Matahari Tenggelam


Kesedihan, keputusasaan, penderitaan, dan harapan di antara tekanan emosi dan sosial.

•••

Identitas buku:

Judul: Matahari Tenggelam

Penulis: Osamu Dazai

Penerjemah: Nurul Hanafi

Penerbit: Penerbit Kakatua

Tahun: 2022

Jumlah: 154 halaman

ISBN: 9786237543596

Kategori: fiksi


•••


Blurbnya:

Kisah ini dituturkan lewat sudat pandang Kazuko, seorang wanita muda yang lahir dari keluarga bangsawan tapi sekarang jadi miskin setelah kekalahan Jepang pada Perang Dunia II. Ibunya jatuh sakit, dan karena kondisi keuangan yang terbatas, mereka terpaksa tinggal di rumah sederhana di pedesaan. Kakaknya, Naoji, yang kecanduan obat terlarang selama perang, hilang di Pasifik Selatan. Ketika Naoji kembali, Kazuko menjalin hubungan dengan seorang novelis bernama Uehara, tapi hubungan romantis ini hanya semakin memperdalam keterasingannya dari masyarakat.


•••


Garis besarnya:

Mengambil latar usai Perang Dunia II, Jepang yang mengalami kekalahan mengalami banyak perubahan. Dalam masa transisi ke arah lebih modern, sebuah keluarga bangsawan Jepang harus berjuang mengatasi krisis kehidupan, yakni menghadapi kemiskinan. Kazuko dan ibunya terpaksa pindah ke rumah yang lebih kecil di sebuah desa. Saudara laki-lakinya, Naoji, sekembalinya dari Pasifik Selatan tenggelam dalam obat-obatan terlarang dan alkohol. 


Perubahan mendadak dalam struktur sosial di Jepang membawa tokoh-tokoh tersebut dalam dua pilihan: berjuang untuk terus hidup dan beradaptasi atau menolak hidup itu sendiri.


•••

Resensinya:

Meski sudah menguatkan hati untuk membaca karya sastra klasik Jepang yang kebanyakan muram dan bersentuhan dengan hati juga jiwa manusia, tetap saja saya merasa getir-getir gimana gitu seusai menamatkan “Matahari Tenggelam” (The Setting Sun) karya Osamu Dazai.


Matahari Tenggelam, novel yang memotret sebuah keluarga, usai kekalahan Jepang pada Perang Dunia Kedua, yang kehilangan status kebangsawanannya dan harta benda mereka serta berada di ambang kehancuran dan kemiskinan. Selain itu novel ini juga turut menggambarkan kehidupan transisi masyarakat Jepang ke arah modern atau menjadi masyarakat kontemporer yang perlahan, tetapi pasti menghancurkan aristokrasi Jepang. Buku ini cukup baik merepresentasikan bagaimana respon masyarakat Jepang sewaktu mengalami perubahan mendasar dalam kehidupan mereka—apakah kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut atau mampu beradaptasi—melalui karakter-karakternya, terutama tokoh utama: Kazuko.


Selain mengenalkan keadaan sosial Jepang kala itu, pembaca akan melihat lebih dekat kehidupan keluarga terhormat dalam menghadapi masa-masa sulit akibat kemiskinan. Melalui Kazuko, Osamu Dazai bakal membawa pembacanya melalui serangkaian kejadian tragis lagi menyedihkan yang dialami karakter lainnya. Melalui Kazuko pula pembaca mendapati bagaimana seseorang bisa dibeda-bedakan dengan orang lain karena statusnya.


Novel ini cukup baik memperlihatkan bagaimana optimisme dan pesimisme hadir dalam emosi para tokohnya memandang dan menghadapi perubahan.


Ibu Kazuko dan Naoji memilih bertahan dan bertindak dengan caranya sendiri. Tidak sekadar berkelas, dia juga tangguh secara moral, memahami kondisi kemiskinannya dan tidak menunjukkan rasa putus asa. Tetap penuh kasih sayang kepada anak-anaknya dan memikirkan keduanya meski sakit-sakitan parah. Sampai kematiannya pun sosok ini masih sosok ningrat yang agung.


Naoji, saudara laki-laki Kazuko, karakter menyebalkan yang memikirkan dirinya sendiri dan bermasalah dengan obat-obatan terlarang serta alkohol. Dia bahkan memiliki sejumlah utang yang membuat sang ibu dan Kazuko harus bersusah payah melunasinya. Naoji ini merepresentasikan kekalahan. Namun, ada banyak kejujuran dan kesadaran dari surat wasiat yang ditinggalkan kepada Kazuko yang membuat saya bersimpati kepadanya. Tidak menyangka saja dengan pikiran-pilihan-kegundahan-kefrustasian Naoji yang terlahir sebagai anak bangsawan.


Novelis Uehara, anak petani yang menjadi kaya karena karya-karyanya laris. Mirip dengan Naoji, Uehara cenderung bersikap pesimis sehingga karya-karyanya mandeg. Dia depresi dengan keadaan. Laki-laki ini memilih minum-minum dan mengabaikan istri-anaknya sebagai pelarian. Saya puas dengan cara Kazuko mengakhiri kebucinannya dengan Uehara, hahaha.


