Napas Mayat

Ketika manusia membenci Tuhan dan sesamanya dan lebih mengakrabi sisi gelapnya.


•••

Identitas buku:

Judul:  Napas Mayat

Penulis: Bagus Dwi Hananto

Penerbit: GPU

Tahun: 2015

Jumlah: 183 halaman

ISBN: 9786020315225

Kategori: novel, fiksi, kekerasan, perundungan


•••


Blurbnya:

Pemenang III Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2014


Aku memotongnya dengan sangat rapi, membuang lemak yang tidak dipakai sehingga hanya tersisa beberapa potong daging besar saja dari kaki, dada, dan tangan. Semua jeroan dari bagian bawah sampai jantung kujadikan satu. Kupotong-potong dan kutambah bumbu dapur dan berbagai sayur mulai dari wortel, kol, buncis, dan kesukaanku kacang polong; menjadi sup mangkuk besar, siap buat disantap. Berporsi-porsi mangkuk aku ciduk dari panci sup. Berkali-kali sampai lenyap ditelan mulut.


Inilah salah satu novel juara sayembara menulis paling prestisius di Indonesia.


Ada sesuatu di dalam novel ini yang telah membuat para juri memilihnya menjadi salah satu pemenang. Sesuatu yang kompleks, brutal, menyimpan dendam, sekaligus keindahan.


Napas Mayat mempertanyakan Tuhan, cinta, dan arti kemanusiaan di zaman sekarang.


•••


Garis besarnya:

Dulu, Aku (tokoh utama) hidup dalam kemewahan harta dari sang ayah, terus-terusan berpesta, mengundang teman-teman. Saat sang ayah mengalami kebangkrutan, semua berubah dan semua menghilang. Di Kota A, Aku yang berumur tiga puluhan akhir hidup ditemani kesunyian bersama si Hitam dan Frigid, anjing yang datang-pergi sesuka hati, serta melakukan pekerjaan monoton setiap hari. Suatu ketika, Aku membunuh Mama Besar, tetangga apartemen sebab tidak tahan dengan tatapan merendahkan dan celaan fisik gendut dan kepala botak. Aku memutilasinya, memakannya, dan menyisakan kepala untuk disimpan sebagai pajangan di kulkas. Sensasi memakan manusia menyergap dan membuat Aku ingin mengulangi lagi.


•••


Resensinya:

Meski tidak sampai dua ratus halaman, tetapi membaca buku ini cukup melelahkan dan mengesalkan. Melelahkan karena ukuran tulisan yang cenderung kecil dan rapat. Mengesalkan karena karakter Aku yang selalu mengulang-ulang deritanya, terus meratapi hidupnya, kemudian di bab-bab akhir cerewet dengan kesadaran berketuhanannya, wkwkwk. Namun, mengesampingkan itu semua, buku ini bagus. Setidaknya Napas Mayat novel bernuansa filosofis-psikologis yang mampu membuat saya memikirkan sisi lain dari diri manusia: ketika manusia memilih membenci Tuhan dan sesamanya, manusia ada kemungkinan bersahabat dengan sisi gelapnya, yang kalau dalam buku ini tokohnya bernama si Hitam.


Napas Mayat, novel pemenang ketiga Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta Tahun 2014, merupakan novel perjalanan batin kehidupan sang tokoh utama yang cenderung kelam dan suram. Perjalanan semasa hidup sampai matinya.


Buku ini mengajak pembaca menyelami perasaan seorang manusia yang mengalami depresi. Tokoh Aku dalam buku ini merasa kalah telak dengan kehidupan dan merasa tidak beruntung di dunia setelah kejayaannya sewaktu masa muda menghilang dan padam. Pengalaman pahit tersebut membawanya pada kesendirian yang menyiksa sehingga berdampak pada cara pandangnya terhadap dunia, sekitar, dan pribadinya. Akumulasi bertumpuk-tumpuk merongrong dirinya hingga memicu tindakan kejahatan yang tidak terbayangkan (pembunuhan, mutilasi, dan kanibalisme)


Lebih jauh, buku ini juga memotret bahwa di dunia yang kita tinggali ini, ada manusia yang kerap mengalami pergulatan internal dengan dirinya sendiri, mengalami pergumulan batin yang tidak berkesudahan (tidak selalunya berakhir dengan kanibalisme, lho). Napas Mayat menyoroti ancaman ketika manusia memilih sisi gelapnya, menuruti ego dan nafsunya yang menguasai akibat terjebak dalam labirin kesepian, kesendirian, tanpa kasih sayang, serta memendam rasa sakit dan amarah karena hinaan dan ejekan (rambut botak di usia tiga puluhan akhir, gendut, enggak menarik blas kalau kata si Aku). Melalui tokoh Aku, novel ini mengingatkan pembacanya bahwa setiap dari kita berpotensi memiliki kejahatan-kejahatan tersembunyi.


