Identitas buku:
Judul: Neraka Dunia
Penulis: Nur Sutan Iskandar
Penerbit: Balai Pustaka dan KPG
Tahun: 1937, 2020
Jumlah: 164 halaman
ISBN: 9786024812928
Kategori: novel, klasik, kisah cinta.
•••
Blurbnya:
Memang dewasa itu ia sudah diperkuda-kuda hawa nafsunya. Ia tidak memilih bulu lagi, tidak memandang daun atau dahan yang akan diseludukinya. Baik daun itu gatal berniang, baik pun pedih menggigit kulit, ia tak peduli. Kalau si nafsu menyuruh petik dan panjat, mesti dipetiknya dan dipanjatnya buah pohon gatal itu!
•••
Garis besarnya:
Berkisah tentang ketakutan Ahmad Saleh atas masa lalunya yang tidak kunjung hilang. Saat itu, dia terlena dengan dunia malam di sebuah kawasan pelacuran di Surabaya bersama sahabatnya, Aladin. Hampir setiap hari mereka menghabiskan malam di lorong-lorong gelap tersebut hingga keduanya terkena penyakit sifilis. Aladin meninggal di rumah sakit jiwa sementara Ahmad Salam mulai merasakan gejala aneh pada tubuhnya. Karena malu, dia pun berobat ke dukun alih-alih ke dokter, dan dinyatakan telah sembuh. Dia insaf dan memutuskan pulang ke Jakarta menjadi pemuda baik-baik dan meneruskan Toko Usaha Kita, toko perkakas rumah tangga milik ayahnya. Awalnya dia tidak berminat untuk menikah karena khawatir dengan riwayat penyakitnya sampai dirinya jatuh cinta dengan Aisah dan mereka pun menikah. Terus menyimpan rahasia justru membuat penyakit Ahmad Salam kambuh kembali dan menjangkit istrinya sehingga membuat Aisah gila dan bayi mereka meninggal dunia.
•••
Resensinya:
Entah karena tidak terlalu laris manis atau bagaimana, saya mendapatkan buku ini ketika cuci gudang Gramedia di Solo dengan harga yang sangat-sangat terjangkau. Saya sebenarnya tidak terlalu berekspektasi tinggi dengan novel ini selain penasaran dengan cerita klasik Indonesia era Baru Balai Pustaka. Dan … benar saja. Selepas membacanya ini bukan buku genre saya. Namun, mengesampingkan cerita cinta di dalamnya, saya menganggap buku ini tetap menarik meski puluhan tahun telah berlalu lamanya.
Neraka Dunia merupakan novel yang mengusung tema romantisme sejoli manusia era sebelum kemerdekaan Indonesia dengan bumbu penyesalan dan ketakutan akan masa lalu sang tokoh utama.
Meski novel ini menceritakan perjalanan seorang Ahmad Salam dari yang menceburkan diri dalam pergaulan bebas kemudian tersadar karena penyakit sifilis hingga memutuskan menikah dengan Aisah, Neraka Dunia mampu mengangkat permasalahan sosial yang sebenarnya sampai sekarang pun saya rasa masih jamak ditemui di tengah-tengah masyarakat: kehidupan malam, prostitusi, sampai gangguan mental.
Melalui penyesalan dan ketakutan seorang Ahmad Salam, pembaca setidaknya bisa menyikapi pencarian kesenangan yang sembrono tanpa dipikirkan bisa menyusahkan di masa depan; perlunya penguasaan diri atas nafsu yang berputar-putar pada selangkangan. Kan, yang repot juga diri sendiri (dan juga keluarga) kalau sampai terkena penyakit kelamin. Kemudian untuk kondisi-kondisi kesehatan tertentu alangkah baiknya memilih sistem medis modern ketimbang sistem medis alternatif sebagai sumber pengobatan. Lebih tepercaya, meski kembali ini adalah pilihan masing-masing orang. Selanjutnya yang tidak kalah penting yakni membiasakan kepada para calon-calon pasangan pengantin untuk memeriksakan kondisi kesehatan serta riwayat penyakit yang dimiliki sebelum menikah.
