Identitas buku:
Judul: Neraka adalah Orang Lain
Penulis: Jean-Paul Sartre
Penerjemah: Pramesti Wijaya
Penerbit: Odise Piblishing
Tahun: Cetakan ke-2: 2023
Jumlah: 154 halaman
ISBN: 9786239758523
Kategori: Naskah drama, fiksi, filosofi
•••
Blurbnya:
Neraka adalah Orang Lain adalah buku yang berisi dua naskah drama terbaik yang pernah ditulis oleh Sartre: Sang Pelacur yang Terhormat dan Tiada Jalan Keluar. Melalui dua karyanya ini, Sartre berhasil membuat membuat filsafat Eksistensialismenya menjadi lebih hidup berkat konflik-konflik dan karakter yang ada di dalam kedua drama ini. Ide-ide filosofis ia jadikan lebih mudah dimengerti dan para pembaca bahkan tidak perlu tahu bahwa ini adalah karya Eksistensialis, yang artinya kita bisa menikmati kedua drama ini terlepas dari apa ide yang terkandung di dalamnya.
Pelacur yang Terhormat mengisahkan perihal seorang pelacur yang terjebak situasi rasisme di Amerika Serikat—situasi yang sama sekali di luar nalar dan nir-kemanusiaan. Sedangkan Tiada Jalan Keluar mengisahkan tentang tiga orang yang setelah kematiannya dijebloskan ke dalam neraka yang berbentuk sebuah kamar yang membosankan. Di dalam drama inilah kita bisa menemukan kutipan Sartre yang paling terkenal dan paling sering disalahartikan: “Neraka adalah orang lain.”
•••
Garis besarnya:
Terdiri atas dua naskah drama:
Naskah pertama berjudul “Pelacur yang Terhormat”. Lizzie, seorang pelacur, yang dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan yang menjelaskan jika Thomas, keponakan senator Amerika, melepaskan tembakan dan membunuh seorang negro karena negro tersebut hendak memerkosa Eliza dalam satu perjalanan di kereta. Lizzie menolak sebab cerita sesungguhnya tidaklah demikian. Dirinya bersikukuh jika negro tersebut tidak memerkosanya dan Thomas yang dalam keadaan mabuk beserta teman-temannya tanpa alasan yang jelas tiba-tiba menyerang dua orang negro lantas membunuh salah satu di antara mereka setelah matanya terkena pukulan.
Naskah kedua “Tiada Jalan Keluar” mengisahkan tentang tiga manusia—satu laki-laki dan dua perempuan—setelah kematiannya dijebloskan bersama ke neraka: sebuah ruangan yang berisi sofa, perapian, dan tanpa cermin. Garcin, desertir yang menganggap dirinya pahlawan, tukang selingkuh, dan penipu; Estelle, dia berselingkuh dan membunuh anak hasil perselingkuhannya sendiri; Inez, seorang lesbian yang kekasihnya (istri orang) melakukan bunuh diri.
Jika buku ini dibaca sekadar ala naskah drama atau biasa-biasa saja, saya rasa tidak perlu waktu lama untuk menyelesaikannya. Akan tetapi jika mencoba perlahan-lahan menikmati setiap ucapan tokoh-tokohnya, perlu waktu untuk menamatkannya.
Neraka adalah Orang Lain ini buku perkenalan pertama saya dengan Jean-Paul Sartre sekaligus buku paling tipis dari karya-karya lainnya yang saya miliki. Seperti The Stranger milik Albert Camus, saya tidak akan menyinggung atau mengaitkan soal filosofi ala Sartre dalam buku ini. Resensi saya hanya seputar apa yang saya tangkap usai membacanya.
Dalam naskah pertamanya “Pelacur yang Terhormat”, Sartre mengeksplorasi tema: rasisme kulit putih terhadap kulit hitam yang marak terjadi di Amerika pada tahun 1940-an; ketimpangan kelas sosial dan pelabelan Amerika-Negro; hegemoni para penguasa sebagai alat untuk menekan dan melanggengkan kekuasaan politiknya; dan tentang pilihan, kebebasan, serta tanggung jawab.