Terdiri atas delapan bab, buku ini terbagi dalam dua bagian penceritaan. Paruh pertama berkisah tentang Aku yang waktu muda begitu kaya, perkasa, dan dipuja kemudian menjadi Aku yang kehilangan segalanya. Pada bagian ini, Aku bertemu si Hitam, tidak memercayai Tuhan, menganggap Tuhan telah mati. Lanjut Aku menggugat orang-orang sekeliling bersikap tidak adil kepadanya. Mempertanyakan pudarnya kemanusiaan hingga akhirnya dirinya mematikan kemanusiaan saat melakukan kanibalisme.


Perasaan tidak menentu yang tidak tertangguhkan itulah menjadi celah kegelapan meracuni jiwanya, melahapnya dengan pemikiran-pemikiran yang benar dalam versinya sendiri yang menyebabkan tokoh utama kian terpuruk dan tersesat.


Pada setengah pertama ini, pembaca mendapati cara Aku memandang dunia yang cenderung absurd, menilai sejauh mana eksistensinya, mengasihani diri sendiri, terjebak dengan kebahagiaan masa lalu, tertampar realita, sampai mengalami delusional. Aku yang depresi mengiyakan sisi gelapnya untuk menjadi pembunuh, memakan para korban, dan mengoleksi kepala mereka dalam stoples-stoples.


Jangan berharap pembaca akan mendapati logika pembunuhan ala-ala buku bertema thriller atau misteri. Semua itu tidak dikisahkan secara masuk akal. Lebih ke pemakluman. Bagaimana aroma anyir menghilang, kecepatan membersihkan TKP, kecurigaan polisi, dll. dikisahkan lempeng-lempeng saja. Ya, karena ini bukan novel tentang thriller apalagi detektif, tema yang diangkat bukan itu, maka saya sarankan pada bab pembunuhan sampai memakannya menjadi sup atau jenis lainnya lebih baik dinikmati saja proses membacanya, hehehe.


Pada paruh kedua buku ini, merupakan titik balik sang tokoh utama. Aku mengalami kecelakaan, koma, putus asa dalam dunia limbo (kondisi seperti di film Inception yang tidak memiliki realitas), hingga tersadar kembali setelah diberi kesempatan untuk menebus dosa-dosanya. Pada bagian terakhir inilah, pembaca mendapati proses pertobatan, penerimaan diri, ketegangan konflik batin dengan sisi gelap atas kesadaran memaafkan diri dan dunia, serta kembali percaya kepada Tuhan.


Sebenarnya, ramuan plot model demikian mungkin pernah pembaca temukan di sejumlah bacaan lainnya, ketika tokoh utama menyadari bukan dunialah yang kejam kepadaku, tetapi hanya aku yang salah memaknai kehidupan. Ternyata masih ada orang yang mencintaiku dan baik kepadaku tanpa memandang penampilanku. Secara garis besar, begitulah bagian kedua buku Napas Mayat.


Sebagaimana telah saya sampaikan di awal resensi kalau buku ini mengesalkan karena kelakuan tokoh utamanya yang mengulang-ulang baik deritanya maupun kesadarannya kembali, memang sepanjang buku ini, Bagus menuliskan narasi perasaan Aku secara terus-menerus di setiap halaman. Pengulangan ini di satu sisi bisa memantik empati serta memberikan kesan bahwa Aku merasa benar dengan apa yang dia rasakan dan dipikirkannya. Namun, bagi saya, pengulangan justru membosankan. Saya lebih menyukai dialog-dialog Aku dengan Hitam, manifestasi sisi gelap Aku: ketika Hitam memuji, memberikan masukan, menggarami luka, dst. 