Sayangnya, dalam buku ini perempuan memiliki stigma tidak baik: menjadi sumber petaka, menjadi tersangka utama penyakit kelamin tersebut, menjadi biang berkembangnya bibit bencana. Bahkan, penyakit sifilis kala itu masih disebut sebagai penyakit perempuan. Duh. Pelacur dan pelacuran diasosiasikan sebagai neraka dunia. Kalimat-kalimatnya sangat misoginis sekali. Solusi untuk mengatasinya pun hanya berpusat pada rehabilitasi perempuan yang bekerja sebagai pelacur, tidak secara menyeluruh menyentuh kaum laki-laki pula. Tidak sepenuhnya salah, dalam buku ini faktor ekonomi menjadi penyebab utama banyak perempuan menjadi pelacur.
Mengambil latar Jakarta (dan Surabaya) jelang akhir kolonialisme Belanda, saya tersenyum-senyum membaca pergaulan pemuda Jakarta pada masa itu yang terbilang modern: yang pergi nonton, bermain musik, pertemuan sesama pemuda; membayangkan betapa lengangnya jalan di Jakarta kala itu; serta menikmati romansa hubungan Ahmad Salam dan Aisah sejak perkenalan, jatuh cinta, PDKT, hingga masa-masa awal pernikahan mereka.
Nur Sutan dalam pandangan saya berhasil menghadirkan konflik batin yang dialami oleh sang tokoh utama. Kegelisahan, ketakutan, perasaan merana tergambarkan dengan baik. Hanya saja, penutup kisahnya saya merasa terlalu terburu-buru. Coba bisa lebih panjang sedikit sehingga perubahan sikap Aisah lebih natural, tidak tiba-tiba.
Gaya bahasa yang digunakan dominan menggunakan bahasa Melayu dan diselingi bahasa Belanda. Barangkali karena tahun 1930-an bahasa Melayu masih menjadi pengantar karya sastra Indonesia. Bagi sebagian pembaca, gaya Melayu bisa jadi sulit dipahami meski kosakata yang digunakan sederhana, sementara untuk istilah bahasa Belanda ada terjemahan artinya pada lembar-lembar belakang buku ini.
Buku ini cocok dibaca oleh remaja, pencinta cerita-cerita cinta, kisah ringan yang tidak terlalu banyak berpikir, serta penggemar karya klasik.
Jadi … minat baca?
•••
Kutipannya:
… kita harus menurutkan arus zaman. Lebih-lebih orang dagang, mesti tahu apa-apa yang digemari orang. (Hal. 8)
Selama ini, dan sampai sekarang ini pun juga, anak-anak muda Indonesia hanya berlomba-lomba menuntut ilmu pengetahuan untuk mencari pekerjaan di kantor-kantor pemerintah. Perkara ekonomi yang mahapenting itu diabaikan, padahal kemajuan suatu negara hanya akan cepat-pesat apabila ekonomi dalam negara itu kuat dan ada di tangan anak negeri sendiri. (Hal. 10)
Kepala yang sama hitam, tetapi pendapatan berlain-lain. (Hal. 24)
Mau atau tidak mau, hal itu bergantung kepada gerak sukma. Dan sebelum kita memilih salah sebuah daripada keduanya, harus kita pikirkan dalam-dalam dahulu elok buruk dan melarat manfaat usulmu itu. (Hal. 50)
Tetapi engkau ingat, kawin itu, lebih-lebih bagi seorang gadis, suatu jalan untuk berbahagia. Ingat! Lebih-lebih bagi seorang gadis sebab baginya ‘gadis’ itu hanya sekali. (Hal. 51-52)
Kebanyakan nasib perempuan tergantung pada kawin pertama, kawin gadis itu: beruntung atau celaka! Sebab itu, oleh gadis-gadis, sebelum kawin harus ditilik betul-betul dahulu kelakuan, perangai, tabiat, bahkan segala-galanya tentang laki-laki yang akan ditumpanginya. Bukan terutama tentang perkara uangnya sebab sebagian besar bahagia itu tidak terletak pada uang, tidak tersebab oleh harta saja. (Hal. 52)
0 Komentar