•••
Identitas buku:
Judul: Malam Terakhir
Penulis: Leila S. Chudori
Penerbit: KPG
Tahun: Cetakan ke-4: 2017
Jumlah: 117 halaman
ISBN: 9786024241322
Kategori: fiksi, kumpulan cerpen
•••
Blurbnya:
“Leila bercerita tentang kejujuran, keyakinan, tekad, prinsip, dan pengorbanan …. Banyak idiom dan metafor baru di samping pandangan falsafi yang terasa baru karena pengungkapan yang baru. Sekalipun bermain dalam khayalan, lukisan-lukisannya sangat kasat mata.” H.B. Jassin, pengantar Malam Terakhir edisi pertama.
“Dalam cerpen ‘Air Suci Sita’, ditulis di Jakarta 1987, Leila memulai ceritanya dengan kalimat: ‘Tiba-tiba saja malam menabraknya.” Sebuah kalimat padat yang sugestif dan kental …. Dengan teknik bercerita yang menarik, Leila berhasil mengangkat gugatan mengapa hanya kesetiaan wanita yang dipersoalkan, bagaimana dengan kesucian para pria? (...) Sebagai awal dari perjalanan panjang Leila sebagai salah seorang penulis di masa depan, kumpulan ini penuh janji.” Putu Wijaya, Tempo, Februari 1990.
•••
Resensinya:
Buku kumpulan cerpen karya Leila ini yang pertama saya baca. Sebelumnya, Leila pernah menerbitkan “Malam Terakhir” pada tahun 1989 yang kemudian direvisi dan sekarang yang saya baca. Saya tidak tahu versi sebelumnya seperti apa, tetapi dua dekade kemudian, setelah paksaan dan dukungan sang putri, Leila mantap menerbitkan kembali kumcer ini.
“Malam Terakhir” terdiri atas sembilan kumpulan cerita pendek yang memuat fenomena sosial beserta ironinya seputar politik, moralitas, patriarki, hingga pola asuh dalam keluarga. Buku ini mengajak pembaca untuk menyimak permasalahan tersebut yang sejatinya cenderung klise dalam ruang-ruang sosial kemasyarakatan hingga pemerintahan, tetapi kerap terabaikan.
Menggunakan tokoh yang didominasi perempuan, Leila seolah tengah menggugat kehidupan bermasyarakat serta mengeksplorasi psikologi mereka dalam menghadapi permasalahan-permasalahan seperti sopan santun, pernikahan, ketidakpercayaan, hubungan orangtua-anak, dan kisah lainnya yang berakhir tragis. Tulisan-tulisan dalam buku ini cenderung muram, beberapa malah menarik pembaca untuk turut bersimpati dan menorehkan iba.
Meski tema dalam kumcer ini sudah jamak diceritakan oleh penulis lainnya, tetapi kisah-kisah yang awalnya disusun tahun 1980-an tetap relevan dibaca sampai sekarang. Kesembilan cerita pendek tersebut di antaranya:
PARIS, JUNI 1988
Tentang seorang gadis yang tengah berkelana di Paris. Alih-alih mendapatkan hal-hal yang menyenangkan dan menarik hati, dia menemukan kota yang kacau, jauh dari keramahan, dan absurd. Sang gadis menginap di sebuah penginapan dan berjumpa dengan Marc, pria misterius dengan suara-suara riuh setiap waktu; dan wanita tua beraroma kubis busuk yang memelihara sepasang tikus.
ADILA
Mengambil tema pola asuh dalam keluarga, Adila, seorang anak penurut yang memiliki imajinasi dan membentuk dunianya sendiri. Sang Ibu digambarkan sebagai tokoh yang tegas dan cenderung otoriter terhadap keluarganya, sedangkan sang ayah tidak memberikan andil berarti selain memberikan referensi bacaan kepada Adila. Gadis tersebut lebih banyak berinteraksi dengan karakter-karakter imajiner seperti Ursula Brangwen, AS Neill, hingga Stephen Dedalus. Adila merasakan hidupnya berada di bayang-bayang kendali sang ibu dan segala pemikirannya terkukung. Dia lantas ingin merayakan kebebasan dirinya melalui segelas cairan Baygon.
AIR SUCI SITA
Sita menerima surat dari tunangannya. Dia gelisah sebab empat tahun menjalin LDR banyak hal yang berubah, termasuk dirinya yang memiliki teman dekat laki-laki selain tunangannya. Meski demikian, Sita berusaha menjaga dirinya, keperawanannya, sebab teringat sepenggal kisah Ramayana yang mengisahkan adegan Rama meragukan Sinta dan memintanya untuk menceburkan ke dalam api sebagai pembuktian kesuciannya. Cerpen ini mengedepankan kesetiaan antara dua sejoli serta menyindir kehidupan sosial yang kerap menempatkan perempuan dalam posisi tersudut atas patriarki.
SEHELAI PAKAIAN HITAM
Sebagai penulis, Hamdani dan Salikha memiliki perbedaan pandangan terkait dunia kepenulisan. Salikha “lebih berwarna” dengan menulis apa yang dia rasakan dan tidak ingin terbebani dengan moral untuk mengubah masyarakat. Berkebalikan dengan Hamdani yang memilih untuk mengikuti pasar dan merasa memiliki tanggung jawab moral untuk mengubah masyarakat berbuat kebaikan. Hamdani lebih senang menampilkan dirinya dengan gaya “putihnya” sampai Salikha mendapatinya berpakaian hitam di malam pekat di sebuah rumah prostitusi. Cerpen ini menonjolkan dikotomi hitam-putih serta perilaku munafik seseorang yang ingin ditampilkan kepada masyarakat.
