Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur

Buku yang perlu dibaca dengan pikiran terbuka

•••

Identitas buku:

Judul: Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur, Memoar Luka Seorang Muslimah

Penulis: Muhidin M. Dahlan

Penerbit: Warning Books

Tahun: Cetakan ke-24: 2023

Jumlah: 251 halaman

ISBN: 9786235879123

Kategori: fiksi, novel


•••

Blurbnya:

Dia seorang muslimah yang taat. Tubuhnya dihijabi oleh jubah dan jilbab besar. Hampir semua waktunya dihabiskan untuk salat, baca kitab, dan berzikir. Dia memilih hidup yang sufistik. Demi laku kezuhudan itu dia kerap dia hanya mengonsumsi roti dalam jumlah sangat terbatas di sebuah pesantren mahasiswa. Cita-citanya hanya satu: untuk menjadi muslimah yang beragama secara total.


Tapi, di tengah jalan ia diterpa badai kekecewaan. Organisasi garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat islam di Indonesia yang diidealkannya bisa mengantarkannya berislam secara total-penuh, ternyata malah merampas nalar kritis sekaligus imannya. Setiap tanya yang dia ajukan dijawab dengan dogma yang tertutup yang melahirkan resah dan kehampaan. 


Dalam keadaan kosong itulah dia tersuruk dalam dunia hitam. Ia lampiaskan frustasinya dengan seks bebas dan mengonsumsi obat-obat terlarang. Tak ada rasa sesal kepada Tuhan usai ia bercinta dengan para aktivis sayap kiri dan kanan yang meniduri dan ditidurinya. Bahkan, dari petualangan itu dia berjumpa dengan seorang anggota DPRD dari partai “Islam” dan sekaligus dosen di sebuah kampus “Islam” yang menyediakan diri menjadi germnya dalam jual-beli jasa seks kepada para pejabat tinggi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.


•••


Resensinya:

Kata-kata “jemaah” ini adalah semacam lingkaran yang di dalamnya ada siklus suci sebagaimana dalam Alquran dinyatakan bahwa mereka yang berjemaah masuk surga. Jemaah di situ adalah sebuah lingkaran suci yang diliputi orang-orang yang berjuang di jalan yang diridai Allah. Jadi, bila ada yang coba curiga atau bertanya kritis, dianggap sebagai orang yang melakukan dosa-dosa kecil dalam hati. Inilah masalahnya, Jemaah sendiri sudah dianggap suci. (hal 86)


Aku tidak tahu lagi mau apa dan mau ke mana. Ketika Ia kudekati, Ia menyempal. Lalu, apa bedanya aku ber-Tuhan dan tidak kalau begitu, Ah, aku tidak pernah bisa mengerti maunya Tuhan itu apa. Ia kipasi kepercayaanku kepada-Nya. Dan kurs kepercayaanku kepada-Nya pun bergerak perlahan, tapi panahnya menuju ke titik nol. (hal. 98)


Untuk garis besar cerita, saya rasa blurb sudah cukup mewakili gambaran buku Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur (selanjutnya saya tulis: TIAMP). Jadi saya langsung ke resensinya, ya.


Buku yang saya miliki ini merupakan cetakan terbaru edisi 20 tahun TIAMP hadir menjadi salah satu buku yang cukup berpengaruh di Indonesia. Saya tulis demikian karena pada awal-awal tahun buku ini muncul banyak menuai kecaman, entah dari segi judul atau muatan cerita, tidak sedikit yang memuji bahkan sampai menjadi bahan penelitian ilmiah bagi mahasiswa maupun peneliti. Menarik, kan.


Membaca TIAMP ibarat menyingkap sepenggal kehidupan manusia melalui perjalanan kisah seorang Nidah Kirani, sang tokoh utama, dari yang gigih berjuang mati-matian atas nama agama kemudian berubah menjadi petualang seks. Akar utama konflik dalam diri Kirani dalam pandangan saya yakni kekecewaan dan kemarahan. Dia menaruh ekspektasi berlebihan terhadap agama yang kemudian masih ditambah luka karena perbuatan kekasih pertamanya, realitas membuatnya tenggelam dalam ketidakberdayaan mendalam sehingga berimplikasi pada perilaku yang cenderung memberontak aturan-aturan sosial, agama, dan memilih bersikap kontroversial sebagai upaya menggugat Tuhan yang menurutnya tidak bisa berbuat apa-apa. Ada pelampiasan yang dilakukan sang tokoh utama terhadap iman dan cinta kepada Tuhan, perlawanan atas dominasi laki-laki, dan perlawanan atas konsep cinta-pernikahan-seksualitas.


