Sengkarut


Kumpulan cerpen (kumcer) perihal carut-marutnya emosi dan jiwa manusia.

•••

Identitas buku:

Judul: Sengkarut

Penulis: Natsume Soseki, Edogawa Ranpo, Kaji Motojiro, Ogawa Mimei

Penerjemah: Asri Pratiwi Wulandari, Armania Bawon Kresnamurti, Mega Dian P.

Penerbit: Penerbit Mai

Tahun: Cetakan kedua: 2021

Jumlah:100 halaman

ISBN: 9786237351597

Kategori: kumpulan cerpen, fiksi, fantasi, misteri, suspense, thriller, horor


•••

⭐: 4.5/5

Blurbnya:

Sengkarut adalah sekumpulan cerita pendek karya penulis-penulis besar Jepang pada masanya, mulai dari cerita yang membuai hingga mencekam.


"Malaikat Permen Cokelat" karya Ogawa Mimei mengajakmu ke dalam perjalanan manis dan pahit sesosok malaikat di bungkus permen cokelat.


"Suara Misterius" karya Natsume Souseki memperkenalkanmu kepada seorang laki-laki yang mendengar suara aneh kala dirawat di rumah sakit.


"Kursi Manusia" dan "Rumput Racun" karya Edogawa Ranpo akan membawamu ke dunia yang menyesatkan.


Kaji Motojiro, sang cerpenis puitis, mungkin akan membujukmu menaruh "Lemon" di tumpukan buku, juga menggali tragedi di bawah keindahan pohon sakura lewat "Di Bawah Pohon Sakura".


Enam karya, enam penulis besar.


Selamat datang di dunia serba sengkarut.


•••


Resensinya:

Sengkarut, menilik artinya dalam KBBI: berjalin-jalin lilit-melilit; seluk-beluknya; kait-berkait; dan tidak keruan; tidak menentu. Tersebut adalah hal pertama yang saya cari usai membaca judul bukunya. Wah, buku ruwet, pikir saya kala itu yang membuat saya membelinya—selain harganya yang terjangkau—dan karena nama-nama penulis dalam kumpulan cerpen ini tidak kaleng-kaleng.


Terus terang membaca buku ini gampang-gampang enggak gampang juga. Ada cerita yang mengalir begitu saja sehingga tidak perlu membalik halaman untuk mengerti apa maksudnya. Namun, ada juga yang perlu saya cermati sungguh-sungguh, mengambil jeda sejenak untuk memahami secara utuh maksud penulis karena permainan diksinya.


Sengkarut, kumpulan enam cerpen dari penulis-penulis klasik lagi kenamaan Jepang pada masanya. Sesuai judulnya, buku ini menghadirkan nuansa carut-marut manusia dalam bentuk emosi yang berbeda. Bukan dalam konteks negatif, ya, melainkan condong ke arah memberikan perasaan yang macam-macam usai membacanya: ada yang manis dan menghangatkan, ada yang bikin penasaran, yang menyesatkan, yang mendebarkan, ada pula yang mengerikan sampai tidak menyenangkan hingga bikin terbayang-bayang. Sungguh berbanding terbalik dengan sampulnya yang indah nan menawan, hahaha.


Setiap penulis dalam buku ini mengambil tema yang sederhana dengan latar dan pesan yang tentu saja berbeda-beda, tetapi semuanya bermakna. Tulisannya juga khas Jepang: banyak monolog, metafora, bergulat dengan jiwa manusia, memancing nuansa misterius, detail-detail kecil dan jelas, minim aksi, dan berakhir apik-tapi-menggantung-ya-gitu-deh. Eh, jangan salah, ada plot twist yang menyertai meski tidak semuanya.


Saya menyukai bagaimana penerbit memutuskan menata buku ini sehingga ketika pembaca menuntaskan keenam ceritanya benar-benar akan meninggalkan kesan emosi yang tidak sama. Kalau bisa meraba, rasanya barangkali seperti judul kovernya: sengkarut, carut-marut dengan genre berbeda, tetapi tatkala menamatkannya: ibarat makanan, pembaca akan mendapatkan menu pembuka sampai hidangan penutup yang luar biasa. 


