24 Jam Bersama Gaspar, Sebuah Cerita Detektif

•••

Identitas buku:

Judul: 24 Jam bersama Gaspar, Sebuah Cerita Detektif

Penulis: Sabda Armandio Alif

Penerbit: Buku Mojok

Tahun: Cetakan kelima: 2019

Jumlah: 228 halaman

ISBN: 9786237284178

Kategori: novel, saya bingung mau mengategorikan apa, hahaha.

Prestasi: Juara Unggulan Sayembara Novel DKJ 2016


•••


Blurbnya:

Tiga lelaki, tiga perempuan, dan satu motor berencana merampok toko emas. Semua karena sebuah kotak hitam.


•••


Garis besarnya:

Gaspar, berusia pertengahan tiga puluhan berencana merampok sebuah toko emas milik Wan Ali dalam kurun waktu 24 jam. Dalam rentang waktu itulah Gaspar merekrut sejumlah rekan untuk membantunya merampok. Komplotan dalam menjalankan misi tersebut dipilih secara manasuka alias acak: Afif, seorang perempuan yang menarik perhatian Gaspar sebab mengenakan kaos Budi Alazon yang kemudian diubah namanya menjadi Agnes; Kik, mantan pacar Gaspar; Njet, mekanik langganan Gaspar sekaligus pacar baru Kik; Bu Tati alias Pingi, wanita yang memiliki distorsi ingatan karena penyakit alzheimer; Yadi alias Pongo, anak Bu Tati yang bekerja di toko emas; serta Cortazar, motor Kawasaki Binter Mercy 1976 yang konon dirasuki Jin Citah.


Setelah lengkap, keenam orang dan satu motor tersebut memulai rencananya merampok toko emas Wan Ali. Bukan untuk mengambil emas di sana. Bukan. Melainkan untuk sebuah kotak hitam.


•••


Resensinya:

Sebelum saya mulai meresensi, siapa yang senang (atau tahu atau pernah) nonton film antipahlawan (antihero) semacam Deadpool, Suicide Squad, Maleficent, Venom, Joker? Nah, kemungkinan besar juga bakal menikmati membaca novel yang satu ini. 24 Jam Bersama Gaspar boleh saya katakan sebagai novel yang menggunakan tokoh antihero sebagai karakter utama: Gaspar yang ingin merampok toko emas. 


Pada saat membaca lembar pertama tertulis kata pengantar dari Arthur Harahap, saya cukup lama berhenti untuk berpikir: Arthur Harahap itu siapa? Perasaan namanya Abdullah Harahap, deh, emang ada Harahap lainnya? Bahkan saya sempat-sempatnya searching buat kepoin itu nama untuk memastikan. Hasilnya … setelah upaya absurd tersebut saya lantas tertawa dan baru sadar kalau Dio—sapaan penulis—memberikan humor sebagai pembuka novelnya. Dari situ saya memandang jika novel ini bakal penuh kejutan dan berbeda sebab pembukaannya saja sudah dikemas dengan parodi.


24 Jam Bersama Gaspar merupakan novel Dio pertama yang saya baca. Sebuah novel antihero dengan jalan cerita acak, tokoh-tokohnya acak dan komplotannya terbentuk mendadak, motif absurd, percakapan absurd, tetapi pada akhirnya semuanya bisa terajut apik lagi menarik menjadi satu kesatuan utuh.


Terdiri atas delapan bab, Dio menyusun novel ini dengan cara yang unik yakni membaginya dalam dua plot: pertama, menggunakan sudut pandang orang pertama (aku), pembaca bakal menikmati keseruan Gaspar merekrut para partner in crime kemudian bersama komplotannya menjalankan misinya serta mengenal lebih dekat karakterisasi mereka; lantas yang kedua, menggunakan sudut pandang orang ketiga berupa transkrip interogasi seorang polisi dengan saksi kunci yang bakal bikin pembaca terpingkal-pingkal.


