Identitas buku:
Judul: Sumur
Penulis: Eka Kurniawan
Penerbit: GPU
Tahun: 2021
Jumlah: 48 halaman
ISBN: 9786020653242
Kategori: cerpen, fiksi, iklim, romansa
•••
Blurbnya:
Sumur adalah cerita pendek karya Eka Kurniawan, nomine Man Booker International Prize 2016 dan peraih Prince Claus Laureate 2018. Cerita pendek ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris di antologi Tales of Two Planets dengan judul “The Well”, diterbitkan oleh Penguin Books pada 2020.
•••
Garis besarnya:
Cerita pendek tentang Toyib dan Siti yang saling menyukai sejak mereka kecil, tetapi perasaan itu terpaksa kandas usai ayah keduanya berduel yang menyebabkan ayah Siti tewas kena parang dan ayah Toyib masuk penjara. Sejak saat itu keduanya menjaga jarak dan tidak lagi saling bicara.
Kemarau panjang membawa mereka bertemu lagi di sebuah sumur, satu-satunya sumber mata air di sebuah lembah, di balik bukit kecil. Akan tetapi, pertemuan tersebut tidak mengubah apa pun dan Siti pada akhirnya memutuskan untuk pindah dan bekerja di kota. Di lain pihak, setelah bebas, sang ayah mengajak Toyib ke kota untuk bekerja sekaligus menemui Siti. Namun, hujan yang turun terus-menerus melumat Ayah Toyib pada luapan air sungai dalam perjalanan mereka ke kota.
Beberapa bulan kemudian Siti menikah dengan seorang supir yang, ternyata, telah memiliki istri. Mendengar kabar tersebut Toyib pun menerima usulan pernikahan dirinya dengan seorang gadis dari perkampungan sebelah.
Siti kembali ke kampung. Di sumur yang sama, Toyib dan Siti bertemu kembali. Cinta lama Toyib dan Siti bersemi kembali.
•••
Resensinya:
Saya membeli buku tipis seukuran A5 ini karena faktor penulisnya. Harganya bisa jadi bagi beberapa pembaca terasa mahal (Rp.50.000,00) mengingat jumlah halaman hanya sebanyak 48 lembar dan berupa satu cerita pendek (cerpen) saja. Bukan kumpulan cerpen atau novela, lebih-lebih novel. Mungkin terasa eksklusif karena, konon, dicetak sekali dan dalam jumlah terbatas dan berpotensi menjadi buku langka dan dikemas dalam bentuk yang terbilang unik lagi berbeda. Mungkin. Mungkin juga cuma trik marketing, hahaha.
Sumur. Ini mungkin kisah cinta dua sejoli, tetapi bisa juga perihal ekologi: air. Jika menilik Sumur pernah diterbitkan dalam Tales of Two Planets: Stories of Climate Change and Inequality in a Divided World, dalam pandangan saya besar kemungkinan tema pokok yang menjadi isu atau payung besar dalam cerpen ini yakni perubahan iklim. Air dan hal-hal yang berkelindan terkait air dalam cerpen ini sebagai pijakan utamanya: kekeringan/kemarau, kelangkaan, sumur, hujan, banjir; sementara romansa tragis Toyib dan Siti menjadi efek domino dari konflik air akibat perubahan iklim.
Meski tanpa bertutur awal mula perubahan iklim yang menyebabkan kemarau melanda, Eka mampu menyajikan alam yang tidak lagi ramah terhadap manusia: kondisi tanah-tanaman-bintang yang menyedihkan, kesulitan-kesulitan hidup akibat kekeringan yang berkepanjangan, bencana menerpa karena guyuran hujan yang gila-gilaan, rasa putus asa manusia yang berdiam di perkampungan Toyib maupun Siti hingga menjadikan urbanisasi menjadi pilihan hidup yang terlihat menjanjikan; hingga alih-alih mencoba memperbaiki alam lagi, manusia justru menambah daftar kerusakan sebagai cara singkat dan mudah mendapatkan uang dari para cukong.