UNTUK BAPAK
Berkisah tentang bagaimana sosok bapak dalam benak sang anak serta menampilkan kedekatan keduanya. Menukil tokoh-tokoh dalam Mahabarata terutama Bhisma, sang anak mendapatkan kabar kematian sang ayah.
Sejujurnya, saya kurang begitu paham dengan cerita ini karena tidak dijelaskan penyebab kematian sang ayah dan apa yang membuat ayah tersebut serupa Bhisma dalam pandangan sang anak. Cerpen ini menyoroti kesendirian Bhisma (sang ayah yang memutuskan hidup sendiri meski istrinya telah tiada); bekerja dan beribadah untuk masyarakat; serta panah-panah Srikandi yang membunuh Bhisma (entah apa maksud metafora ini).
KEATS
Tami dalam perjalanan pesawat ke Indonesia teringat dengan ucapan orang tua dan tantenya yang mengharapkan dia segera menikah dengan calon yang telah mereka tentukan, Hidayat, karena kedudukan dan status sosial, padahal Tami telah memiliki kekasih. Melalui Tami, Leila ingin menegaskan bahwa perempuan memiliki hak untuk memilih dan memutuskan masa depan.
ILONA
Ketika hubungan orang tua tidak lagi hangat karena salah satu di antaranya berselingkuh menyebabkan Ilona memiliki ketidakpercayaan atas ikatan pernikahan. Sang anak tumbuh menjadi pribadi tidak tergoyahkan termasuk dalam kepemilikan atas tubuh dan hidupnya sendiri. Dia bahkan tidak membagi ruang privasinya kepada siapa pun yang ada di rumahnya dan memilih untuk membesarkan anak tanpa ada ikatan pernikahan sebelumnya.
SEPASANG MATA MENATAP RAIN
Rain, balita dua tahunan yang memiliki ketertarikan akan banyak hal dan terus mengucapkan kata ‘kenapa’ yang membuat orang tuanya kehabisan kata untuk menjelaskan. Selain menyoroti perihal minimnya perhatian orang tua kepada anak karena lebih mengutamakan hobi maupun aktivitas lainnya, kisah ini menyindir kesenjangan sosial melalui adegan Rain dengan pengamen cilik.
MALAM TERAKHIR
Sebagai penutup sekaligus judul buku, Malam Terakhir mengisahkan para aktivis: si Gemuk, si Kurus, si Kacamata, dan si Perempuan yang dijebloskan ke penjara dan mengalami siksaan. Eksekusi mereka rupa-rupanya menjadi sebuah pertunjukan seni masyarakat kelas atas.
Dari sembilan cerita tersebut, saya menyukai Ilona. Kisahnya cukup antimainstream sebab melawan konsep umum perihal pernikahan yang ada di masyarakat.
Kumpulan cerita pendek ini memiliki karakter-karakter yang kuat. Pemilihan diksinya bagus, mudah dipahami, dan mengandung metafora di setiap lembarnya. Selain tema-temanya yang, sebenarnya, sudah jamak, beberapa di antaranya tidak memuat penyelesaian yang jelas, alias dikembalikan kepada interpretasi pembacanya. Buku ini cocok untuk pembaca yang ingin berkenalan dengan Leila maupun yang menggemari isu-isu sosial.
“Malam Terakhir”, sebuah kumpulan cerita pendek yang memaparkan problematikan kehidupan bermasyarakat, menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan, mengajak untuk lebih mengenali diri sendiri, membangun empati terhadap dunia sekitar, serta mendorong untuk lebih jujur dan berani.
Minat baca?
•••
Kutipannya:
Banyak orangtua di dunia yang lebih suka melihat anaknya melakukan tindakan kriminal daripada melihat anaknya bermastrubasi…. (Adila, hal. 25)
Engkau begitu tegap, mandiri, dan mempertahankan kesucianmu seperti yang diwajibkan oleh masyarakat; sedangkan aku adalah lelaki lemah, payah, manja, tak bisa menahan diri. Kami, para lelaki, dimanjakan dengan apa yang dianggap sebagai kodrat, kami diberi permisi seluas-luasnya. Kalau kau yang berkhianat, pastilah kau dianggap nista. Tetapi jika aku yang berkhianat, maka itu dianggap biasa…. (Air Suci Sita, hal. 47)
Membaca dan menulis cerita adalah bentuk-bentuk doa bagiku. (Sehelai Pakaian Hitam, hal. 51)
Kesalehan tidak identik dengan kebenaran. Aku mementingkan kejujuran. Dan kejujuran akan menghasilkan kebenaran sikap. Tentu saja, apa yang kuanggap benar bisa menjadi sesuatu yang tak terlalu ‘nyaman’ bagimu. (Sehelai Pakaian Hitam, hal. 51)
… karena aku percaya bahwa setiap manusia memiliki warna hitam. Mereka bukan malaikat; mereka bukan setan. (Sehelai Pakaian Hitam, hal. 52)
Seseorang sebaiknya mengerjakan sesuatu yang mereka cintai. (Untuk Bapak, hal. 65)
Saya kira Tuhan punya maksud tertentu untuk memutuskan saya menjadi manusia. Bukan malaikat. Dan saya tetap akan menjadi manusia di muka siapa pun. Saya merasa berhak penuh untuk mencari kenikmatan jasmani dan spiritual dengan cara saya…. (Keats, hal. 79)
Kepercayaan bisa disalahgunakan oleh siapa saja, pada usia berapa saja. (Ilona, hal. 86)
Rasa sepi itu selalu menyerang setiap orang yang menikah maupun yang tidak menikah. (Ilona, hal 90)
Saya tidak percaya bahwa pernikahan adalah cara terbaik bagi saya untuk menikmati eksplorasi hidup ini. (Ilona, hal. 92)
.webp)
0 Komentar