Adapun keenam cerpen tersebut yakni:


  1. Malaikat Permen Cokelat (Ogawa Mimei) tentang kisah perjalanan para malaikat—dan nasibnya—dalam bungkus permen-permen cokelat dari pembuatan hingga dimakan manusia, dari satu tempat ke tempat yang lain, dan dari satu tangan ke tangan yang lain. Cerita fantasi sederhana yang manis lagi menghangatkan. Melalui keseharian yang dilalui malaikat dalam kotak permen, penulis ingin mengisahkan perihal siklus kehidupan dari lahir sampai meninggalkan dunia dengan nasib yang berbeda-beda dan semuanya akan mengalami pahit-manisnya kehidupan. Nikmatilah setiap takdir yang membawamu dan yang telah ditetapkan untukmu. 


  1. Lemon (Kajii Motojiro) ketika sebuah lemon mampu menyerap segala kegundahan hati tokoh Aku dan berhasil memengaruhi hidupnya. Tokoh Aku hidup serba kekurangan hingga membuatnya kesulitan dan merasakan kegelisahan-kegelisahan dalam hatinya yang tokoh Aku sendiri tidak tahu apa sebabnya sampai-sampai mengalami depresi. Dalam kondisi demikian, tokoh Aku membayangkan hal-hal menyenangkan—berupa kemewahan—yang membuatnya dalam kedamaian, sampai tokoh Aku membeli sebuah lemon. Membaca cerpen ini membawa nuansa ganjil sebab Lemon menelanjangi kompleksnya jiwa manusia: obsesi, depresi, berimajinasi sebagai pelipur ketidakmampuan diri, membeli barang mewah untuk menyenangkan hati—lemon itu termasuk mahal, lho. Melalui cerpen ini, pembaca akan mengetahui badai kemelut dalam pikiran, hati, dan tindakan tokoh Aku. Tidak lupa, melalui Lemon, kebahagiaan itu datangnya bisa datang dari hal-hal kecil lagi sederhana.


  1. Rumput Racun (Edogawa Ranpo). Saya pernah meresensi ini di sini, tetapi saya akan ulas kembali. Ketika kondisi sosial keluarga miskin masyarakat Jepang yang memiliki banyak anak membuat depresi dan kelelahan mendera para ibu. Seorang wanita hamil mencuri dengar adanya tanaman yang bisa menggugurkan kandungan. Tokoh Aku menduga hilangnya rumput-rumput tersebut serta maraknya keguguran yang terjadi memiliki keterkaitan. Tokoh Aku khawatir jika tanaman tersebut digunakan untuk aborsi. Penulis mengeksplorasi horor melalui karakter wanita hamil—yah, mirip-miriplah kalau di Indonesia kengerian kebanyakan representasinya berupa Kuntilanak, Sundel Bolong yang identik dengan wanita. Cerita ini menyelipkan kritik sosial terhadap tidak meratanya sistem pengendalian kelahiran di Jepang kala itu, pola pengasuhan yang timpang dan didominasi para ibu, terjebak dalam pusaran kemiskinan dan kurang bertanggung jawab atas kelahiran-kelahiran yang terjadi, juga penulis mampu mengulik keinginan kelam manusia serta dampak ilmu pengetahuan yang disalahgunakan.


  1. Di Bawah Pohon Sakura (Kajii Motojiro) mengisahkan tentang pohon sakura yang tumbuh mekar dengan indah, tetapi di balik itu, di dalam tanah, ada sekumpulan mayat yang menjadi sari makanannya. Barangkali don’t judge a book by its cover menjadi tema pokoknya. Keindahan yang ditampilkan rupa-rupanya berbalut kengerian di baliknya. Saya sedikit terusik dengan penggunaan mayat dalam cerita ini dan menerka-nerka apakah mayat-mayat—tidak hanya manusia, ada serupa bangkai binatang juga di dalamnya—tersebut merupakan simbol korban peperang yang kalau ditarik ke belakang perang yang diikuti Jepang bisa dihitung jari, atau mungkin korban masa-masa Shogun. Yah, bisa jadi demikian. Btw, membayangkan ketika menyaksikan sakura mekar begitu cakep lalu pas korek-korek tanahnya ternyata ada mayat itu mengerikan juga. Kira-kira apakah keindahan bakal tetap kita pandang sebagai keindahan tatkala mengetahui kengerian di bawahnya?