Cerpen ini mampu membawa pembaca dalam suasana muram dan pilu sedari awal hingga akhir kisahnya. Tidak sekadar persoalan ekologi melainkan juga kisah getir dua sejoli yang menaunginya. Krisis ekologi bagaimanapun juga berdampak bagi kehidupan kita semua, ya alamnya ya manusianya. Dari semula berimbas ke lingkungan sekitar merembet ke permasalahan sosial.
Kalau dalam cerpen ini air menjadi sebab utama pertikaian ayah Toyib dan ayah Siti, kelangkaan air membuat tanah gersang dan orang-orang mencari rumput untuk makan binatang ternaknya perlu berjalan jauh dari tempat tinggalnya, orang-orang rela naik-turun bukit berkali-kali dalam satu waktu untuk mengambil air pada satu-satunya sumber air yang ada: sumur, hujan deras pun menelan korban.
Sederhananya dalam Sumur, kekeringan dan keberlimpahan air telah memutus kedekatan, mengakhiri persahabatan, memperpanjang kemiskinan, menghadirkan kesedihan, dan menuai kematian. Dalam Sumur pula, air menjadi alasan orang-orang menuju perkotaan dan menjelma harapan yang tidak pernah usai dipanjatkan untuk mengakhiri kekeringan. Ironinya, air juga sebagai media yang menjaga lagi menyuburkan cinta Toyib dan Siti.
Mengambil latar tempat di perkampungan yang terletak di tepi hutan atau di antara perbukitan dengan air sebagai sumber utama penghidupan, Sumur juga mengulik kisah dua manusia yang tidak semanis cerita cinta drama-drama yang berakhir bahagia. Toyib dan Siti yang bertemu kembali, memantik cinta lama bersemi lagi dengan masing-masing telah berpasangan sendiri-sendiri, perasaan mereka terlalu kelihatan oleh orang-orang yang memiliki tujuan sama: mengambil air di sumur.
Bagaimana tindakan mereka pada akhirnya membawa tragedi pada para pasangan, meninggalkan duka dan perih untuk Toyib dan Siti. Hal yang saya suka bahwa kisah keduanya meski pendek, tetapi sebagai pembaca saya bisa mengasumsikannya lebih panjang tatkala membaca akhir cerita Sumur. Barangkali beberapa pembaca akan menganggap kisahnya selesai atau menggantung, tetapi untuk saya justru menimbulkan persepsi-persepsi liar. Seperti Toyib yang memutuskan ke kota dan tidak pulang lagi malah terkesan melarikan diri dan meninggalkan Siti, dalam belenggu pandangan orang-orang, sebagai penyebab kematian para pasangan, hahaha.
Dalam pandangan saya, Sumur jika mau ditelaah lebih dalam lagi pun ada isu-isu sosial lainnya yang mengemuka: kekerasan dalam rumah tangga, perempuan dan penerimaan, tanggung jawab moral, dll. Namun, saya hanya menyoroti pada ekologi dan romansanya saja, sebab dua hal tersebut yang mendominasi dan kental terasa di sepanjang cerita.
Cerpen Sumur ini menggunakan bahasa yang sederhana dan alur linier sehingga mudah untuk dinikmati. Meski tidak bisa menikmati khas Eka Kurniawan yang magis seperti dalam kisah-kisah lainnya, tetapi cerita ini tetap memiliki kekuatan ala Eka: tema dan penokohannya.
Memiliki beberapa ilustrasi menarik, cerita pendek ini cocok sebagai bacaan ringan pelepas beban buku-buku bantal sebab sekali duduk kelar, maupun untuk yang ingin berkenalan dengan karya-karya Eka Kurniawan.
Tertarik baca?
•••
Kutipannya:
Seperti mudah diduga, sengketa kerap terjadi di antara para pemilik petak-petak sawah di sebelah kanan dan kiri kampung. Amarah lebih mudah muncul ketika musim panen tak lagi menghasilkan apa pun, dan ketika melihat anak-anak tak lagi tumbuh sehat. Senyum menghilang dari wajah para perempuan, dan kebijaksanaan menguap dari mata para lelaki. (Hal. 4)
.webp)
0 Komentar