Plot-plot tersebut ditulis bergantian dan terkesan tidak saling berkaitan satu dengan yang lain. Namun, siapa sangka dari dua pola yang berbeda itulah terbangun pondasi satu cerita berupa sebuah peristiwa yang bakal berlangsung (Gaspar cs merampok toko emas) yang sesungguhnya merupakan kilas balik kejadian beberapa hari kemudian usai komplotan tersebut sukses dengan perampokannya (penyidikan polisi dengan seorang wanita, tepatnya salah satu anggota Gaspar: Bu Tati). Yaa … bayangkan saja seperti sedang menonton penyelidikan detektif dengan saksi pada sebuah film yang kemudian flashback ke saat-saat sebelum semuanya terjadi. 


Meski novelnya acak dan absurd, kemudian jalinan plotnya juga tidak linier plus alurnya maju-mundur, saya yakin pembaca masih bisa menyusun puzzle semrawut yang Dio sebar dan membentuknya menjadi satu cerita utuh nan solid. Barangkali ini maksud subjudul Sebuah Cerita Detektif yang, memang buku ini, bukan cerita detektif arus keras yang serius seperti pakem-pakem umumnya, melainkan kisah perampokan. Dalam pandangan saya, Dio ingin membuat satu kisah antimainstream tentang detektif dengan mengajak pembaca untuk mengikuti lompatan-lompatan alur dan plot komplotan perampok toko emas melalui investigasi polisi dengan saksi maupun Gaspar saat membeberkan deduksi pada Wan Ali, atau menerka akhir cerita yang tidak terungkap secara keseluruhan, dan mereka jalinan detail-detail yang acak melalui sudut pandang Gaspar cs. Ingat, jangan harap ada kisah detektif yang serius, ya, dalam buku ini.


Hal yang menyenangkan dalam buku ini selain gaya bahasanya yang ringan dan enak dibaca yakni humornya. Terkadang ceritanya begitu serius, tetapi ujug-ujug percakapannya bisa berganti candaan spontan ala warung kopi layaknya kita guyonan dengan teman sendiri: mulai dari Fight Club, Dewa, Club 80’s, dll. Dialog serius dan lemparan gurauan tersebut cenderung satire dan sarkastis, meski saya merasa terkadang ada yang terlalu dipaksakan untuk lucu. Ngomong-ngomong saya sempat jenuh pada tengah-tengah buku sebab terlalu banyak narasi yang ngalor-ngidul.


Berbicara mengenai tokoh-tokohnya yang terkesan acak dan suka-suka gue begitu, sayang sekali, selain Gaspar, karakter mereka tidak terlalu berkembang. Lebih ke stagnan dan pelengkap aksi semata. Saya cukup tersentuh dengan kisah Gaspar yang terburai jelang akhir buku ini, meski cukup kesal dengan egoisme tokoh tersebut. Novel 24 Jam Bersama Gaspar, kalau hasil pembacaan saya ya, ini semacam obsesinya yang harus terwujud: entah kotak hitam Wan Ali, merekrut komplotan harus mengikutinya, pada musik dan Budi Alazon, sampai yakin Coltazar kerasukan Jin Citah dan memiliki kehendak sendiri. Namun, ya sudahlah, barangkali kejadian hidupnya membuat Gaspar mempunyai keinginan demikian. 


24 Jam Bersama Gaspar dalam pandangan saya menyiratkan karakteristik masyarakat Indonesia pada umumnya yang memiliki kecenderungan memandang sesuatu hanya dari penampilan luarnya saja. Melalui perjalanan kompolotan Gaspar, Dio ingin mengajak merenungi konsep moralitas baik dan jahat pada diri seseorang. Seperti apakah orang baik itu dan bagaimanakah orang jahat itu. Kerap kali manusia memandang dan menilai seseorang entah dari penampilannya maupun perbuatan yang terlihat baik maka seterusnya orang tersebut selalu dianggap baik, tanpa mempertimbangkan cela-cela yang kemungkinan orang itu lakukan atau aspek-aspek lainnya.