  1. Bunyi Misterius (Natsume Soseki) berlatar rumah sakit, seorang pasien kerap mendengarkan suara-suara ganjil dari kamar sebelah tempatnya dirawat. Ketegangan dalam cerita ini meski tidak intens, tetapi cukup menggugah rasa penasaran suara apakah yang menghantui sang tokoh utama. Cerita ini cukup menggambarkan bahwa manusia tatkala mendengar sesuatu yang belum jelas kerap kali menyimpulkan seenaknya sendiri berdasarkan asumsi-asumsi yang dibangun sendiri atau imajinasinya sendiri. Konteksnya bisa luas: sesuatu yang mistis atau gosip-gosip gunjingan orang, hahaha. Terlepas dari itu, selain pada dasarnya manusia memiliki rasa ingin tahu yang besar, pembaca akan mendapati makna filosofi dari cerpen ini di akhir. Ada keterkaitan antarmanusia dengan takdirnya masing-masing dan sebagian besar manusia gemar memandang rumput tetangga yang lebih hijau.


  1. Kursi Manusia (Edogawa Ranpo). Saya sempat menyinggungnya di sini, dan memang sensasi tatkala saya membaca cerpen dan membaca manga—yang diinterpretasikan ulang—Junji Ito tetap saja mencekam. Kursi Manusia, seorang penulis novel terkenal mendapatkan surat dari seseorang tidak kenal yang menjelaskan jika seorang laki-laki yang memiliki penampilan fisik kurang menarik memutuskan hidup di sebuah kursi yang dia buat—profesinya seorang tukang mebel—hingga akhirnya terobsesi dengan manusia yang mendudukinya. Bayangkan! Bayangkan bagaimana jika ada seorang laki-laki dapat merasa hidup dan bergairah tatkala ada seseorang duduk dan membenamkan dirinya pada sebuah … kursi! Oke, cukup mampu membuat saya terngiang-ngiang dan was-was kalau melihat sofa, hahaha, sebab penulis benar-benar piawai meracik narasi hingga ketegangannya cukup mampu membuat berdebar-debar ngeri. Itu belum termasuk plot twist di dalamnya. Oh, iya. Saya sebetulnya sempat berhenti membaca dan bertanya-tanya dengan kalimat pertama cerpen ini: Yoshino baru dapat memiliki tubuhnya lagi setelah pukul sepuluh lebih setiap pagi, sampai laki-laki itu berangkat ke kantor. Sempat berpikir apakah Yoshino ketika bersama suaminya itu berarti dirinya bukan dirinya—semoga enggak bingung, ya—alias secara raga dan rohani sebagai istri dimiliki sepenuhnya oleh laki-laki sehingga Yoshino tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri. Wah, ini kalau diulik bisa panjang, karena menyinggung represi perempuan, hehehe. 


Untuk buku ini yang jadi favorit saya yakni Lemon dan Kursi Manusia. Sama-sama memiliki obsesi yang absurd, tetapi dengan kegelisahan jiwa yang berbeda. 


Meski tergolong kumpulan karya klasik Jepang, terjemahan dalam Sengkarut sangat baik sehingga memudahkan pembaca untuk menikmati. Saya kagum dengan para penerjemah yang mampu menerjemahkan dengan sangat-sangat-sangat bagus dan indah—terutama untuk karya Kajii Motojiro. Tidak ada kata-kata yang sulit dan masih mempertahankan ciri khas para penulisnya.


Saya merekomendasikan buku ini untuk yang penasaran dengan karya sastra dunia terutama asal Jepang atau yang ingin menikmati bacaan ringan kelas dunia dan mengenal penulis-penulis ternama dari negeri sakura. Eh, buat yang kuliah di Sastra Jepang juga oke jika ingin mengulik tiap-tiap cerpennya.


Tertarik baca?






Posting Komentar

0 Komentar