“Judulnya memancing sekali, ya, sangat kontroversial.” Ah, enggak juga. Anggap saja ini semacam strategi marketing. Kan memang penulis harus cari judul yang nendang biar laku, hahaha. Lantas apakah muatan isinya juga seheboh judulnya? Nah, kalau ini kembali ke masing-masing pembacanya. Beda kepala bisa jadi beda sudut pandang. 


Saya memandang buku ini menarik untuk dibaca sebab tidak sekadar membicarakan fenomena sosial melainkan juga mengulik perspektif teologis secara kritis. Gus Muh melalui narasi dan deskripsi dalam novel ini berhasil menelanjangi kebrobrokan lagi kemunafikan orang-orang yang terlihat idealis dan religius. Meski Gus Muh merekamnya kala itu, tetapi masih cukup relevan sampai kapan pun. Seberapa kenal atau seberapa tahu atau seberapa banyak orang yang berlindung atas nama agama atau dakwah di sekitar kita? Bukankah memang orang munafik—tidak melulu perihal agama—memang selalu ada di mana-mana?


Membicarakan perihal kondisi sosial, novel ini juga penuh dengan pemikiran-pemikiran kritis dari seorang Nidah Kirani yang telah kepalang basah terendam kekecewaan. Isu-isu seperti moralitas (perempuan, pelacur, dan pelacuran), konsep budaya (maskulinitas, patriarki, pernikahan) dan pengetahuan beragama menguar sepanjang buku ini yang dalam kacamata sang tokoh utama terasa memuakkan dan menyesakkan.


Gus Muh melalui tokohnya mencoba melemparkan kritik atas posisi perempuan yang berada di bawah laki-laki dengan dalih agama maupun budaya; perempuan tidak sejajar dan tidak memiliki hak yang sama, termarginalisasi; stereotipe berupa norma sosial menganggap seks hanya boleh setelah menikah, setelah legal dalam lembaga suci antara laki-laki dan perempuan; membicarakan seks di luar itu adalah tabu; sang tokoh utama beranggapan jika pernikahan merupakan bentuk pemenjaraan, ego, dan kepemilikan sehingga membuat perempuan pada khususnya terkungkung. 


Lebih-lebih Gus Muh menyoroti doktrin-doktrin agama yang sering kali dikemukakan kepada mereka yang imannya dangkal, membredel keraguan dengan dogma-dogma keagamaan; pemimpin organisasi keagamaan maupun jemaah fanatik yang kerap kali menilai dirinya sebagai kebenaran dan yang paling … apalah; agama hanya dijadikan sebagai pemikat/daya tarik suatu organisasi jemaah dalam mendapatkan anggota maupun menggemukkan kas organisasi; serta maraknya jihad-jihad mengatasnamakan agama, dan tertutup dalam diskusi-diskusi keagamaan yang konservatif. Masyarakat terlalu sibuk memperhatikan aspek spiritual diri sendiri dan menempelkan standar moral kepada orang lain.


Tidak berhenti mengupas fenomena sosial, Gus Muh juga menyinggung perspektif teologi berupa cerita-cerita dosa dan siksa neraka agar manusia taat beragama; sakralitas agama seperti kisah-kisah bidadari surga, boleh berpoligami, pengabdian perempuan kepada satu laki-laki dengan ganjaran surga serta ancaman banyaknya perempuan di neraka jika tidak berbakti. 


Dalam pandangan saya, Gus Muh juga tidak melulu menuliskan pertentangannya atas banyak hal. Gus Muh ingin menyampaikan agar perempuan terus bersemangat serta menunjukkan keinginannya yang kuat terutama dalam mengatur dirinya sendiri. Melalui pilihan Nidah Kirani untuk aktif dalam pelacuran, sedikit banyak ingin menyuarakan bahwa perempuan juga memiliki kuasa atas dirinya sendiri, atas tubuhnya, dan tidak sekadar dinilai hanya berdasarkan selaput tipis bernama selaput dara.


