Ketika alam membalas dendam.
Identitas buku:
Judul: Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta
Penulis: Luis Sepúlveda
Penerjemah : Ronny Agustinus
Penerbit: Marjin Kiri
Tahun: Edisi kedua: 2017
Jumlah: 133 halaman
ISBN: 9789791260718
Kategori: novela, fiksi, petualangan, cinta, ekologi
•••
Blurbnya:
Di desa kecil di tengah rimba raya Ekuador, seorang kakek tua menyepi mencari kedamaian ditemani novel-novel cinta picisan yang didapatnya dari rumah bordil hilir sungai. Tapi kedamaian rupanya mustahil saat “peradaban” terus merangsek masuk menembus hutan. Ladang minyak. Demam emas. Perburuan. Alam pun membalas dendam lewat seekor macan kumbang. Seisi desa terancam dan si kakek tua tahu tak ada yang sanggup menghadapi hewan itu selain dirinya.
Kisah memukau tentang belantara Amazon dari seorang penulis Cile yang diasingkan oleh rezim militer Pinochet. Telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa dan difilmkan ke layar lebar.
•••
Garis besarnya:
Antonio José BolÃvar Proaño, atau Pak Tua, tinggal di kota kecil El Idilio, di tengah belantara Ekuador. Pada usianya yang telah senja, dia hidup sendiri, menyepi, mencari ketenangan ditemani novel-novel bertema kisah cinta—terutama yang menyedihkan, memilukan, penuh penderitaan, tetapi berakhir bahagia—yang dia dapatkan dari seorang dokter gigi yang rutin datang setahun dua kali. Kedamaian tersebut perlahan sirna tatkala para pendatang menembus dan menggerogoti Amazon melalui ekspedisi tambang emas, eksplorasi minyak, hingga perburuan satwa. Akibatnya, perusakan alam pun tidak terelakkan dan alam membalas mereka melalui kemarahan dan teror seekor macan kumbang betina yang pasangannya terluka sementara anaknya menjadi korban ketamakan manusia.
Setelah memakan korban, Wali Kota lantas membentuk tim untuk memburu macan kumbang tersebut dan mendesak Pak Tua turut serta di dalamnya sebab Wali Kota tahu hanya dia yang memahami seluk beluk hutan dengan baik beserta cara menghadapi hewan itu.
•••
Resensinya:
Lagi-lagi, saya menyukai karya Luis Sepúlveda yang satu ini seperti saya menyenangi pula buku Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang (resensinya di sini). Bukunya tipis, ukuran novela, hanya seratusan halaman, tetapi padat berisi, dan penceritaannya begitu runut lagi apik. Tema-tema yang diangkat oleh Luis pun masih semangat tentang alam atau lingkungan.
Tidak sekadar perihal cinta, Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta lebih banyak menuturkan kritik atas perilaku serampangan manusia terhadap alam melalui eksploitasi hutan secara besar-besaran. Saya meyakini jika pembaca bisa dengan mudah mendapatkan informasi maupun berita-berita terkait tindakan membuka hutan ini terjadi di beberapa negara. Bahkan, para pendatang ini pun melakukannya secara terang-terangan sebab telah mendapatkan persetujuan atau izin dari pemerintah setempat. Hal tersebut Luis ceritakan dengan baik dalam buku ini melalui tokoh wali kota atau biasa disebut Si Gendut.
Dalam buku ini—juga secara nyata—kerakusan manusia atas alam berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan sekitar, entah tempat tinggal manusia itu sendiri maupun makhluk hidup lainnya. Sampai pada batasan tertentu—dalam kacamata alam, pastinya—ketamakan tersebut membawa ketidakseimbangan ekosistem, menyebabkan beragam kejadian yang tidak mengenakkan, jika dalam buku ini dikisahkan melalui teror macan kumbang, tetapi dalam keseharian kita alih-alih air terserap tanah malah banjir menyapa atau longsor yang tiba, alih-alih teduh malah panas, alih-alih tenang malah binatang turun gunung mencari makan, alih-alih musim hujan tiba malah anomali cuaca, dll.
Luis menggambarkan dengan baik tokoh-tokohnya. Antonio José BolÃvar Proaño sebagai karakter penyendiri yang menyukai ketenangan dengan membaca buku-buku roman dan memiliki kemampuan memahami alam dengan baik, meski karenanya dia terlambat menyadari bahwa dunia sesungguhnya banyak berubah dan bergerak maju; penduduk asli hutan (suku Shuar) yang masih memercayai mitos-mitos magis dan memegang teguh kepercayaan setempat; wali kota/Si Gendut yang tidak disukai warganya karena gemar menaikkan pajak, memungut retribusi, menyalahgunakan wewenang, menjual izin berburu, dst; hingga macan kumbang betina yang menebar teror mencekam pada lembar-lembarnya.
Tidak sekadar tokoh, Luis pun apik mendeskripsikan peradaban Ekuador pada abad ke-19, kehidupan orang-orang sekitar Amazon dengan kehidupan belantaranya, relasi keseimbangan antara alam dengan manusia, kemudian bergeser ke kedatangan para orang asing membabat hutan, mencari emas, mendirikan permukiman menyebabkan habitat suku asli maupun binatang terdesak dan menyingkir.