Hal lain yang saya peroleh dari novel ini yakni sikap pengendalian diri, terutama dalam bertutur kata. Kita tidak pernah tahu dalam kondisi bagaimana lawan bicara kita. Niat kita mungkin bercanda, tetapi baginya bisa jadi menyakitkan dan membuat terluka. Jangan sampai kata-kata menjadi pemicu sebuah tragedi. Cukup Perang Dunia Pertama saja, hahaha.


Selain itu, jangan berburuk sangka lebih dulu terhadap dunia sekalipun kehidupan memang tidak menawarkan keadilan. Kita bisa mengisinya dengan kebersamaan, kehangatan, dan lebih mengasah kepekaan empat terhadap sesamanya. Jadilah peduli satu dengan yang lain. Tidak perlu menunggu orang lain terlebih dulu, kita bisa memulai untuk membuka diri, mengakui kesalahan, dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Semua hal tersebut merupakan proses kehidupan yang tidak boleh dilewatkan.


Menggunakan POV orang pertama dan alur campuran, buku ini penuh narasi panjang serta minim dialog. Bacalah buku ini pelan-pelan sebab diksinya meski lugas, tetapi menyiratkan makna tertentu. Unsur surealis juga nampak di sejumlah adegan, seperti gagak yang berbicara, kepala mayat yang bisa ngomong, sampai adegan Aku membunuh si Hitam. 


Buku ini cocok untuk pembaca dewasa sebab sarat pesan-pesan kehidupan yang bisa dijadikan quotes. Buat yang tidak menyukai adegan mutilasi dan memasak daging manusia (sebenarnya tidak terlalu berdarah-darah dan mencekam, cenderung biasa saja seperti orang memotong ayam dan memasaknya) siapkan stamina perut ketika memutuskan membaca buku ini. Bagi yang tengah mengalami perasaan tersisihkan atau dalam fase membenci dunia atau kecemasan dalam bentuk apa pun, barangkali bisa menahan diri dulu untuk coba-coba baca. Teruntuk yang mencari kisah berakhir bahagia, tentu bukan buku ini jawabannya.


Napas Mayat, sebuah novel perihal sisi gelap manusia yang menguasai kesadaran dirinya sehingga membuat manusia tersebut terjebak dalam nafsunya. Nah, apakah kita akan menjadi pribadi yang dikendalikan oleh nafsu? Apakah kita menjadi manusia yang melupakan esensi kemanusiaan dan mengabaikan spiritual?


Jadi … minat baca?


•••


Kutipannya:

Manusia selalu terkejut melihat dia berubah dari waktu ke waktu. (Hal. 1)


Hanya karena uang, seseorang dapat jadi tuhan kecil bagi kehidupan. (Hal. 8)


Sejak sebermula, kemanusiaan sudah mati. Kemanusiaan tenggelam bersama perubahan zaman yang menyalipkan berbagai alasan sok rasional dan akhirnya dilupakan oleh manusia itu sendiri. (Hal. 18)


Manusia-manusia tidak bisa menangkap kebenaran karena mereka sudah tidak peka. (Hal. 33)


Tahun-tahun berlalu dan ketika kita menemukan orang yang dulu pernah bersama kita melihat kita berubah dalam keadaan yang jelek dan buruk, kita akan cemas, takut dan ingin cepat-cepat bergegas darinya. Tapi bila kita bertemu dengan teman lama yang bertahun-tahun tidak ketemu dan kita menjadi besar, kita merasa sombong di depannya dan memamerkan kesombongan itu. Inilah kita, manusia. (Hal. 43)


Bukan kematian yang akan membebaskan seseorang dari kekangan apa pun; melainkan menjalani kehidupan dengan ikhlas, sabar, dan penuh rasa syukur yang akan membawa kebebasan pada orang itu. (Hal. 149)


Setiap manusia memiliki kejahatan yang besar maupun yang kecil. Hanya banyak sekali yang tidak nampak dan yang tampak sepertimu harus dijebloskan di penjara sementara belum pasti apakah orang yang menjebloskanmu ke penjara itu bersih dari kejahatan atau tidak. Menurutku pastilah mereka punya aib yang disembunyikan. Setiap orang pasti pernah melakukan kejahatan. Tidak mungkin tidak. Akan sangat absurd jika seseorang tidak memiliki kejahatan di dalam dirinya. (Hal. 173)


Posting Komentar

0 Komentar