Sartre menuliskan naskah dramanya dengan menonjolkan adegan dan situasi penuh ketegangan tatkala seorang negro (teman negro yang meninggal itu) menjadi buron kepolisian sekaligus masyarakat Amerika, serta sewaktu Lizzie dalam tekanan untuk menandatangani surat pernyataan dari sepupu Thomas, Fred yang sengaja mencari Lizzie dan menidurinya, maupun pihak kepolisian. Selain itu, drama naskah pertama ini memberikan suasana sendu sewaktu percakapan Lizzie dengan sang negro terjadi.
Pembaca bakal mendapati meski Lizzie memperoleh tawaran berupa imbalan finansial asal bersedia menyatakan sebaliknya dan terjamin kerahasiaan kebohongannya, dia tetap teguh dengan pilihannya, membela sang negro yang tidak bersalah.
Saya menyukai pendirian Lizzie. Karakternya menunjukkan bahwa ada rasa keadilan dan kejujuran yang tidak bisa ditimbang dengan hal-hal yang bersifat materialistis. Kemudian, jika menilik tahun 1940-an di Amerika, profesi pekerja seks komersial masih dianggap sebagai pekerja kelas dua, pekerjaan yang paling tidak dihormati. Rendahnya kelas pekerjaan tersebut membuat sang tokoh utama mendapatkan perlakuan yang berbeda: menganggap bisa dibayar dengan uang, mendapatkan pelecehan, pandangan kurang menyenangkan.
Namun, keteguhan atas kejujurannya, dalam pandangan saya, membuat Lizzie menjadi terhormat dibandingkan dengan mereka yang memiliki gelar dan pangkat (yang mau menyuapnya, dll.) yang bahkan dipandang terhormat oleh masyarakat.
Namun sayangnya, pada akhirnya dia menandatangani pernyataan tersebut, hahaha. Sebenarnya saya kesal dengan akhir ceritanya, tetapi dari naskah pertama ini saya menarik pesan versi saya sendiri.
Dialog demi dialog yang bergulir dalam adegan tersebut menampilkan bagaimana saat seseorang telah sangat sadar memilih keputusannya, meyakinkan diri sendiri mampu membuat keputusan-keputusan tepat, tetapi sebenarnya tidak demikian. Keputusan apa pun bisa berubah tatkala disodorkan kenyataan jika pilihannya tidak sama dengan masyarakat umum, berbeda dengan kemungkinan orang lain tentukan. Kebebasan atas pilihan kita menjadi terbatas. Pilihan seseorang dan pilihan masyarakat menjadi bertentangan sehingga tanggung jawab akan pilihan pun ikut berubah. Kecenderungan individu lebih banyak memilih apa yang menjadi pendapat umum, pandangan masyarakat secara luas ketimbang pendapat pribadinya. Main aman begitu ceritanya.
Sartre seolah ingin mengajak kita memikirkan apakah selama ini kita dalam bertindak sudah berdasarkan pilihan dan keputusan kita sendiri ataukah berdasarkan pandangan orang lain? Sudah bebas nilai dari masyarakat, kah?
Itu belum termasuk dengan adanya orang-orang semacam senator Amerika yang tidak sekadar memainkan kedudukannya untuk mendominasi dan menguasai, melainkan juga piawai memanipulasi sehingga Lizzie dengan sukarela mengubah pikirannya. Sang senator mampu melihat hal-hal yang menjadi kebutuhan atau keinginan Lizzie (penerimaan dan pengakuan, khususnya dari sang ibu) sehingga memanfaatkannya.
Ada satu ironi dalam naskah pertama drama ini. Lizzie tidak hanya berubah pendirian, melainkan juga terbelenggu pada anggapan pekerja seks sebagai pekerjaan kelas dua (karena menerima iming-iming uang usai dimanipulasi). Dia memutuskan menerima tawaran Fred untuk tinggal bersamanya dan tidak diizinkan keluar selain pergi ke taman. Tidak hanya kebebasan memilih, tetapi kebebasan atas hidupnya pun dibatasi. Dia secara sadar mengizinkan orang lain untuk mengambil kebebasannya, mengizinkan orang lain mengambil tanggung jawab untuk menentukan pilihan dan tindakannya. Bukankan kita yang pada akhirnya bertanggung jawab atas tindakan kita?