Lebih jauh, Luis juga menghadirkan situasi dilematik siapa yang diburu dan memburu. Apakah tim yang dibentuk wali kota (meski pada akhirnya, justru Pak Tua yang satu lawan satu dengan macan kumbang sementara yang lainnya pulang) yang memburu sang binatang atau hewan itu yang memburu manusia? Barangkali ini bisa menjadi perhatian lagi perenungan bagi pembaca jika manusia rupa-rupanya gemar main playing victim dengan alam. Menuding alam hendak membinasakan manusia, tetapi bukankah semua itu terjadi karena manusia pula yang melukai alam lebih dulu?
Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta juga tidak berhenti pada kritik atas kerusakan alam, melainkan juga perihal cinta. Sebagaimana yang telah saya singgung di awal resensi, buku ini juga membicarakan cinta. Dalam definisi yang bermacam-macam. Kalau saya boleh menyebutnya, ada sang tokoh utama yang mencintai istrinya dan alam melalui kedamaian yang terpelihara selama ini. Dia juga mencintai buku! Sangat menyenangkan membaca Pak Tua yang begitu tahu dirinya bisa membaca, meski tertatih-tatih, tetapi keinginan kuat itu terus hadir sampai dia mendapatkan obatnya: sebuah buku kisah cinta. Kemudian ada cinta Pak Wali Kota terhadap kekuasaan dan uang, cinta yang hadir melalui keselarasan hidup berdampingan dengan alam, serta cinta tulus dari Luis Sepúlveda terhadap Amazon.
Benar-benar buku yang mengajak pembaca untuk lebih dan lebih mencintai alam sebab bagaimanapun juga manusia tetap bagian dari alam itu sendiri, tidak hanya sejak dulu maupun sekarang, melainkan juga generasi yang akan datang. Buku ini bisa membawa pembaca untuk lebih memahami alam, memaknai bahasa-bahasa alam yang kita sama-sama ketahui makin berumur usia bumi, alam pun makin renta. Kalau tidak cakap membaca alam, menghormati alam, dan bernegosiasi dengannya, mau bagaimana manusia di masa mendatang sementara kebutuhan kian meningkat dan jumlah manusia kian bertambah.
Hal yang saya dapatkan lainnya dari buku tipis ini adalah relasi sosial. Melalui perjalanan hidup Antonio, pembaca akan mendapatkan kisahnya yang menikah dengan seorang gadis karena perjodohan, tetangga yang julid karena sang istri belum ada tanda-tanda hamil yang membuat mereka meninggalkan kampung halaman dan mengikuti program transmigrasi di sekitar Amazon. Di tanah yang baru dibuka itu pun Antonio kesulitan bertahan hidup sampai Suku Shuar membantu mengajari cara berkomunikasi dengan alam untuk bercocok tanam atau mendirikan bangunan. Setelah istrinya meninggal karena sakit akibat ganasnya cuaca, Antonio menjalani hidup sehari-hari bersama Suku Shuar, mengikuti kebiasaan masyarakat tersebut. Layaknya peribahasa di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Ngomong-ngomong saya menyukai kover cetakan kedua ini, lebih terkesan misterius dan menyeramkan dengan sepasang mata mengintai dari rerimbun dedaunan (kover lainnya—yang pertama ada laras api, yang terbaru/ketiga yang head to head—bisa dicek di sini). Pas sekali dengan isi bukunya: aksi menembus belantara hutan Amazon dan perburuan manusia-macan kumbang.
Tidak ketinggalan, terjemahan dalam buku ini bagus sekali. Menggunakan diksi yang mudah dipahami, bahkan dalam beberapa bagian terasa pas humornya (hal yang paling membuat saya tertawa yakni saat dokter gigi mencabut gigi pasiennya, tanpa obat bius, dan dengan lantang mengatakan: “Salah siapa sakit gigi? Salahkukah? Salahkan pemerintah kalian sakit gigi.” wkwkwkwk.).
Novela ini cocok untuk siapa saja, sejak remaja pun oke. Bacaan bagus dalam sekali duduk untuk mengasah kepekaan kita kepada alam.
Jadi … minat baca?
•••
Kutipannya:
Hidup dan teruslah hidup. (Hal. 12)
Macan kumbang yang kalap dalam duka lebih bahaya ketimbang dua puluh orang pembunuh digabungkan bersama. (Hal. 18)
Cemilan lezat satu lagi. Pemerintah hidup dengan menggerogoti warganya. Selama kita tidak terlalu dibikin berang karenanya. (Hal. 22)
Inilah cinta sejati tanpa tujuan lain kecuali cinta itu sendiri. Tanpa kepemilikan dan tanpa cemburu. (Hal. 39)
Tak ada yang bisa mengikat kilat dan tak ada yang bisa mengambil kebahagiaan orang lain pada saat ia dicampakkan. (Hal. 39)
Menurut balada-balada ini, cinta itu ibarat sengatan lengau yang tak bisa dilihat tapi diburu oleh tiap orang. (Hal. 50)
Buku-buku sejarah tampak olehnya bagai rentetan dusta. (Hal. 55)
Hutan ini menggerogoti kita. Kalau kita tak punya tujuan pasti yang hendak dicapai, kita cuma berpusing-pusing melingkar-lingkar. (Hal. 93)
Macan kumbang bisa mencium bau maut yang tak diindahkan banyak orang. (Hal. 118)
.webp)
0 Komentar