Setiap orang punya versi kebaikan dan kejahatannya masing-masing, dan versi tersebut belum tentu sama baik dan jahatnya dalam pandangan orang lain. Baik menurut saya belum tentu Anda sepakat. Jahat menurut saya belum pasti Anda setuju. Namun, perbuatan jahat tetaplah jahat, apa pun alasannya.


Selain itu, novel ini memotret kelakuan masyarakat Indonesia yang terkadang gemar main hakim sendiri dan memaksa seseorang untuk mengaku bersalah, bahkan tidak sedikit juga yang rela melakukan tindakan apa saja asal bisa mengungkapkan sesuatu, semacam menguak kebenaran tertentu, hehehe.


Novel ini memiliki akhir kisah yang mengejutkan dan bikin saya merasa nyos agak-agak hampa begitu …. Saya bahkan membaca dua-tiga kali untuk memastikan ending-nya. Rasa-rasanya kayak … ah, baca sendiri saja, ya, saya enggak mau spoiler.


Didukung dengan bonus ilustrasi-ilustrasi menarik, menjadikan buku ini patut dibaca siapa saja. Ngomong-ngomong novel ini akan dialihwahanakan ke media film. Sudah lihat trailernya? Kalau belum bisa cek di sini (https://www.youtube.com/watch?v=txnx6itJBOY)


Jadi … minat baca?


•••


Kutipannya:

Ingat, Sahabat, tiada yang lebih berbahaya selain cerita yang memaksamu percaya bahwa kebaikan selalu mengalahkan kejahatan, sebab ia akan membuatmu tumpul dan zalim. (hal. vii)


Perasaan dasar seperti ketakutan, kecemasan, dan kesedihan selalu sama dari masa ke masa. (hal. xii)


Manusia akan selalu menemukan jalan untuk menjadi bodoh. (hal. xii)


Pengalaman mengajarkan saya banyak hal tentang datang dan pergi, hidup dan mati; dan meski saya mengerti semua itu memang proses alamiah. (hal. 9)


Anak zaman sekarang memang suka terburu-buru. Kau harus mengerti seni menunggu dan seni mengatur rencana. (hal. 43)


Cuma pecundang kelas berat yang tidak membela keluarganya sendiri. Di mana kehormatanmu sebagai manusia, hah?


Segala sesuatu di negeri ini lebih mudah kalau punya orang dalam. (hal. 70)


Mencuri itu candu yang tidak akan membawa kita ke mana-mana (hal. 71)


Tidak ada gunanya menjelaskan sesuatu kepada seseorang yang sedang marah, mereka cuma mau dengar apa yang mereka pingin dengar. (hal. 72)


Menurutmu, Yadi, jika hasil rampokan dibagi adil, apakah akan mengurangi dosanya? (hal. 73)


Aku tak tahu bagaimana cara membayangkan diriku sendiri bahagia. (hal. 100)


Aku menepuk dahi, ingin menyebut nama tuhan, tapi tuhan terlalu rumit untuk dilibatkan dalam percakapan manusia. (hal. 100)


Orang-orang baik melakukan hal jahat dan beralasan apa yang dia lakukan demi kebaikan. Kita akan selalu menemukan pembenaran terhadap apa pun. (hal. 139)


Tidak semua hal perlu kau tahu. (hal. 149)


Dan sekarang aku sudah mengerti. Kalian sampah peradaban, mencari pembenaran melalui agama dan tetek bengek sialan untuk membenarkan pedofilia dan memperkaya diri. (hal. 205)


Bercanda kau. Mana ada manusia di dunia ini yang tidak tertarik untuk mengetahui rahasia orang lain? (hal. 216)





Posting Komentar

0 Komentar