Yah, perihal seks, SARA, dan kekuasaan memang bakal tetap langgeng sejak dulu, sekarang, dan (mungkin juga) nanti.
Lanjut pada naskah kedua: “Tiada Jalan Keluar”. Drama kedua ini jauh lebih kompleks ketimbang yang pertama. Meski masih sama mengulik perihal pilihan-kebebasan-dan tanggung jawab, dalam naskah ini Sartre menambahkan perihal identitas diri dan bagaimana identitas tersebut bernilai melalui kesadaran diri sendiri, serta pengaruh pandangan orang lain terhadap diri.
Melalui naskah kedua ini, ruangan yang jauh dari kengerian neraka versi dogma agama serta bertemunya tiga orang yang tidak saling kenal satu sama lainnya, Sartre mengajak pembaca menyelami hubungan antarmanusia. Dari saling tidak mengenal kemudian berkenalan, mengisahkan serba-serbi dirinya, dan bercerita sebab-sebab kematian lantas berlanjut pada munculnya ketegangan-ketegangan yang dikarenakan masa lalu saat tiap-tiap dari mereka masih hidup.
Dalam naskah kedua ini, manusia sebenarnya memiliki kebebasan dalam memilih dan mendefinisikan identitas serta nilai-nilai mereka sendiri yang disertai tanggung jawab atas pilihannya. Namun, terkadang manusia memendam kecemasan atas pandangan buruk/negatif orang lain terhadap dirinya. Lebih sering memikirkan bagaimana pandangan masyarakat terhadap pilihan identitasnya. Apakah sudah sesuai atau tidak. Apakah memang seperti yang kita pilih atau tidak.
Di lain pihak, ada beberapa orang yang juga mengalami kesulitan untuk terus terang dengan pilihan atau identitas yang sudah diciptakan sendiri. Mereka lebih banyak menyembunyikan identitas asli, tetapi enggan mendapatkan penghakiman atau pelabelan dari orang lain atau penilaian dari orang lain jika penilaian tersebut tidak sesuai dengan kepribadian atau nilai-nilai diri sehingga menolak pemberian identitas dari orang lain.
Di sisi lainnya lagi, ada juga manusia yang memilih menghindari tanggung jawab sehingga membiarkan orang lain memberikan dan mendefinisikan ulang identitas dan nilai-nilai mereka.
Dalam drama “Tiada Jalan Keluar”, ketiga manusia yang telah mati tersebut sebenarnya telah memiliki penilaian terhadap diri mereka masing-masing, tetapi Garcin dan Estelle memilih mencari pembenaran atas tindakan yang mereka lakukan alih-alih mengakui jika mereka memang seorang pengecut dan seorang pembunuh. Keduanya sama-sama berusaha meraih respon positif bahwa yang mereka lakukan tidaklah demikian: Garcin merasa sebagai pahlawan, sementara Estelle bukanlah pembunuh.
Berbeda dengan Inez yang menerima dirinya memanglah penjahat semasa hidupnya. Keterbukaannya justru dengan mudah menekan Garcin dan Estelle lewat pelabelannya yang berakibat mereka berusaha menyembunyikan ketakutan lagi kekhawatiran atas penilaian Inez dengan itu tadi: pembenaran.
Sama seperti “Pelacur yang Terhormat”, orang lain bisa mudah memberikan nilai menurut versi mereka. Dari hal tersebut, kita seakan-akan terjebak untuk terus menerima atau menolak atau malah mempertimbangkan pikiran orang lain atas tindakan kita, moral kita, kebebasan kita. Jika ini berlangsung selamanya yang tidak tahu kapan akan berakhir, maka semacam siksaan seumur hidup. Mirip dengan neraka.
Terkesan tidak menyenangkan, ya?