Perlu juga kita pahami bahwa penyembahan kepada Tuhan adalah persoalan yang bersifat individual, termasuk tatkala pembaca mendapati dua bab terakhir buku ini Kiran membangun sendiri tata cara pengabdiannya, mengukuhkan ritual hubungannya dengan Tuhan, mencintai dan mengimani Tuhan dengan caranya sendiri.


Melalui gaya bahasa ringan dan mudah dibaca serta menggunakan sudut pandang pertama (aku), novel TIAMP sesungguhnya mengajak kita untuk duduk sebentar, merenung, meminta kita untuk membuka pikiran, dan belajar dari perjalanan tokoh utama. Siapa pun bisa menjadi Nidah Kirani. Siapa pun bisa mengalami kekecewaan dan kemarahan yang sama seperti Nidah Kirani. Siapa pun bisa memutuskan untuk berpaling dari Tuhan seperti Nidah Kirani. Bagaimana kita menjalani ritual ibadah dengan ekspektasi secukupnya. Siapa saja masih bakal terus menjalani perjalanan hidup yang tidak menentu. 


Jika menilik usia Nidah Kirani yang masih muda atau berstatus mahasiswa, usia pencarian jati diri memang rawan-rawannya terpengaruhi. Belum lagi gejolak api berkobar-kobar dalam hati yang jika tidak hati-hati justru malah membakar diri. Mungkin itu yang menjadi penyebab novel ini banyak meninggalkan lubang sebab sang tokoh utama tatkala dalam kondisi tertekan dengan kemarahan alih-alih mencari pertolongan ke keluarga atau teman lain atau orang yang kali pertama mengajaknya masuk ke organisasi atau minimal melihat ke dalam diri sendiri malah langsung potong kompas ke obat-obatan terlarang dan seks. Kelabilannya terlihat jelas dengan beberapa perilaku yang kontradiktif seperti pendapatnya perihal pernikahan padahal dirinya berasal dari keluarga yang baik-baik saja dan harmonis atau banyak monolog yang terkesan dia tidak peduli dengan Tuhan, tetapi diam-diam masih menginginkan Tuhan memperhatikannya.


Sikap sang tokoh utama cukup untuk membuat kita senantiasa memandang dunia dengan pikiran yang jernih, hati tenang, dan bersikap wawas diri


Terakhir saya ingin menyampaikan jika TIAMP adalah salah satu buku bagus. Mau membaca atau tidak, mau terpengaruh atau biasa saja usai membacanya pun kembali kepada masing-masing pribadi. Bacalah jika ingin membaca dan jangan memberikan tanggapan atau penilaian buruk atau jelek terlebih dahulu. Bacalah dengan pikiran terbuka.


Jadi … minat baca?


•••


Kutipannya:

Aku mengimani iblis. Lantaran sekian lama ia dicaci, dimaki, dimarginalkan tanpa ada satu pun yang mau mendengarnya. Sekali-kali bolehlah aku mendengar suara dari kelompok yang disingkirkan, kelompok yang dimarginalkan itu. Supaya ada keseimbangan informasi. (hal. 14/143)


Betapa mudahnya seorang manusia disalahkan oleh sesamanya atas nama yang di Atas: TUHAN. (hal. 97)


Aku tidak meyakini kekuatan seorang manusia sebelum ia dibenturkan oleh realitas. Bahkan, realitas yang paling buruk sekalipun. (hal. 131)


… setiap manusia harus bertanggung jawab atas setiap risiko yang diperbuatnya. (hal. 133)


… kelemahan tak boleh menjadi alasan seseorang untuk mengangkat bendera putih kekalahan. (hal. 163)


Manusia adalah satu-satunya makhluk munafik yang diciptakan Tuhan. Manusia adalah makhluk yang gila akan harga diri sehingga ia akan kuat-kuat mencengkeram baju peradabannya. (hal. 233)


Bukankah hitam-putih kehidupan, manusia juga yang menciptakan? (hal. 233)


Terkadang melalui dosa yang dihikmati, seseorang bisa belajar dewasa. (hal. 240)


Kita, manusia ini belum memiliki kekuasaan saja sudah senang melarang-larang sesuatu. Lalu bagaimana kalau memang kekuasaan itu dipunyai? Bayangkanlah! (hal. 243)


Posting Komentar

0 Komentar