Ayah Kazuko dan Naoji ke mana? Oh, dia sudah meninggal sejak awal cerita. Jadi saya tidak perlu berpanjang-panjang soal beliau.


Lantas Kazuko sendiri seperti apa?


Kazuko sendiri dalam novel ini merupakan simbol optimis dengan segala ketidakpastian hidup dan situasi adanya transisi perubahan sosial akibat kekalahan Jepang. Osamu Dazai menggambarkan Kazuko memiliki karakter yang peduli, terutama dengan ibunya, bahkan memuja sang ibu; mau bekerja kasar untuk menghidupi dirinya dan ibunya serta sang adik selalu menghabiskan uang.


Sebagai orang yang secara sadar menerima kemiskinan keluarganya, saya menyukai karakter Kazuko yang memilih melanjutkan hidup dan yakin bahwa hidup tetap berarti selepas bersedih dengan kematian sang ibu dan adiknya. Melalui surat-suratnya, pembaca akan menyadari bahwa Kazuko memiliki pandangan hidup yang berbeda dari bangsawan lainnya bahkan bertekad menempuh hidup, khususnya percintaan, dengan pilihan yang kala itu patut dipertanyakan moralitasnya: rela menjadi istri simpanan Uehara dan ingin punya anak darinya dan dia pun berhasil. Duh, spoiler deh, hahaha.


Matahari Tenggelam tidak memuat konflik yang berat maupun alur yang rumit, tetapi mampu menghadirkan tema keluarga, cinta, ambisi, dan sisi terpuruk manusia dalam kisah penuh tragedi. Terjemahannya baik, membantu untuk memahami cerita. Cara bertutur Osamu Dazai juga lugas, jelas, dan diksinya sederhana.


Buku tipis ini cocok untuk pembaca yang ingin mengenal sastra klasik Jepang maupun Osamu Dazai itu sendiri.


Tertarik baca?


•••


Kutipannya:

Hanya karena punya gelar, bukan berarti orang itu bangsawan. (Hal. 3)


Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menyadari betapa mengerikan, sengsara, dan betapa tak tertolong hidup ini tanpa uang. (Hal. 18)


Kemiskinan bukanlah halangan. (Hal. 41)


Manusia aku tahu punya bahasa, pengetahuan, prinsip, dan tatanan sosial, tapi tidakkah semua binatang juga punya itu semua, meski dalam taraf yang berbeda? Mungkin binatang bahkan punya agama. Manusia menyombongkan kedudukannya sebagai raja semua makhluk, tapi akan terlihat seolah secara hakikat ia tidak berbeda sedikit pun daripada binatang lain. (Hal. 45)


Orang selalu memasang tampang serius kalau sedang berdusta. Keseriusan pemimpin kita dewasa ini! (Hal. 59)


Ketika aku berlagak terlalu cepat matang, orang mulai menyebarkan gosip bahwa aku terlalu cepat matang. Ketika aku berlaku seperti pemalas, rumor beredar bahwa aku pemalas. Ketika aku berlagak tidak bisa menulis novel, orang bilang aku tak bisa menulis. Ketika aku berlaku seperti penipu, mereka sebut aku seorang penipu. Ketika aku berlaku seperti orang kaya, orang mulai bergosip aku kaya. Ketika aku pura-pura tak peduli, mereka menggolongkanku tipe apatis. Tapi ketika aku secara tak mencolok perhatian menggeram karena sungguh kesakitan, mereka mulai bergunjing bahwa aku berlagak sakit. Dunia ini carut marut. (Hal. 59)


Bukan cinta yang jadi masalah seorang wanita. Seorang wanita tidak mudah dipahami. (Hal. 77)


Bahkan dalam hidup seorang wanita paruh baya terkandung hidup seorang gadis, bukan? (Hal. 77)


Jangan pernah kau jatuh cinta. Cinta membawa kesedihan. Kalau kau harus jatuh cinta, biarkan itu datang saat usiamu sudah menua, setelah tiga puluh. (Hal. 78)


Saya yakin orang-orang yang oleh dunia dianggap baik dan terhormat adalah tanpa kecuali para pendusta dan penipu. (Hal. 87)


Menunggu. Dalam hidup kita mengenal kegembiraan, kemarahan, kesedihan, dan ratusan emosi lainnya, tapi semuanya ini secara keseluruhan menghuni kurang dari satu persen waktu kita. Sisa sembilan puluh sembilan persen lainnya adalah hidup dalam penantian. (Hal. 87)


Kita semua tetap seperti anak-anak, tak peduli betapa jauh waktu berjalan. Kita tak paham apa pun. (Hal. 110)


Permusuhan. Itu adalah emosi yang dekat dengan kebencian, hal yang membuat tubuhku kaku. (Hal. 127-128)


Penderitaan, kesendirian, ketertekanan—itu semua menghancurkan hati. (Hal. 133)


Hanya mereka yang ingin terus hiduplah yang harus terus hidup. (Hal. 135)


Semua orang adalah sama. (Hal. 137)


Posting Komentar

0 Komentar