarga, perkenalan menantu-mertua, tidak ada perang senjata. Bimbang antara cintanya kepada Wanabaya dan kepatuhannya terhadap ayahnya, sang raja, membuat Pambayun mengaku dirinya adalah mata-mata istana kepada Wanabaya. Meski sempat murka, tetapi pada akhirnya memenuhi undangan untuk datang bertemu raja Mataram.
Mataram telah mempersiapkan penyambutan kedatangan tamu Mangir. Akan tetapi, bukan dengan penuh kehangatan, melainkan pembantaian.
Tumenggung Mandaraka: Demi Mataram Jaya, semua benar dan dibenarkan. (hal 113)
•••
Resensinya:
Tumenggung Mandaraka: Dan pada hari ini, hari besar ini, akan adinda saksikan cucu menantu, suami tercinta Putri Pambayun, akan merangkak menghampiri tahta serahkan nyawa, untuk Mataram Jaya. (hal. 103)
Ngomong-ngomong saya tidak spoiler, lho. Memang buku Mangir ini berakhir dengan kematian Wanabaya. Bahkan sebelum membaca ceritanya, dalam Kata Pengantar dan Pertanggungjawabannya saja sudah kena spoiler perihal tewasnya Wanabaya dan keberhasilan Mataram mengangkangi Mangir.
Kalau begitu, apa bedanya buku Mangir ini dengan kisah-kisah serupa yang telah jamak beredar? Ada bedanya. Cara kematian Wanabaya. Bagaimana? Bisa baca sendiri, ya. Kalau saya ceritakan nanti malah spoiler. Lagipula ini, kan, mau meresensi bukunya, hehehe.
Ki Ageng Pamanahan: Semua ditempuh demi Mataram, segala jalan, pembinasaan dan penumpasan. (hal. 115)
Menggunakan sudut pandang orang-orang Mangir, buku ini hanya terdiri atas tiga babak yang membuat drama Mangir ini langsung menuju pada konfliknya: babak pertama mengulik keberadaan Adisaroh yang mengacaukan hati Wanabaya dan perbedaan pandangan Wanabaya dengan Baru Klinting dan para Demang; babak kedua lebih banyak menyoroti percakapan romantis antara Wanabaya-Adisaroh, Tumenggung Mandaraka yang mengingatkan tugas awal Adisaroh, dan pengakuan Adisaroh sebagai Pambayun, putri Mataram; babak ketiga menjadi puncak Mangir-Mataram yang berlangsung di istana raja.
Tumenggung Mandaraka: Persembahan, dinda dengar, apa ada kerajaan berdiri tanpa korban-persembahan? (hal 109)
Meski berlatar era Mataram, penulis mampu menggambarkan intrik dan feodalisme penguasa yang haus akan kekuasaan tanpa memandang siapa lawan siapa kawan apalagi keluarga, libas semua, hanya ada satu bapak (penguasa) dan satu anak (negara); menyajikan obsesi penguasa untuk melanggengkan wilayahnya dengan cara-cara licik lagi keji; mengontruksikan pengkhianatan; mengisahkan penyebab kejatuhan yang tidak melulu karena peperangan melainkan juga bisa kalah dan mati karena cinta (menjadi tidak waspada); dan tidak ketinggalan ketimpangan perempuan di dalamnya: menjadi alat politik, pelabelan sebagai penghibur/pemuas laki-laki, tidak memiliki kontrol ruang gerak, layaknya barang yang bisa dibawa dan dimiliki, patuh dan tunduk pada suami, sampai mengalami kekerasan verbal dan fisik.
Selain itu, dalam buku ini juga menyuguhkan sikap pantang menyerah orang-orang Mangir. Penduduk Mangir tetap berpegang teguh dengan tatanan sistem demokrasi kerakyatan yang sudah berjalan dan tetap bertahan melakukan perlawanan dan terus menang walaupun pada akhirnya terpaksa tunduk juga karena cara licik Mataram. Yah, melalui buku ini pembaca mengetahui bahwa pernah ada wilayah perdikan di Jawa yang tidak gentar melawan dominasi Mataram dan pernah menang dari kerajaan tersebut.
Konflik-konflik sosial Mangir saya rasa tidak lekang oleh zaman. Perihal kekuasaan yang melenakan dan membutakan, perihal melakukan segala cara untuk meraih tujuan (machiavellianism), perihal pengkhianatan hingga perihal ketimpangan relasi terhadap perempuan. Semua hal tersebut tersusun dalam dialog-dialog yang seru dengan gaya bahasa ala Pram sehingga tetap mudah dipahami dan enak dibaca.
Lebih jauh, dalam drama Mangir, penulis mengajak pembaca untuk berpikir logis tidak cuma bagaimanakah Wanabaya tewas, melainkan juga mengurai keseluruhan kelogisan cerita dan tokoh-tokohnya. Boleh dibilang jika Pam tidak berpakem pada Babad Tanah Jawi atau kisah turun temurun yang dituturkan melainkan menyusun alur cerita beserta tokoh-tokohnya menggunakan logikanya. Hal tersebut dia nyatakan dalam halaman Pertanggungjawaban, makanya sebagaimana yang telah saya kemukakan di atas bahwa buku ini memiliki cara kematian yang berbeda untuk Wanabaya dibandingkan kisah-kisah yang sudah beredar.
Sayangnya, saya menganggap kematian Wanabaya terlalu cepat. Sangat cepat malah. Coba kalau ada adegan pertarungan sedikit saja jelang akhir cerita, saya rasa akan lebih seru. Oh, iya, saran saya jangan lewatkan Kata Pengantar, karena di sana ada hal penting yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari keseluruhan isi buku.
Mangir, sebuah buku tentang kelanggengan Mataram yang berpijak dari upaya licik dalam mengekalkan kekuasaan.
•••
Mangir akan tetap jadi Perdikan, tak bakal jadi kerajaan. Semua orang boleh bersumbang suara, semua berhak atas segala, yang satu tak perlu menyembah yang lain, yang lain sama dengan semua. (Baru Klinting, hal. 7-8)
Dengarkan kalian, orang-orang nyinyir, tak mengerti perang. Setajam-tajamnya senjata, bila digeletakkan takkan ada sesuatu terjadi. Sebagus-bagusnya panglima perang, bila ditinggalkannya senjata dan balatentara sebesar-besar pasukan akan binasa. (Wanabaya, hal. 37-38)
Kata orang tua-tua: bila berbahagia ingatlah pada mau yang semakin dekat. Bila hadapi mati hendaknya orang menghitung semua kebahagiaan yang sudah terlewati. (Putri Pambayun, hal. 51)
Tak ada kebesaran jatuh sebagai karunia dari langit. Bukankah semua mesti digalang dari pasir dan kerikil? Dilepa diikat dengan keringat? Dibikin cerlang bersinar dengan akal pikir? (Tumenggung Mandaraka, hal. 96-97)
Yang tak berdarah mati. Yang kekurangan darah lemah. Hanya yang berlumuran darah saja perkasa. Dan hanya si lemah berkubang dalam air matanya sendiri. (Tumenggung Mandaraka, hal. 104-105)

0 Komentar