Kalau saya menyimpulkan dalam drama kedua Sartre ini bahwa meskipun manusia menyadari jika sejak lahir dirinya telah membawa kebebasan atau mampu menentukan pilihannya sendiri, tetapi sampai kapan pun tetap tidak akan bisa melepaskan keterkaitannya dengan orang lain. Kebebasan tersebut tetap akan mendapatkan intervensi dari orang lain yang berada di sekeliling kita.
Disadari atau tidak, manusia tetap menyertakan pandangan orang lain sebagai refleksi atau cerminan yang menentukan siapa kita, memengaruhi bagaimana pandangan atau penilaian diri kita itu seperti apa. Bukankah memang demikian, ya, jika sepanjang hayat, keberadaan orang lain masih diperlukan agar kita jauh lebih mendapatkan pemahaman tentang diri kita sendiri.
Pernahkan teman-teman sewaktu tengah merenung, berpikir tentang diri sendiri, mencoba lebih mengenal diri sendiri, atau muhasabah diri, kita memasukkan kata si A aku begini, kata si B aku begitu, kalau kata si C aku lebih oke kalau begono. Artinya sama saja kita menilai diri sendiri melalui pendapat-pendapat orang lain. Ada pandangan dari orang lain yang ikut memengaruhi.
Mumet? Wkwkwk.
Inti dari dua naskah drama Sartre ini cenderung pada bagaimana seseorang membiarkan mendefinisikan dirinya, memberikan nilai pada dirinya, apakah oleh diri sendiri atau mengizinkan orang-orang sekitar. Karena hal tersebut berpengaruh pada bagaimana kita bertanggung jawab pada pilihan kita.
Terjemahannya cukup baik dengan pilihan diksi yang mudah dipahami, buku ini cocok untuk pencinta filsafat maupun yang baru mempelajari filsafat sebab gaya berceritanya dengan model naskah drama membuat asyik untuk diikuti. Lebih singkat dan sederhana, meski memang pendalaman karakter dan penggambaran suasana kurang terbangun dan terkesan datar. Yang tidak ingin terlalu memusingkan filsafat dibaliknya pun masih bisa menikmatinya, asalkan tidak terlalu protes dengan format naskah drama.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Dan tidak ada seorang pun yang bisa memaksamu untuk memberikan kesaksian palsu. (Hal. 35)
Sayangnya, kebenaran adalah kebenaran. (Hal. 37)
Sering sekali mereka memaksa orang-orang untuk mengatakan hal-hal yang bertentangan dengan nurani mereka. (Hal. 50)
Ada hari-hari di mana kau mengintip ke dalam nuranimu sendiri, mengintip ke tempat-tempat rahasia di dalam dirimu, dan apa yang kau lihat di sana membuatmu ingin pingsan karena ngeri. (Hal. 62)
Hidupku sudah tertata rapi. Ia merapikan dirinya sendiri dengan baik atas kemauannya. Jadi aku tidak perlu repot-repot memusingkannya sekarang. (Hal. 82)
Jadi jika mereka melakukan kesalahan terhadapku, bisa juga mereka melakukan kesalahan terhadapmu. (Hal. 88)
Katakan padaku—apakah berpegang pada prinsip adalah sebuah kejahatan? (Hal. 89)
Masing-masing dari kita akan bertindak sebagai penyiksa bagi kedua orang lainnya. (Hal. 92)
Apakah kau pernah merasa seperti ini? Ketika aku tidak dapat melihat diriku, aku mulai bertanya-tanya apakah diriku ini ada. Aku menepuk diri sendiri hanya untuk memastikan keberadaan diriku—meski itu tidak cukup membantu. (Hal 95)
Di dalam pikiranku, aku selalu sadar akan diriku sendiri. Kesadaran yang sangat menyakitkan. (Hal. 95)
Apa yang harus kukatakan? Jangan irasional, Sayang. Aku tidak bisa membayangkan berada di posisimu. Kau sendiri yang harus memutuskan apakah kau seorang pengecut atau tidak. (Hal 132)
Tidakkah kau menyadari betapa menjengkelkannya harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh orang lain? (Hal. 138)
Bisakah kita menilai seseorang hanya berdasarkan satu tindakan saja? (Hal. 144)
Kau adalah hidupmu—tiada yang lain. (Hal. 145)
.webp)
0 Komentar